Mahfud Sebut Bentrok Rempang Bukan Penggusuran, Tapi Pengosongan Lahan, Netizen: Ngawur!

Foto: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. (Dok. Pribadi Mahfud MD di aku X @mohmahfudmd)

SWARARAKYAT.COM – Menko Polhukam Mahfud MD menyebut bentrokan antara aparat gabungan TNI-Polri dengan warga Pulau Rempang, Banten bukan imbas upaya penggusuran, melainkan pengosongan lahan oleh pihak pengembang.

Pernyataan Mahfud itu menuai kritikan netizen. Mahfud dianggap tidak mengerti persoalan Pulau Rempang yang digarap Eco City.

“Ini ngawur, statement yang Oon, suku adat Melayu sudah berdiam diPulau Rempang sebelum NKRI diproklamasikan, mereka menggarap Tanah itu turun temurun hingga sekarang. Seharusnya Pemerintah tidak memasukkan 16 Desa dalam wilayah HPL melainkan harus menjadi milik mereka #hening,” tulis akun @asboediono_id, Jumat (8/9).

Mahfud dinilai tidak mengetahui persoalan didalam lahan Hak Guna Usaha (HGU) Eco City itu ada sejumlah wilayah yang tidak termasuk dalam peta pengembang.

Hal itu sesuai dengan batas-batas tanah yang ditentukan oleh badan pencatat tanah milik (Kadastral).

Baca Juga: Bentrok Di Mega Proyek Eco City, Belasan Siswa Pingsan Terkena Gas Air Mata

Diberitakan sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut bentrokan yang terjadi antara aparat gabungan TNI-Polri dengan warga Pulau Rempang, Batam pada Kamis (7/9) bukan imbas dari upaya penggusuran, melainkan pengosongan lahan oleh pemegang hak.

“Supaya dipahami kasus itu bukan kasus penggusuran, tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya,” ujar Mahfud saat ditemui di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Jumat (8/9).

Mahfud menjelaskan bahwa pada 2001-2002, negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan berupa hak guna usaha.

Sebelum investor masuk, tanah tersebut rupanya belum digarap dan tak pernah dikunjungi. Kemudian, pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati.

Padahal, kata Mahfud, Surat Keterangan (SK) haknya telah dikeluarkan pada 2001-2002 secara sah.

Mahfud pun menyinggung soal kekeliruan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Nah, ketika kemaren pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut, ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk,” kata Mahfud.

“Nah proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya,” sambung Mahfud.

Menurut Mahfud, kekeliruan yang dilakukan KLHK adalah mengeluarkan surat izin penggunaan oleh pihak lain yang tidak berhak.

“Itu kalau enggak salah sampai lima atau enam keputusan gitu, dibatalkan semua, karena memang salah sesudah dilihat dasar hukumnya,” sebut Mahfud.