Oleh: Ryo Disastro
“Kak, saya minta kopi tariknya satu ya,” ucap saya kepada pramusaji Kopi Tarik Edwin Premium di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Sabtu siang, 13 September 2025, saya melangkah masuk memenuhi undangan Focus Group Discussion (FGD) RUU Perekonomian Nasional 2025 yang diinisiasi oleh Nusantara Centre.
Saya memang terlambat satu jam. Namun, seperti halnya kopi yang harus diseduh perlahan agar rasa dan aromanya meresap sempurna, diskusi tentang masa depan ekonomi Indonesia juga berjalan dengan ritme yang lambat—karena yang dibedah adalah pasal demi pasal.
Perdebatan Serius, Guyonan Hangat
Prof. Yudhie Haryono, penyusun RUU sekaligus tuan rumah, tampak begitu larut dalam percakapan dengan para tokoh yang hadir: M. Hatta Taliwang, Dody Budiatman, Sogi Sutama, Amin Mujito, Herbertus Andriano, Ben Barman, Agus Rizal, Dedi Setiadi, Yaya Sunaryo, Firdaus, Asy’ari Muchtar, Rian Prasetio, Fadhil Ghafar, Setiyo Wibowo, hingga Dariyanto.
Sesekali ruangan riuh oleh perdebatan serius, lalu tiba-tiba pecah menjadi tawa ringan. Kopi tarik pun menjadi jeda yang pas, menyatukan suasana. Sebab, diskusi tanpa kopi ibarat makan tanpa minum. Mungkin hanya asap rokok yang absen, karena ruangan ber-AC ini jelas bukan rumah bagi para “ahli hisap”. Namun itu tidak mengurangi khidmatnya forum. Ide-ide tetap mengalir deras, gagasan dituangkan dengan bersemangat ke dalam draf RUU yang diharapkan menjadi induk bagi arah baru ekonomi nasional.
Di tengah riuhnya diskusi, pikiran saya melayang jauh ke masa lampau. Saya membayangkan peristiwa serupa ketika para pendiri bangsa merumuskan konstitusi asli negeri ini. Ada Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo, Soekardjo, Agus Salim, Soekiman, Maramis, Soebardjo, hingga Radjiman. Mereka berhari-hari duduk bersama, menuliskan jalan hidup sebuah bangsa yang berdiri di atas dasar Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan, Kesetaraan, dan Keadilan.
Dari Oligarki ke Kedaulatan
Ekonomi kita saat ini memang jauh dari ideal. Demokrasi liberal menyeret politik dan ekonomi ke tangan segelintir oligarki. APBN defisit, pajak dan utang menjadi solusi instan. Demokrasi ekonomi masih sebatas imajinasi.
Namun optimisme tak boleh padam. FGD ini adalah bukti bahwa masyarakat sipil tidak tinggal diam. Mereka hadir, berperan serta, merumuskan jalan keluar.
Bayangkan jika BUMN benar-benar menjadi tulang punggung kesejahteraan rakyat. Bayangkan bila koperasi tumbuh mandiri menopang ekonomi warga. Bayangkan pula jika sektor swasta diberi ruang yang adil. Situasi ekonomi kita jelas akan berbeda.
Penutup dengan Harapan
FGD sore itu akhirnya ditutup dengan kesepakatan untuk memperbaiki draf RUU Perekonomian Nasional 2025 sesuai masukan yang mengemuka dalam forum. Harapannya, regulasi ini kelak menjadi fondasi sistem ekonomi yang lebih adil, mandiri, dan sesuai dengan janji kemerdekaan Indonesia.
Sambil menyesap kopi terakhir, saya sadar: perjuangan belum selesai. Tetapi, seperti kopi tarik yang sabar ditarik berulang hingga rasanya nikmat, begitu pula perjalanan bangsa ini—perlahan, tapi pasti, menuju cita-cita besar.
Bung Karno pernah berpesan: “Politik tidak bisa berjalan tanpa ekonomi, dan ekonomi tidak bisa berjalan tanpa politik. Keduanya harus berpijak pada Pancasila.” Kutipan ini seakan menjembatani semangat FGD yang ingin meneguhkan kembali dasar ekonomi bangsa.(*)