Daerah  

Kebijakan Absurd DKI: Rokok Dilarang, Tapi Polusi Dibiarkan Bebas.

Fuadul Aufa, Presidium JagaJakarta

Jakarta, Swararakyat.com – Di tengah langit Jakarta yang semakin buram oleh polusi kendaraan dan kebijakan serampangan, Pemerintah Provinsi DKI justru sibuk mengatur hal paling absurd minggu ini: melarang merokok di9 tempat hiburan malam. Rencana itu tertuang dalam revisi Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang kini tengah digodok DPRD DKI Jakarta.

Alih-alih menyehatkan warga, kebijakan ini justru menyesakkan logika. Sejumlah pelaku industri hiburan malam mengaku bingung, mengapa rokok menjadi musuh negara ketika industri pembuang emisi dibiarkan bebas menghirup udara anggaran. Di tengah lesunya ekonomi, larangan ini dianggap ancaman nyata bagi ribuan pekerja hiburan malam yang hidup dari denyut malam ibu kota.

Ironisnya, Pemprov DKI berkilah bahwa aturan ini demi “Jakarta yang sehat dan beradab”. Padahal, yang lebih sakit justru nalar kebijakan itu sendiri. Kritik keras datang dari berbagai kalangan, termasuk dari Presidium JagaJakarta, yang menyebut kebijakan ini tidak punya urgensi dan bisa berujung pada gelombang PHK.

“Kalau mereka bilang ini demi kesehatan publik, kami balik tanya, publik yang mana?” ujar Fuadul Aufa pria yang akrab disapa Upay, Presidium JagaJakarta, Kamis malam.

“Rakyat yang mau kerja malah dilarang cari makan, sementara yang bikin polusi sesungguhnya dibiarkan tertawa di ruang ber-AC. Kebijakan ini kehilangan akal sehat,” tegas Upay.

Menurut JagaJakarta, Pemprov dan DPRD DKI tengah bermain dengan emosi publik, bukan data. Alih-alih mengurai banjir, macet, dan tata ruang yang semrawut, mereka memilih jalan pintas: menertibkan rokok di tempat hiburan malam. Sebuah langkah yang disebut “simbol moralitas tanpa empati ekonomi”.

Situasi kini menegang. JagaJakarta bersama para pekerja hiburan malam mendesak DPRD DKI segera membatalkan pasal larangan merokok tersebut. Jika tidak, mereka menegaskan akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di depan gedung DPRD DKI Jakarta awal pekan depan. Rencana itu diklaim sudah dikoordinasikan dengan berbagai serikat pekerja hiburan dan komunitas warga.

“Ini bukan gertakan,” kata Upay menegaskan. “Kami sudah menyiapkan barisan. Ribuan pekerja siap turun ke DPRD DKI. Kalau Pemprov dan dewan tetap tuli, biar kami yang ‘membersihkan udara’ dengan suara rakyat,” ujarnya.

Kritik pedas juga dilayangkan kepada Pramono Anung, yang disebut turut memberi dorongan pada ide “Jakarta Tanpa Asap”. Menurut JagaJakarta, konsep itu hanyalah jargon politik tanpa napas rasionalitas. “Pak Pramono mungkin lupa, yang butuh udara bersih bukanlah klub malam, tapi ruang kebijakan yang sudah sesak dengan kepentingan,” sindir Upay.

Kini, publik menunggu apakah DPRD DKI akan berpikir ulang atau sekadar menjadi stempel formal bagi kebijakan yang absurd. Sementara itu, di bawah cahaya neon kota yang tak pernah tidur, ribuan pekerja bersiap turun ke jalan membawa pesan sederhana: larangan yang tak urgent hanya melahirkan pengangguran. (*)