Oleh: Aktivis 98 dan Pemerhati Papua, Frederik Gebze, S.E., M.Si
Senin,8 September 2025
Suara dari Timur
Papua,SwaraRakyat – Mencermati perkembangan negara yang begitu cepat mengikuti arus global, baik dalam geopolitik, ekonomi, perdagangan, hingga diplomasi perdamaian , Indonesia kian menegaskan diri sebagai kekuatan yang diperhitungkan. Apalagi setelah bergabung dengan BRICS, posisi Indonesia makin strategis di percaturan dunia.
Namun, di tengah narasi kebangkitan itu, ada kegelisahan yang tumbuh di Bumi Cenderawasih. Kami, putra-putri Papua, ingin bertanya: di mana rasa keadilan dan kesetaraan bagi anak Papua dalam struktur militer Indonesia, khususnya di enam Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua?
Hingga kini, dari jajaran Pangdam, Kasdam, hingga posisi strategis lainnya di TNI, hampir tak terlihat adanya putra asli Papua yang mendapatkan promosi bintang dua atau bahkan bintang satu. Padahal, tanah Papua terus dipuji, dieksploitasi, dan dijadikan simbol kebanggaan. Tetapi, di balik itu, anak-anak Papua masih sering hanya diposisikan sebagai penonton di rumahnya sendiri.
Apakah Papua hanya dipandang sebatas wilayah strategis, sementara manusianya tidak diberi ruang yang setara? Bukankah semangat “NKRI Harga Mati” seharusnya diikuti dengan keadilan nyata bagi seluruh anak bangsa, tanpa diskriminasi?
Kami memohon kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Pertahanan, dan para Kepala Staf TNI untuk memberi ruang yang adil. Anak Papua layak diberi kesempatan bersinar, mengemban amanah sebagai Pangdam, Kasdam, atau jabatan strategis lainnya.
Sebab bintang di pundak bukan hanya simbol kekuasaan, melainkan juga pengakuan negara atas kontribusi dan pengorbanan putra daerah.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Dalam konteks ini, promosi jabatan di tubuh TNI seharusnya mempertimbangkan prinsip keadilan substantif, bukan sekadar prosedural.
UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur bahwa TNI adalah tentara profesional yang tidak diskriminatif dalam tugas maupun promosi. Jika realitas menunjukkan adanya kesenjangan representasi putra Papua, maka ini patut menjadi koreksi serius.
Kajian keadilan distributif (Aristoteles) menekankan bahwa keadilan bukan sekadar kesamaan formal, tetapi distribusi yang proporsional sesuai kontribusi dan pengorbanan. Dengan sejarah panjang Papua yang setia kepada NKRI, sudah selayaknya ada penghargaan nyata berupa kesempatan yang setara di dalam struktur militer.
Keadilan bukan hadiah, melainkan hak. Anak-anak Papua telah membuktikan cinta kepada Indonesia, bahkan melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Kini saatnya negara membalas dengan tindakan konkret, bukan hanya pujian kosong.
Biar bintang-bintang di langit militer juga jatuh di tanah Papua. Karena ketika anak Papua ikut memegang komando, yang bersinar bukan hanya pangkat, tetapi juga martabat Indonesia di mata dunia.
Salam hormat untuk Presiden Republik Indonesia, para Kepala Staf, para gubernur, bupati, wali kota, dan seluruh rakyat Indonesia. Mari bersama membangun bangsa dengan keadilan yang tidak hanya slogan, tetapi nyata di lapangan.(sang)