SWARARAKYAT.COM – Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo mengingatkan pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan kesehatan dan ekonomi dalam menetapkan kebijakan terkait industri tembakau.
Menurut Rahmad, tembakau bukan hanya menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, termasuk petani dan pekerja di sektor tersebut.
“Jangan hanya menggunakan satu sudut pandang, kita harus melihat isu ini secara imbang,” katanya, dikutip melalui keterangan tertulis, dikutip Jumat (13/9/2024).
Dia juga menyoroti tingginya impor tembakau yang mencapai hampir 50%, dengan nilai mendekati US$1 miliar dari negara-negara seperti China dan Zimbabwe
“Kondisi ini membuat kita semakin tergantung pada tembakau impor, sementara lahan pertanian dalam negeri terus menyusut,” kata dia.
Baca Juga: Pakar Hukum Nilai Aturan Tembakau Seharusnya Terpisah dengan RPP UU Kesehatan
Rahmad mengatakan, produk hasil tembakau memang memberikan dampak negatif terhadap kesehatan.
Namun demikian, industri tembakau juga memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian, sekitar Rp200 triliun hingga Rp300 triliun. Oleh karena itu, dia mengharapkan kebijakan yang akan diambil dapat mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi.
“Kita harus berhati-hati dalam menyusun aturan, jangan sampai terburu-buru dan meniru kebijakan negara lain yang tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Kesehatan tengah membahas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, aturan turunan dari PP No. 28/2024.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, para pelaku industri tembakau menilai Kementerian Kesehatan terburu-buru menyusun RPMK dan mengabaikan dampak masif dari polemik PP No. 28/2024.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau (AMTI) I Ketut Budhyman Mudara menilai pemerintah juga abai terhadap enam juta tenaga kerja yang akan terdampak dari langkah pengetatan Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik dalam RPMK.
“2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu pekerja SKT, UMKM hingga pekerja kreatif akan jadi korban pengetatan kebijakan di hilir yang buru-buru disiapkan pemerintah dengan alasan mengendalikan konsumsi tembakau,” katanya.(SR/Arum)