Gibran Tidak Sah Menjadi Cawapres?

FOTO: Pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakbuming Raka (Sumber: X)

SWARARAKYAT.COM – Tiga Hakim Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie, Bintan R. Saragih, dan Wahiduddin Adams memutus bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terbukti bersalah.

Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie telah memberhentikan Anwar dari jabatan Ketua MK. Keputusan tersebut disayangkan oleh Pakar Tata Hukum Negara, Denny Indrayana.

Denny mengatakan seharusnya Prof. Jimly tidak hanya memberhentikan Anwar dari Jabatan Ketua MK, tetapi dengan putusan pemecatan Anwar dari Hakim MK.

“Sayangnya, putusan MKMK masih terjebak hanya menghadirkan keadilan normatif, tetapi gagal melahirkan keadilan substantif,” kata Denny dalam blog pribadinya.

“Sebenarnya hanya dibutuhkan inovasi hukum, dan sedikit bumbu keberanian, untuk menghadirkan solusi yang lebih efektif dan konstruktif,” lanjutnya.

Pendapat lain disampaikan Pakar Hukum yang juga berprofesi sebagai Pengacara, Andi Syamsul Bahri.

Menurutnya, Keputusan MKMK dengan pemberhentian Anwar bisa mengacu pada UU lain yang bisa menggagalkan Wali Kota Solo Gibran Rakbuming Raka sebagai Cawapres.

“Pemberhentian kepada Prof. Dr. Anwar Usman maka terpenuhi pula norma dalam UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 17 ayat 5 dan 6,” ujar pria yang akrab disapa Daeng.

Dimana pasal 17 ayat berbunyi “Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa …,

“Ayat 6 dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (5), putusan dinyatakan TIDAK SAH,” tegas Daeng.

Putusan Perkara Nomor. 90/PUU-XXI/2023 berdasarkan UU No.48 Tahun 2009 Dinyatakan tidak sah, ini menurut UU.

“Implikasinya semua turunan hukum yang melandaskan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak sah pula,” katanya.

Secara Hukum, lanjut Daeng, pendaftaran Pasangan yang melandaskan putusan MK a quo harus dinyatakan gugur.

“Dan KPU sebagai pelaksana pilpres 2024 harus menyatakan pasangan yang mendaftar dengan mengacu kepada Putusan MK a quo tidak memenuhi syarat berdasarkan pasal 169 huruf q UU No. 17 Tahun 2017 “Capres dan Cawapres sekurang-kurangnya berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun, wajib diberlakukan oleh KPU,” ungkap Daeng.

“KPU tidak dapat mendalilkan bahwa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 masih dapat digunakan sepanjang belum ada putusan MK yang membatalkannya,” tambahnya.

Karena, kata Daeng, putusan MK a quo telah terbatalkan oleh UU No. 48 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (6).

“Jika pasangan capres dan cawapres tetap bersikukuh mengikuti pilpres maka konsekwensi logis secara hukum tetap tidak dapat dibenarkan. Demokrasi Indonesia menuju ketidakpastian karena kepatuhan hukum semakin rendah dan akal-akalan semakin meraja lela. Quovadis Indonesia??????,” tandasnya.(red)