Daerah  

Walhi Sumbar: Akar Konflik Air Bangis Pasaman Barat Karena Klaim Negara Secara Sepihak Atas Tanah Ulayat

SWARARAKYAT.COM, SUMBAR-Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) menyatakan akar konflik di Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, karena klaim negara secara sepihak atas tanah ulayat masyarakat.

Konflik ini muncul setelah pemerintah menetapkan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa pembangunan kilang minyak dan petrokimia di sana.

Direktur Walhi Sumbar, Wengki Purwanto, saat ditemui oleh wartawan Swararakyat (SR) di kantor KIPP Sumatera Barat, Rabu 27-09-2023 sekembali dari Jakarta. menyatakan bahwa masyarakat telah lama memiliki hak kekuasaan hutan tersebut yang dipegang oleh Pemangku Adat.

Masyarakat Nagari Air Bangis, menurut Wengki, telah hidup di sana sejak sebelum Indonesia merdeka.Sampai saat ini mereka membayar pajak bumi dan bangunan atas kebun-kebun mereka dan bisa di anggunkan ke Bank BRI,” ujarnya.

Sebagaimana telah disampaikan saat Konferensi Pers di Sekretariat Nasional Walhi. Sabtu, 23 September 2023.
Menurut Wengki, jika wilayah administrasi di Nagari Air Bangis seluas sekitar 40 ribu hektar, sementara lahan yang diusulkan oleh Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah untuk PSN yang akan digarap oleh PT Abaco Pasifik Indonesia seluas 30.162 hektar.

“Nah, Persoalannya, gubernur mengatakan ini sudah clear and clean, namun faktanya kawasan pemukiman yang di dalamnya ada fasilitas rumah ibadah, sekolah, wilayah perkebunan warga dan pesisir laut. Inilah yang kemudian menjadi pemicu konflik agraria yang secara sepihak mengkalim tanah masyarakat sebagai kawasan hutan,” tegas Wengki.

Lebih lanjut Wengki juga menyampaikan, jika masyarakat diklaim tidak memiliki izin atas tanah dan disebut ilegal. Alhasil, menurut dia, timbul tindakan represif dari pemerintah terhadap masyarakat.

Mereka ada yang ditangkap, dipenjara karena berkebun di tanah yang sudah mereka tempati sebelum Indonesia merdeka. Setelah 2 November tahun ini kepolisian menginformasikan akan menangkap petani-petani disana karena dianggap tidak memiliki izin usaha,” pungkas Wengki.

Bahkan, pemerintah mempermasalahkan jika perkebunan masyarakat masuk dalam kawasan hutan, yang mana secara bersamaan, hutan tersebut masuk ke dalam usulan pembangunan PSN.

Secara spesifik menurut Wengki, Hanya satu yang dipermasalahkan oleh negara, yaitu wilayah kebun masyarakat yang tidak memiliki izin usaha, padahal disaat yang sama, hutan tersebut menjadi salah satu kawasan usulan PSN dari PT Abaco Pasific Indonesia yang akan membangun Industri Refinery, Petrosea Nikel dan pendukung lainnya.

Jika pemerintah hanya menempatkan kedaulatan di tangan pengusaha saja atas konflik agraria ini. “Bagaimana mungkin hari ini rakyat  disingkirkan dengan dalih menduduki kawasan hutan tanpa izin, dan disaat yang sama kawasan hutan itu tengah disiapkan untuk PSN dan kawasan hutan itu yang akan dilepaskan statusnya menjadi kawasan hutan,” terang Wengki.

Sebelumnya, warga Nagari Air Bangis telah melapor masalah pengusiran ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Selasa lalu. Wengki yang ikut dalam pelaporan itu menyatakan setidaknya terdapat 45 ribu warga yang terdampak proyek tersebut. Mereka meminta Komnas HAM mendesak pemerintah agar menghentikan PSN tersebut.

Lebih lanjut terkait konflik di Air Bangis soal kehidupan nelayan ditanggapi Samaratul Fuad yang juga aktifis/pejuang Lingkungan Hidup dan mantan Ketua PBHI Sumatera Barat menegaskan bahwa, kurang lebih 5 sampai 8 ribu jiwa jumlah dari masyarakat nelayan yang menggantungkan kehidupan mereka diwilayah Pantai laut Air Bangis  tentu kehilangan mata pencarian, sehingga berdampak pada keberlangsungan kehidupan ekonomi dan Pendidikan masa depan anak cucu mereka.

Maka menurut Samaratul Fuad, Kawasan ulayat sejatinya dipertahankan secara adat. Jadi persoalan adat tersebut harus dimengerti oleh berbagai kalangan terutama pemerintah / Gubernur Sumatera Barat. 

Persoalan ini justru tidak di mengerti secara baik oleh pemerintah dengan memahami kondisi Masyarakat nelayan yang sejatinya adalah Masyarakat hukum adat, yang luas wilayah mereka diperkirakan seluas 10ribu hektar, ujarnya. (haq)