Oleh: Rozi, S.Sos., M.A., – Dosen Agama di Universitas Bangka Belitung
Ketika kita berbicara tentang kekuatan sebuah bangsa, sering kali yang muncul dalam pikiran adalah faktor ekonomi, teknologi, atau kekuatan militer. Namun, bagi umat Islam, ada satu kekuatan yang lebih halus tetapi justru sangat menentukan: kekuatan ulama. Ulama bukan sekadar sosok yang menguasai ilmu agama, tetapi mereka adalah penuntun moral, penjaga tradisi, dan penggerak arah peradaban umat. Dalam konteks ini, The Power of Ulama for Ummah bukan hanya retorika, melainkan sebuah realitas sejarah dan juga kebutuhan mendesak di era modern.
Saya ingin memulai dengan sebuah pengakuan pribadi. Setiap kali saya membaca kisah-kisah klasik Islam seperti tentang Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, hingga Imam al-Ghazali, saya selalu merasa ada aura berbeda. Mereka bukan hanya sekadar sarjana, melainkan pembimbing umat yang pikirannya melampaui zamannya. Di Nusantara, kita juga mengenal nama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Buya Hamka, hingga Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid. Mereka bukan hanya berdakwah di mimbar, tetapi juga membangun kesadaran sosial, pendidikan, dan bahkan politik. Dari situ saya semakin yakin bahwa ulama adalah salah satu motor peradaban umat Islam. Namun, tentu kita perlu melihat lebih dekat: apa sebenarnya “kekuatan” ulama itu? Mengapa umat menaruh harapan besar pada mereka, bahkan lebih daripada kepada tokoh politik atau pemimpin ekonomi?
Pertama, ulama memiliki otoritas moral. Dalam masyarakat modern yang serba cair, kebenaran sering kali direduksi menjadi sekadar opini mayoritas atau logika pasar. Di sinilah ulama hadir dengan kekuatan moralitas yang berakar pada wahyu. Ketika seorang ulama berbicara tentang halal-haram, tentang adil atau zalim, itu bukan sekadar pendapat personal, melainkan resonansi dari nilai-nilai ilahiah. Otoritas ini memberikan ulama posisi yang unik, mereka dipercaya tidak hanya karena ilmunya, tetapi juga karena integritasnya.
Kedua, ulama memiliki kapital sosial. Saya melihat ini secara nyata di daerah saya sendiri. Dalam berbagai momen krisis, baik bencana alam, konflik sosial, maupun masalah ekonomi, masyarakat sering kali lebih dulu datang kepada kiai atau ustaz lokal sebelum kepada pejabat formal. Mengapa demikian? Karena ulama memiliki kedekatan emosional dengan umat. Mereka hadir dalam majelis taklim, mengisi khutbah Jumat, menyapa jamaah setelah shalat, bahkan ikut merasakan denyut kehidupan sehari-hari. Inilah yang membuat nasihat ulama lebih mudah diterima ketimbang instruksi birokratis pemerintah.
Ketiga, ulama memiliki kapasitas intelektual yang membentuk arah pemikiran umat. Sejarah Islam membuktikan bahwa pembaruan pemikiran selalu dimulai dari ulama. Contohnya, pembaruan fikih oleh Imam Syafi’i yang menyusun ushul fikih dengan sistematis, atau pembaruan pendidikan oleh KH. Ahmad Dahlan yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum. Dalam skala global, ulama juga memainkan peran penting dalam dialog antaragama, isu HAM, hingga masalah lingkungan. Artinya, kekuatan ulama bukan hanya domestik, tetapi juga universal.
Di sinilah saya merasa bahwa peran ulama untuk umat (The Power of Ulama for Ummah) bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata. Justru ia menjadi kebutuhan paling mendesak di era disrupsi sekarang ini. Kita hidup di tengah dunia yang dipenuhi informasi, tetapi tidak selalu disertai kebijaksanaan. Ada krisis moral, krisis identitas, bahkan krisis kemanusiaan. Umat membutuhkan panduan, dan ulama adalah salah satu benteng terakhir.
Namun, saya juga tidak ingin menutup mata terhadap tantangan internal yang dihadapi ulama. Tidak semua ulama bisa menjaga marwah keilmuan dan integritas moralnya. Ada sebagian yang tergoda oleh politik praktis, ada pula yang terjebak dalam popularitas media sosial. Fenomena ini menimbulkan dilema: apakah ulama tetap bisa menjadi moral compass ketika mereka sendiri masuk ke pusaran kepentingan duniawi? Pertanyaan ini sering saya renungkan, karena saya percaya bahwa kekuatan ulama hanya bisa bertahan jika mereka menjaga independensi moral.
Ulama di era digital juga menghadapi tantangan baru: bagaimana memanfaatkan teknologi untuk dakwah tanpa kehilangan substansi? Banyak ustaz muda kini populer di platform digital, dengan jutaan pengikut. Ada sisi positifnya: dakwah menjadi lebih luas dan menjangkau generasi muda. Namun, ada juga sisi negatifnya: dakwah bisa tergelincir menjadi sekadar hiburan, tanpa kedalaman intelektual. Di titik inilah kita perlu kembali menegaskan peran ulama sejati mereka yang bukan hanya menguasai fiqh ibadah, tetapi juga memahami tantangan zaman seperti artificial intelligence, krisis lingkungan, atau globalisasi ekonomi. Umat Islam butuh ulama yang visioner, bukan sekadar reaktif.
Saya juga ingin menekankan dimensi transformasi sosial dari kekuatan ulama. Kalau kita baca sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ulama adalah aktor penting dalam melawan kolonialisme. Resolusi Jihad 1945 yang dikeluarkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari misalnya, menjadi pemicu semangat perlawanan rakyat melawan penjajahan. Itu adalah bukti nyata bagaimana fatwa ulama bisa menggerakkan massa, bukan hanya dalam urusan ibadah, tetapi juga dalam mempertahankan martabat bangsa.
Saat ini, tantangannya tentu berbeda, tetapi substansinya sama: umat membutuhkan ulama untuk menjadi motor perubahan sosial. Misalnya, dalam isu kemiskinan, ketimpangan pendidikan, kerusakan lingkungan, ulama seharusnya tidak hanya menjadi komentator, tetapi juga penggerak solusi. Di tengah arus modernisasi, peran ulama semakin krusial dalam menjaga identitas umat. Kita tahu, globalisasi membawa nilai-nilai baru yang tidak semuanya selaras dengan Islam. Misalnya, ideologi materialisme, hedonisme, atau individualisme ekstrem. Kalau umat tidak memiliki filter, mereka akan mudah tergerus. Ulama di sini berfungsi sebagai penjaga nilai, semacam cultural broker yang bisa memilah mana yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak. Saya sering berpikir, kalau ulama tidak hadir dengan suara yang kuat, umat bisa kehilangan arah dalam arus besar globalisasi.
Tentu, semua kekuatan ini harus didukung oleh umat sendiri. Ulama tidak bisa bekerja sendirian. Umat harus mendukung, bukan hanya dengan taat mendengar, tetapi juga dengan aktif mengkritik dan mengingatkan. Ulama bukan malaikat, mereka tetap manusia dengan segala keterbatasannya. Namun, ketika ada sinergi antara ulama dan umat, di situlah lahir kekuatan sejati. Saya selalu teringat pepatah Arab: al-‘ulamā’ waratsatul anbiyā’ “ulama adalah pewaris para nabi”. Warisan ini bukan sekadar gelar, tetapi amanah yang berat. Dan umat punya peran untuk memastikan amanah itu tetap terjaga.
Akhirnya, saya ingin menutup opini ini dengan sebuah refleksi. The Power of Ulama for Ummah adalah sebuah kenyataan yang sudah teruji oleh sejarah dan sangat relevan untuk masa depan. Kekuatan ulama bukan terletak pada senjata atau kekayaan, tetapi pada ilmu, moralitas, dan kedekatan mereka dengan umat. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, ulama adalah jangkar yang menjaga umat tetap teguh pada nilai-nilai Islam. Namun, kekuatan itu hanya akan berarti jika ulama tetap menjaga integritasnya dan umat mendukung mereka dengan kritis sekaligus hormat.
Bagi saya pribadi, ulama adalah simbol harapan. Mereka bukan hanya guru yang mengajarkan hukum-hukum fikih, tetapi juga inspirator yang membangkitkan semangat hidup Islami. Dalam doa saya, saya selalu berharap agar ulama kita tetap istiqamah, tetap menjadi pelita di tengah gelapnya zaman, dan tetap menjadi kekuatan yang membawa umat menuju kemajuan tanpa kehilangan jati dirinya. Inilah makna sejati dari The Power of Ulama for Ummah, sebuah kekuatan moral, sosial, dan intelektual yang menjadi fondasi keberlangsungan umat Islam dari masa ke masa.***













