Oleh: Muholadun, S.AP (Direktur Eksekutif Sorot Kebijakan)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto lahir dari niat baik: meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, mendorong kehadiran sekolah, serta menekan angka stunting. Jika berhasil, program ini bisa menjadi salah satu tonggak penting menuju Generasi Emas 2045.
Namun, niat baik saja tidak cukup. Implementasi di lapangan memperlihatkan masih banyak lubang yang perlu ditambal, bahkan masalah serius yang berpotensi menggerus kepercayaan publik. Beberapa kritik dan catatan problematik berikut penting untuk diperhatikan sebelum program ini kehilangan arah.
1. Keracunan dan Mutu Makanan
Banyaknya Kasus keracunan massal lebih dari 9.000 anak yang dilaporkan terdampak menjadi alarm keras. dari laporan terdapat berbagai indikasi seperti makanan yang terlambat disajikan, penyimpanan yang tidak sesuai standar, hingga dapur yang tidak siap secara teknis menunjukkan lemahnya kontrol mutu. Program bergizi tidak boleh justru berubah menjadi ancaman kesehatan. Selain itu juga masih banyak SPPG yang tidak memiliki sertifikasi standar mutu Gizi, hal ini tentu harus menjadi kontrol penuh pemerintah agar dapat memastikan setiap SPPG makan Gizi Gratis telah memenuhi standar mutu gizi yang baik.
2. Pemerataan yang Belum Tuntas
Meski sudah menjangkau banyak provinsi, wilayah terpencil dan daerah 3T masih jauh dari kata ideal. Ada sekolah yang sudah mendapat layanan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), sementara sekolah di wilayah tetangganya belum tersentuh. Jurang kesenjangan ini bisa menimbulkan rasa ketidakadilan. Dalam hal ini sebaiknya pemerintah lebih fokus melaksanakan Program MBG menyasar Daerah-daerah tertinggal.
3. Anggaran dan Keberlanjutan
Program MBG membutuhkan anggaran raksasa. Pertanyaan pun muncul: sejauh mana program ini berkelanjutan? Dengan APBN yang sudah terbebani dan rasio pajak yang belum optimal, ada risiko program ini berhenti di tengah jalan jika tidak ada perencanaan fiskal yang matang.
4. Kebijakan Teknis dan Regulasi
Berdasarkan penilaian Indonesia Corruption Watch (ICW), regulasi teknis MBG masih kurang. Belum ada mekanisme komprehensif yang memastikan rantai pangan berjalan aman, mulai dari pengadaan bahan, penyimpanan, distribusi, hingga evaluasi rutin. Tanpa kerangka hukum dan SOP yang jelas, pelaksanaan di lapangan akan terus tambal sulam.
5. Menu yang Kurang Adaptif
Di beberapa daerah, menu yang diberikan tidak sesuai dengan kebiasaan lokal. Anak-anak yang tidak terbiasa minum susu justru mengalami gangguan pencernaan. Variasi menu yang kurang menggugah selera juga membuat sebagian penerima tidak antusias, meski program ini gratis.
6. Capaian Masih Jauh dari Target
Target program ini sangat ambisius: menjangkau puluhan juta anak. Namun, pada praktiknya, capaian masih kecil. Jumlah dapur SPPG juga belum sebanding dengan target yang ditetapkan. Akibatnya, kualitas pelayanan tidak merata.
7. Transparansi Publik
Publik membutuhkan keterbukaan data: jumlah penerima, alokasi anggaran, insiden, hingga evaluasi. Sayangnya, informasi yang tersedia masih terbatas dan sering terlambat. Padahal, transparansi adalah kunci untuk menghindari spekulasi dan menjaga kepercayaan masyarakat. Ditengah modernisasi dan era digitalisasi seharusnya Pemerintah mampu menyiapkan platform digital untuk transparansi
Berkaca dari Pengalaman Internasional
Banyak negara yang lebih dulu menjalankan program serupa. Dari Brasil, kita belajar soal pentingnya pembelian lokal dari petani keluarga untuk menjamin ketahanan pangan sekaligus memberdayakan ekonomi daerah. Dari India, kita belajar soal hygiene, sertifikasi dapur, dan pengawasan berkala. Dari WFP, kita belajar bahwa keamanan pangan adalah fondasi yang tidak bisa ditawar.
Dari hasil rangkaian keritik diatas tentu saya memiliki catatan, yang kemudian bisa menjadi Rekomendasi untuk Jalan ke Depan
1. Terapkan moratorium dapur baru hingga ada sertifikasi keamanan pangan.
2. Lakukan audit cepat dan publikasi terbuka terhadap dapur bermasalah.
3. Jalankan pilot project di beberapa provinsi sebelum ekspansi nasional.
4. Sesuaikan menu dengan preferensi lokal agar lebih diterima anak-anak.
5. Tingkatkan transparansi melalui dashboard publik yang mudah diakses.
6. Libatkan akademisi dan masyarakat sipil dalam evaluasi independen.
7. Pastikan strategi pembiayaan jangka panjang yang realistis.
8. Proses seleksi pegawai atau karyawan dilakukan secara Profesional
Program MBG bukan sekadar soal memberi makan gratis, tapi investasi masa depan bangsa. Namun, jika pelaksanaan tidak segera diperbaiki, risiko kesehatan, beban fiskal, dan krisis kepercayaan akan lebih besar daripada manfaatnya.
Pemerintah perlu menjadikan kritik dan catatan problematik ini sebagai otokritik. Jika mampu memperbaiki dengan cepat dan transparan, MBG bisa benar-benar menjadi legacy project yang membanggakan. Jika tidak, ia hanya akan dikenang sebagai program ambisius yang gagal menyehatkan anak-anak bangsa. (*)