Oleh: Effra S. Husein
Hari ini dua puluh satu tahun telah berlalu sejak Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia, tewas diracun dalam penerbangan Garuda menuju Amsterdam, 7 September 2004. Tragedi itu tidak hanya merenggut nyawa seorang pejuang HAM, tetapi juga meninggalkan luka moral yang hingga kini belum sembuh.
Pada 7 September 2004, Munir meregang nyawa akibat dosis mematikan senyawa arsenik dalam penerbangan Garuda rute Jakarta–Singapura–Amsterdam. Meski sempat ditangani melalui Tim Pencari Fakta (TPF), Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan, kasus ini masih menyisakan tanda tanya besar karena tidak ada perkembangan berarti sejak akhir 2008.
Munir adalah kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang, tempat ia belajar berpikir kritis, merumuskan keberpihakan, dan memahami bahwa iman harus melahirkan keberanian membela yang tertindas. Ia pernah mengatakan, “HMI harus melahirkan manusia merdeka yang berpikir jernih, berani berkata benar, dan tidak tunduk pada ketidakadilan.” Nilai inilah yang mendorongnya menjadi suara penting dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, dari Talangsari hingga Timor Timur.
Namun, kematian Munir justru menjadi cermin rapuhnya perlindungan terhadap pembela HAM di negeri ini. Memang, beberapa pelaku lapangan telah dijatuhi hukuman, tetapi publik meyakini kebenaran belum sepenuhnya terungkap. Rekomendasi TPF yang dibentuk pemerintah saat itu semestinya menjadi pintu masuk penyelesaian menyeluruh, bukan sekadar dokumen yang dilupakan.
Keadilan bagi Munir bukan sekadar untuk keluarga, tetapi untuk seluruh bangsa. Jika pembunuhan seorang pembela HAM dibiarkan tak tuntas, maka kita sedang mengirim pesan yang salah: bahwa keberanian bisa dibungkam dengan kekerasan.
Sudah saatnya negara menunjukkan keberpihakan pada kebenaran. Pemerintah perlu membuka kembali hasil penyelidikan TPF, memastikan proses hukum yang transparan, dan membawa semua pihak yang terlibat ke pengadilan.
Menuntaskan kasus Munir bukan membuka luka lama, tetapi menutupnya dengan cara yang benar. Dengan keadilan, bangsa ini bisa melangkah maju tanpa meninggalkan utang sejarah yang terus menghantui. (*)