Opini  

Ketika Gen Z Jadi Atasan

Muhammad Yusro Khazim

Oleh: Muhammad Yusro Khazim (Mahasiswa Program Magister Manajemen UNISSULA Semarang)

Pada suatu pagi di akhir tahun 2024, saya menyaksikan langsung bagaimana seorang rekan —sebut saja Sita—menghadapi dinamika tak biasa di tempat kerjanya. Baru berusia 27 tahun, Sita baru saja diangkat sebagai manajer produk digital di salah satu unit transformasi digital milik sebuah bank BUMN besar. Ia memimpin tim yang sebagian besar berusia lebih tua, dengan masa kerja dua hingga tiga kali lebih lama darinya. Sebuah posisi yang membanggakan, sekaligus penuh tekanan.

Saya masih ingat curhatnya lewat pesan singkat malam itu. “Aku bingung, Mas. Baru hari pertama rapat sprint, tapi staf seniorku langsung bilang: ‘Biasanya kita pelan-pelan aja, nggak usah pakai gaya startup.’ Rasanya seperti ditolak, padahal aku cuma ingin mengajak tim lebih agile ,” tulisnya.

Fenomena seperti ini makin sering terjadi di lingkungan kerja saat ini. Generasi Z dan milenial yang melek teknologi dan cepat belajar, banyak diberi kepercayaan untuk memimpin transformasi digital. Namun, kecepatan promosi mereka seringkali melahirkan benturan: antara gaya kerja cepat dan fleksibel dengan kultur kerja senior yang formal dan prosedural. Pertanyaannya, apakah organisasi kita siap dengan tantangan ini?

Sebagai mahasiswa magister manajemen dan juga praktisi yang pernah mengalami transisi ini, saya merasa perlu membahas realitas ini secara jujur. Kita sedang menghadapi pergeseran demografi dan digitalisasi yang tidak hanya menuntut keahlian teknis, tetapi juga kemampuan sosial dan psikologis dalam memimpin manusia.

Menurut laporan Asian Banking and Finance tahun 2024, generasi muda akan mendominasi adopsi layanan fintech dan produk digital di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tak heran jika banyak perusahaan, baik swasta maupun BUMN, bergegas mendorong anak-anak muda menduduki jabatan strategis. Salah satunya adalah unit aplikasi bank BUMN ternama yang dikenal agresif dalam merekrut dan mempromosikan talenta digital muda. Namun, di balik keberhasilan tersebut, banyak kisah “silent tension” antara generasi di dalam tim.

Teori Psychological Contract dari Denise Rousseau (1989) menjelaskan bahwa selain kontrak kerja formal, karyawan juga memiliki harapan-harapan tak tertulis. Ketika seorang staf senior merasa pengalaman panjangnya tidak dihargai, atau ketika ia mendapati dirinya dipimpin oleh “anak kemarin sore” tanpa proses transisi yang adil, maka terjadilah konflik batin. Ia mungkin tidak memberontak secara terang-terangan, tetapi bisa memilih pasif, menarik diri, atau bahkan resign diam-diam.

Di sisi lain, kepemimpinan di era baru ini tidak cukup dengan hanya punya kemampuan teknis. Sita, dan banyak manajer muda lainnya, dituntut menjadi pemimpin transformatif. Seperti dijelaskan Bass dan Avolio (1994), pemimpin transformasional bukan sekadar pemberi instruksi, tetapi mampu menginspirasi dan membangun kepercayaan tim. Dan ini tidak mudah ketika harus berhadapan dengan orang-orang yang lebih senior, lebih berpengalaman, dan punya loyalitas yang lebih panjang terhadap organisasi.

Sebagai mahasiswa yang tengah memperdalam teori manajemen SDM, saya melihat bahwa ini saatnya organisasi Indonesia mengadopsi pendekatan Strategic Human Resource Management seperti yang ditawarkan Schuler dan Jackson (1987). SDM harus diselaraskan dengan visi jangka panjang, termasuk dalam hal integrasi lintas generasi. Ini tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja, tetapi perlu difasilitasi lewat pelatihan, mentoring dua arah (reverse mentoring), hingga coaching lintas usia.

Saya sendiri mengalami dinamika serupa. Di satu sisi, saya pernah menjadi “anak muda idealis” yang frustrasi karena usulan digitalisasi ditolak oleh atasan yang merasa “cara lama lebih aman.” Di sisi lain, setelah memimpin tim kecil yang anggotanya lebih tua, saya sadar bahwa pengalaman dan kehati-hatian mereka justru jadi pelengkap ideal dari semangat muda saya. Tapi itu butuh proses. Butuh duduk bersama, saling mendengar, dan saling mengakui.

Pengalaman Sita berakhir positif. Setelah beberapa bulan membangun komunikasi yang lebih inklusif, ia berhasil menciptakan suasana kerja yang kolaboratif. Ia membuka ruang diskusi informal, mengajak staf senior memberi masukan terhadap rencana _sprint_ , dan menghargai pengalaman mereka dalam mengelola risiko. Ia juga mengajak rekan-rekan muda untuk lebih sabar dan mendengarkan. Kini, timnya menjadi salah satu yang paling solid dan produktif di unit digital banking utersebut.

Dari cerita ini, saya belajar bahwa tantangan lintas generasi bukanlah hal yang harus ditakuti. Justru di sanalah peluang hadir: untuk membangun organisasi pembelajar yang sehat, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan. Kita tidak bisa membangun masa depan dengan hanya mengandalkan generasi tua atau generasi muda semata. Kita butuh keduanya—berjalan bersama, bukan berseberangan.

Seperti kata Charles Darwin yang kerap dikutip dalam manajemen perubahan, “Bukan yang terkuat atau terpintar yang akan bertahan, tetapi yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan.” Dan dalam konteks organisasi, adaptasi itu dimulai dari cara kita memandang, memimpin, dan mengelola manusia—dari berbagai generasi.(*)