SWARARAKYAT.COM, Depok – Dua ekonom Pancasilais, Prof. Yudhie Haryono dan Dr. Agus Rizal, menyoroti kondisi perekonomian Indonesia yang dianggap masih “terjajah” dalam diskusi terbuka di Depok pada Sabtu, 9 Agustus 2025, di Cafe Tatap Moeka, Margonda, Depok, Jawa Barat.
Berbasis perspektif ekonomi dan politik, mereka melukiskan situasi mutakhir ekonomi kita yang bukan hanya stagnan, melainkan masih berada dalam cengkeraman ketergantungan struktural terhadap entitas global.
Prof. Yudhie Haryono, Direktur Eksekutif Nusantara Centre, menekankan bahwa meski Indonesia telah merdeka sejak 1945, secara ekonomi bangsa ini belum sepenuhnya melepaskan belenggu kolonialisme dan ketergantungan—khususnya pada ekspor bahan mentah dan dominasi modal asing.
Hal ini tercermin dari beberapa hal berikut: dominasi investor serta pasar global yang mengatur harga dan suplai; rendahnya pengolahan komoditas dalam negeri, sehingga nilai tambah lemah; dilema struktural: ekonomi bertumpu pada ekstraksi, bukan inovasi.
Menurutnya, ketergantungan ini tidak hanya menghambat kedaulatan nasional, tapi juga menjadi akar persoalan dalam upaya membangun identitas ekonomi yang mandiri. Prof. Yudhie tidak membicarakan fenomena ini secara mengawang. Ia merujuk sejarah ekonomi Indonesia yang panjang, bahkan sebelum reformasi 1998, ketika pertumbuhan tinggi sering kali ditopang oleh praktik korup, perampasan sumber daya alam, atau monopoli komoditas. Kondisi ini menciptakan distorsi struktural yang bahkan sulit dihapus dengan pertumbuhan tinggi pun.
Dr. Agus Rizal, ekonom muda berbakat dari Universitas M.H. Thamrin, mengupas tuntas akar-akar liberalisme dalam forum ini. Dengan pendekatan riset akademik dan catatan historis, Dr. Agus membahas root cause dari ideologi liberalisme, di mana ketimpangan dan ketergantungan telah menjadi bagian sistemik dari ideologi ini.
Perekonomian kita yang dibentuk oleh skema eksploitasi—baik oleh kapital global maupun elit lokal yang dibekingi birokrasi lemah saat ini adalah ejawantah dari ideologi neoliberalisme.
Diskusi ini membangkitkan satu kesadaran penting. Bahwa merdeka secara politik saja tidak cukup jika ekonomi masih dikendalikan oleh sistem lama yang mengekspor potensi sumber daya alam kita sebagai bahan mentah, memiliki ketergantungan struktural, dan miskin agensi ekonomi yang Pancasilais.
Kita harus turun ke akar persoalan, ada kebutuhan serius terhadap rekonstruksi orientasi ekonomi bangsa—dari ketergantungan menuju kemandirian; dari ekspor bahan baku menuju produk bernilai tinggi; dari birokrasi lemah menuju tata kelola transparan, dari neoliberalisme ke Pancasilaisme.
Di sinilah pentingnya kita memiliki sebuah UU Perekonomian Nasional. Sebuah peta jalan baru yang akan membawa ekonomi Indonesia-bukan ekonomi di Indonesia- ke arah yang sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa, karena kemerdekaan bukanlah tujuan, tetap jembatan menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia.
Ekonomi yang merdeka adalah ekonomi yang dirancang dari dalam untuk tumbuh bersama rakyat seluruhnya. Bukan sebagian, apalagi segelintir orang. (Ryo Disastro)