Anda ingin agar capres anda menang telak dalam Pemilu 2024? Cobalah menyimak sejenak uraian ini.
Secara sosiologis akan ada tiga spesimen komunitas yang akan muncul dalam dinamika politik Pemilu 2024 yang akan datang. Dinamika itu secara diam atau terang telah berproses sejak sekarang.
Spesimen pertama adalah para konsumen ideologi (the ideology consumers). Spesimen yang kedua adalah para pemikir logika (the logic thinkers). Dan spesimen ketiga adalah para penikmat mitos (the myth eaters).
Mari secara singkat dan simpel kita uraikan sebagai berikut.
Para Konsumen ideologi adalah mereka yang sekarang berada di dalam partai politik, agama, kepercayaan, ormas, orsos dan lain-lain. Semua memiliki paham atau isme yang menjadi dasar keyakinan politik mereka yang dianggap baik dan benar.
Komunitas ini besar pengikutnya karena termasuk juga anggota resmi dan simpatisan.
Para pemikir logika (logic thinkers) adalah komunitas yang selalu ingin berpikir logis. Para cerdik pandai, kaum akademisi dan lain- lain adalah masuk dalam komunitas ini. Mereka umumnya menghargai pemikiran logis, obyektif, dan transparan.
Komunitas ini bisa saling berkelindan ataupun bertumpang tindih dengan spesimen yang pertama. Maksudnya, individu yang bertindak sebagai konsumen ideologi bisa saja sekaligus menjadi pemikir logika. Atau sebaliknya, seorang pemikir logika bisa saja sekaligus merangkap sebagai konsumen ideologi.
Spesimen yang ketiga terasa unik, tetapi nyata adanya. Seringkali pula diabaikan, padahal dalam fungsi sosial politik di Indonesia sangatlah pentingnya. Secara teoretis dan faktual, spesimen yang ketiga ini sangatlah fungsional. Pengaruhnya terhadap popularitas dan keterpilihan sangatlah besar.
Para penikmat mitos (myth eaters) berada dalam pangsa yang masih sangat luas. Khusus di Pulau Jawa apalagi. Boleh dikatakan, jika pelaku politik cerdas untuk memainkan isu mitos ini, diyakinkan ceruk para penikmat mitos ada di tangannya.
Yang perlu diperhatikan oleh para pelaku politik adalah kurangnya perhatian terhadap para penikmat mitos ini. Terlebih pada spesimen kedua yakni para pemikir logika yang kerap mengabaikan fakta ini.
Mitos di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jogjakarta misalnya masih kental. Selama ini ‘peranan’ tokoh mitos semisal Nyai Roro Kidul di pantai segoro kidul Jogja dan kyai Sapu Jagad ataupun kyai Petruk Kantong Bolong sebagai penguasa Merapi masih menjadi ‘pegangan’ rakyat kebanyakan.
Cerita-cerita yang dilebih-lebihkan dan disakti-saktikan adalah resonansi mitos dan mudah sekali dipercaya. Isu ‘Ratu Adil’ misalnya bisa saja dilekatkan kepada sebarang capres siapapun dia.
Seberapa jauhkah Prabowo, Ganjar, Anies dan capres yang lain bisa ‘memainkan’ isue ini?
Apakah Prabowo misalnya bisa terus menghidupkan isue dari kata-kata Gus Dur (bahwa Prabowo akan menjadi Presiden di masa tuanya) sebagai jimat yang dimitoskan?
Apakah Ganjar akan memanfaatkan isue Ratu Adil berlandaskan konsep mitos Notonagoro? Atau Anies yang telah diramalkan oleh seorang nenek yang sangat tua berusia 133 tahun. Konon kata beliau ini Anies lah yang akan menjadi Presiden Indonesia di 2024 nanti?
Bustami Rahman
(Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Jember & mantan Rektor Universitas Bangka Belitung)