Taba Iskandar: “Rempang Eco City Tidak Ada Dalam Kesepakatan”

SWARARAKYAT.COM-Sekitar tahun 2002 / 2003 dilakukan kerjasama MoU antara BP. Batam dan Pemkot. Batam dengan PT. MEG, melalui rekomendasi DPRD Kepri. Yakni, merekomendasikan untuk dibukanya investasi besar dengan landasan Perda, melalui Perda Pariwisata lebih populer disebut ‘Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif’ (KWTE) di pulau Rempang.

Taba  Iskandar Iskandar Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau 2 periode yakni 2014-2019 dan 2019-2024 menceritakan, PT. MEG bersama Pemerintah Kota dan Otorita Batam sekarang BP Batam pada 2004 lalu menandatangani kerjasama (MoU) proyek pembangunan pulau Rempang.

Program tersebut dinamakan “Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif” (KWTE) di pulau rempang

Dalam rangka memindahkan semua kegiatan dan aktifitas wisata malam di Kota Batam ke pulau tertentu yaitu pulau Rempang.

Dan tidak ada soal Rempang Eco City
Tidak ada Rempang galang ya,
Rempangnya, Rempang pulau yang terpisah dari daratan, tegas Taba.

Taba memastikan perjanjian yang bersifat teknis termasuk relokasi 16  kampung tua Rempang-Galang maupun konsep pembangunan Rempang Eco City yang disebut oleh Kepala BP. Batam Muhamad Rudi, tidak tercantum dalam kesepakatan MoU 2004 perihal tersebut.

Seiring berjalannya waktu terjadi polemik di pulau rempang tersebut dan muncul istilah status quo pada lahan rempang tersebut, dengan munculnya polemik tersebut, maka penerapatan Perda KWTE dan rekomendasi dari DPRD Kota Batam batal dan terputus. katanya.

Jadi betul, PT. MEG ingin melanjutkan investasi tersebut, lalu masuknya ini melalui siapa, BKPM kan? jelas, Taba.

Nah jika seperti itu tentu sangat berbeda sekali dengan konsep awal MoU yang telah disepakati 2004 silam yang mengacu pada Perda Wisata KWTE.

Berkaitan apa yang terjadi hari ini di Rempang, mengenai konsep relokasi sangatlah tidak tepat karena mereka sudah beranak pinak, cucu menetap disana.

Jauh sebelum BP. Batam ada, mereka sudah lebih dulu ada dikampung itu, mereka adalah orang tempatan.

Maka konsep pemindahan dan relokasi itu tidak tepat, mereka tidak sama dengan Ruli (Rumah Liar) di kota Batam, karena pembebasan HPL (Hak Pengelolahan Lahan) memang ada di BP. Kota Batam.

Saran Taba kepada PT. MEG dan Pemerintah berkaitan dengan apa yang terjadi hari ini di rempang.

Pertama, seharusnya penyelesainnya  melalui dialog.

Kedua, kalau memang benar ada rencana relokasi atau pemindahan warga ke tempat tertentu itu tidak tepat, mereka bukan orang yang digusur karna Ruli yang tempatnya akan dipakai untuk investasi dan pembangunan maka direlokasi.

Sedangkan mereka adalah orang tempatan, sudah lebih dulu tinggal disana beranak pinak, beranak cucu puluhan tahun bahkan ratusan tahun dari jaman nenek moyangnya.

Pola yang tepat adalah memanusiakan mereka agar mau bekerjasama karna  berinvestasi, karna mereka bagian dari integral dari konsep pembangunan, mereka tetap disana terintegrasi dengan investasi itu.

Kampung itu bagian integral dari konsep pengembangan kawasan tersebut, dengan demikian, tidak ada lagi kedepannya istilah gusur menggusur, jelas, Taba

Maka, kalau rumah tinggalnya tidak sesuai dengan rencana kawasan, rumahnya yang diperbaiki, sebab mereka cari makan disana dilaut, bukan di taruh dirumah susun, atau dibuatkan rumah.

Ketiga; kalau mereka memenuhi kualifikasi dan memenuhi standar untuk diperjakan, kerjakan mereka

Keempat , dihitung luas tanahnya berapa dikonversikan dalam jumlah maka itu menjadi saham mereka diperusahaan tersebut, maka mereka masih punya masa depan sampai anak cucunya.

Jadi kalau saya punya lahan dihitung permeternya berapa menjadi saham di PT. MEG ini atau perusahan apapun itu, sehingga saya dan anak, cucu saya terjamin. bukan putus karena hari ini saja penyelsaiannya. nah kalau itu mumgkin ga ada gejolak.

Tapi kalau direlokasi dapat 500 terus setelah konsep ini selesai mereka tetap tidak aman sampai masa depan sampai kapanpun terancam karena investasi.

Bukankah investasi itu untuk kesejaterahan, dan kembali kepada konsep negara, Negara dibentuk untuk melindungi segenap tumpah darah bangsanya, nah sekarang apakah mereka merasa terlindungi,

Apakah karena atas nama undang-undang yang disampaikan polisi, ini atas nama hukum, atas nama hukum saudara jangan ada yang menghadang jalan, ini perbuatan melawan hukum,

menghadang jalan terjadi pasti ada sebabkan, sebabnya apa BP. Batam datang mau melakukan pengukuran, tentu mereka ga punya apa-apa  hanyan badan saja untuk menghadang jalan.

Sedangkan polisi, dilindungi undang-undang, punya seragam berbagai peralatan dan senjata, mereka punya apa sebagai rakyat yang lemah dan berlindung kepada siapa lagi.

Tentu berlindung kepada badan/fisiknya saja, Lalu jika mereka melawan dianggap melanggar hukum, lemah lagi mereka, padahal pemerintah dan negara dibentuk untuk melindungi mereka. papar Taba. (Ardi)