PEMILU DAN NILAI PENDIDIKAN POLITIK

Oleh: Dr. Supriadi, S.Ag., M.Pd
(Dosen UIN Bukittinggi)

Merujuk pada Keputusan KPU RI No. 3 Tahun 2022, bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) secara nasional akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 14 Februari 2024, baik pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota, sekaligus pada Pemilu tahun ini juga melaksanakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Dengan demikian Pemilu 2024 ini bisa disebut sebagai Perhelatan Akbar Demokrasi di Indonesia.

Disebut akbar karena inilah pemilu legislatif dan presiden yang dilaksanakan secara bersamaan. Di samping itu berdasarkan data yang dirilis pada laman www.kpu.go.id, bahwa Pemilu kali ini melibatkan 204.807.222 pemilih yang tersebar di 514 kabupaten/Kota dan 128 negara perwakilan. 18 partai politik ikut “berlaga” pada kontestasi politik tahun ini untuk memperebutkan 580 kursi DPR dari 84 Daerah Pemilihan (Dapil), 152 kursi DPD dari 38 Provinsi, 2.372 kursi DPRD Provinsi dari 301 Daerah Pemilihan (Dapil), 17.510 Kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota dari 2.325 Daerah Pemilihan (Dapil), sehingga total keseluruhan 20.462 kursi dari 2.710 Daerah Pemilihan (Dapil), serta untuk pemilihan presiden terdapat 3 pasangan calon.

Tahapan pra Pemilu berupa sosialisasi dan kampanye tengah dilakukan oleh semua Calon Legislatif (Caleg) maupun calon Presiden/Wakil Presiden (Capres/Cawapres) sejak 28 November 2023 lalu hingga 10 Februari 2024 yang akan datang, Sejauh ini kita wajib bersyukur karena belum ditemukan pelanggaran yang berarti, kendati masih terlihat beberapa pelanggaran aturan kampanye dan beberapa intrik dan manuver politik yang tidak fair dari beberapa kubu.

Hingar bingar kegiatan kampanye dengan berbagai upaya sosialisasi dan promosi Calon Legislatif (Caleg) dan calon Presiden/Wakil Presiden (Capres/Cawapres) terus berlangsung, penyebaran alat peraga kampanye telah massif ditebar di seluruh pelosok daerah pemilihan, bahkan alat peraga promosi sudah jauh hari dipasang sebelum masa kampanye, visi-misi calon, program-program strategis, hingga janji-janji politik telah ditebar sampai ke benak pemilih, baik dalam bentuk aksi nyata, sponsor kegiatan, blusukan atau lewat tulisan, selebaran dan kartu nama, maupun melalui kampanye dialogis bahkan debat sekalipun.

Setelah masa kampanye usai hingga masa tenang nanti, para calon dan tim sukses tinggal menunggu sambil terus mengevaluasi diri seberapa efektif metode kampanye yang telah dilakukan, ketokohan dan kepatutan calon yang diusung di mata dan di hati pemilih, karena pada gilirannya rakyatlah yang akan menentukan siapa yang layak menjadi wakil dan pemimpin yang akan mereka coblos dalam bilik suara nanti.

Rakyat hari ini sungguhlah cerdas, yakinlah sebelum masuk bilik suara, mereka sudah tahu persis siapa calon pemimpin yang akan mereka pilih, apakah tokoh yang menurut mereka benar-benar mampu membawa perubahan untuk negara atau daerah mereka, memiliki pengetahuan dan wawasan luas, keterampilan manajerial mumpuni, kepemimpinan yang piawai, retorika yang handal, akhlak yang terpuji, emosional yang terkendali atau tokoh yang pada saat sebelum Pemilu sakalipun, mereka sudah dekat di hati rakyat, sudah sering duduk bersama mendengar penderitaan mereka dan sudi memberi bantuan dengan ikhlas tanpa pamrih, sehingga nama dan jasanya lengket terpatri di hati pemilih sejak lama.

Atau bisa jadi tokoh yang menurut penilaian rakyat adalah tokoh oportunis, pragmatis dan pencitraan, muncul sekonyong-konyong saat Pemilu sudah dekat, tiba-tiba baik dan perhatian, suka melakukan hal-hal konyol dengan niat agar mudah diingat oleh rakyat demi untuk mendulang suara sebanyak mungkin, padahal selama ini eksistensi mereka tidak pernah terlihat, semua penilaian sudah ada di hati dan fikiran rakyat yang akan mengabaikan tokoh tersebut di bilik suara yang bebas dan rahasia.

Terlepas dari itu semua, fenomena yang sering muncul di tiap Pemilu adalah, bahwa Pemilu sangat kental dengan nuansa persaingan tidak sehat, sikut-menyikut dan cendrung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pemilu sering dianggap sebagai pertarungan kalah-menang dan ini telah mengakar dalam fikiran anggota tim pemenangan maupun Caleg dan Capres/Cawapres itu sendiri, dan lucunya yang lebih ambisius itu justru adalah tim pemenangan atau tim sukses yang berada di belakang Caleg atau Capres/Cawapres tersebut, seperti ungkapan pepatah lama “Panas Tadah dari Gelas”. Kerap fanatisme berlebihan inilah yang membuat suasana Pemilu menjadi kisruh, rawan perpecahan dan menjadi bibit gontok-gontokan.

Tim Sukses ambisius seperti ini lebih cendrung membabi buta, berfikir dan bertindak frontal, mudah tersulut emosinya mendengar berbagai isu tentang kubu lawan yang menyudutkan atau mendeskreditkan Caleg atau Capres/Cawapres jagoannya, hal ini diperburuk lagi bila kontrol emosi yang kurang matang, pada gilirannya menjadi biang kerok cekcok mulut dan sengketa saat pencoblosan maupun saat penghitungan suara dan pada saat penghitungan suara inilah kondisi paling rawan untuk terjadinya sengketa yang lebih besar lagi.

Semakin dekat hari H pemungutan suara, biasanya tensi politik juga akan semakin meningkat, praktek money politik, dan berbagai strategi haram lainnya sering dimainkan, serangan fajar dapat saja menjadi pilihan yang naif, yang dilakukan oleh tim sukses Caleg atau Capres/Cawapres yang kurang percaya diri dan tidak berakar rumput (grassrooth) di hati konstituen, isu-isu pemecah suara dan pemutarbalikan fakta, berusaha menjelek-jelekan Caleg atau Capres/Cawapres lain, merubah pendirian pemilih saat pagi sebelum hari H adalah kampanye hitam yang sangat tidak terpuji dilakukan oleh tim sukses masing-masing Caleg atau Capres/Cawapres.

Maka saat itulah rakyat harus menggunakan kejelian dan kecerdasan berdemokrasi mereka untuk menanggapi kecurangan yang selalu saja berulang terjadi setiap Pemilu, bila pemilih bertemu dengan kondisi seperti ini, pemilih harus dapat menyimpulkan, bahwa Caleg atau Capres/Cawapres tersebut tidak percaya diri, tidak dapat dipercaya dan tidak layak untuk dipilih, buktinya sebelum terpilih saja sudah menghalalkan segala cara, apalagi nanti bila sudah menduduki jabatan tersebut.

Sikap legowo (tawadhu’) amat perlu dimiliki oleh Caleg atau Capres/Cawapres serta tim sukses yang ikut dalam perhelatan politik lima tahunan ini,  Tawadhu’ yang dimaksud tidak hanya dalam tataran konsep saja, akan tetapi lebih dari itu, diejawatantahkan dalam praktik saat Pemilu usai dan saat hasil Pemilu tidak berpihak pada mereka, Sikap tawadhu’ inilah yang nanti akan menyelematkan mereka dari seluruh resiko terburuk yang muncul setelah selesai penghitungan suara, seperti depresi dan harus menghuni Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

Bagi mereka yang kalah, segera lakukan introspeksi, evaluasi diri bersama tim, apa yang salah pada diri masing-masing, bisa jadi anda belum berada di hati dan pilihan rakyat. Siapkan strategi lima tahun ke depan, dan jangan lupa mulailah dari sekarang, perlihatkan jiwa besar atas kekalahan tersebut kepada semua konstituen, sehingga mereka salut dan takjub dengan kepribadian anda dan jangan berhenti melakukan “kebaikan politik” yang pernah dilakukan selama masa kampanye, agar mereka tidak menganggap kebaikan politik itu sebagai kepalsuan dan pencitraan sesaat belaka.

Teruslah menjadi tokoh di tengah-tengah masyarakat, yang sudi memberikan solusi setiap persoalan yang mereka hadapi, cetuskan terus ide-ide bernas dan brilliant, teruslah berada di tengah mereka dan selalu buat masyarakat merasakan bahwa diri anda ada di tengah-tengah mereka, dan buat mereka merasa sangat kehilangan saat anda tidak bersama mereka, maka inilah kampanye yang sesungguhnya dan bila sudah begini, yakinlah untuk Pemilu yang akan datang tidak perlu modal besar, tidak perlu baliho, tidak perlu kalender, tidak perlu kartu nama, tidak perlu ada uang dalam amplop, tidak perlu serangan fajar dan tidak perlu ada tim sukses, yang notebane selalu sukses meskipun calonnya tidak sukses, Semoga di Pemilu yang akan datang andalah pemuncaknya.

Bagi Caleg atau Capres/Cawapres yang menang, harus menganggap bahwa ini kemenangan bersama, hilangkan sekat politik dan jadikan semua pemilih di daerah pemilihan (Dapil) dalam pandangan yang sama, sekalipun anda tidak mendapat suara sedikitpun di Dapil tersebut, tidak ada lagi istilah pendukung dan tidak pendukung, tidak ada lagi padangan ini negeri basis si A atau si B dulunya, sinergikan seluruh kekuatan politik yang ada menjadi kekuatan untuk kemajuan bersama, rangkul kembali pesaing menjadi teman diskusi, posisikan mereka sebagai partner politik, bukan lawan politik yang abadi, karena yakinlah pada Pemilu yang akan datang, jika anda masih setia bersama mereka, Dapil tersebut justru akan menjadi tempat mendulang suara yang efektif.

Apa saja yang ditampilkan dan dipertontonkan oleh oleh semua tokoh yang berlaga dalam kentastasi Pemilu 2024 ini secara langsung atau tidak langsung akan menjadi pendidikan politik bagi generasi bangsa, mereka sudah menokohkan pula jagoannya meskipun saat ini mereka masih kecil di tingkat SD, menirukan gaya mereka, menirukan bicara mereka dan mereka akan menyerap semua nilai-nilai tersebut menjadi kepribadian mereka, syukur-syukur nilai yang diserap adalah nilai-nilai kebaikan, namun kalau yang dipertontonkan adalah kecurangan, emosional, tidak harga menghargai, sikut menyikut dan nilai keburukan lainnya, sesungguhnya Pemilu ini akan mewariskan pendidikan yang buruk pada generasi dan akan semakin membuat degradasi moral para generasi penerus bangsa makin merosot.

Semoga Pemilu tahun 2024 ini, menjadi “Pemilu bersahabat”, dan selepas penghitungan suara dan penetapan anggota legislatif, DPD, Presiden dan Wakil Presiden nanti, suasana negeri akan kembali tenang dan damai, tidak ada gejolak politik, bahkan tidak ada kerusuhan yang destruktif, “Biduk Lalu Kiambang Bertaut” adalah sebuah pepatah lama, yang mengandung makna sangat dalam untuk kedamaian usai suatu pertandingan.  Jika selama Pemilu ada kelompok yang menjadi lawan, setelah Pemilu berangkulan kembali menjadi kawan sehingga Pemilu dapat berlangsung dengan damai, aman dan sukses dan kita mendapatkan pemimpin dan wakil baru yang akan menahkodai negara ini lima tahun ke depan menuju Indonesia maju yang adil dan bermartabat. Semoga..! (HAQ)