Oleh: Kamrussamad
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Fiskal dan Moneter
Jakarta,SwaraRakyat.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menangani kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Modusnya klasik namun berulang: kewajiban pajak wajib pajak diperkecil melalui rekayasa pemeriksaan, sementara pegawai pajak menerima imbalan suap. Praktik ini berlangsung dalam periode 2016–2020 dan melibatkan oknum DJP serta sejumlah wajib pajak besar.
Kejagung bergerak cepat. Penggeledahan dilakukan di kantor pajak dan kediaman pegawai DJP, pemanggilan saksi digencarkan, serta pencekalan diberlakukan kepada pihak-pihak terkait. Lima nama telah dicekal bepergian ke luar negeri, yaitu mantan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, Direktur Utama PT Djarum Victor Rachmat Hartono, Kepala KPP Madya Dua Semarang Bernadette Ning Dijah Prananingrum, Pemeriksa Pajak Muda Karl Layman, dan Konsultan Pajak Heru Budijanto Prabowo. Pencekalan dilakukan agar proses penyidikan dapat berjalan efektif dan tanpa hambatan.
Rentetan Kasus Pajak
Kasus korupsi yang melibatkan oknum DJP bukanlah kejadian baru. Dalam rentang 2010–2026, setidaknya terdapat 10 kasus besar yang menghebohkan publik: Gayus Tambunan (2010), Bahasyim Assifie (2011), Dhana Widyatmika (2012), Pargono Riyadi (2013), kasus Eko Darmayanto dan Muhammad Dian Irwan (2013), Tomy Hindratno (2013), Handang Soekarno (2016), Angin Prayitno (2021), hingga Rafael Alun Trisambodo (2023).
Modus yang berulang menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam pengawasan internal DJP. Perbaikan integritas pegawai belum berlangsung signifikan, sehingga celah penyimpangan terus terbuka. Lemahnya integritas ini juga berkontribusi pada terjadinya shortfall penerimaan pajak yang hampir menjadi rutinitas. Dalam 14 tahun terakhir, 10 kali target pajak meleset.
Realisasi Penerimaan Pajak
Hingga Oktober 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp1.459 triliun atau 70,2% dari Outlook 2025, lebih rendah dibanding periode sama pada 2024 yang mencapai 79%. Pemerintah masih harus mengumpulkan Rp617,9 triliun dalam dua bulan terakhir. Sebagai pembanding, November–Desember 2024 hanya menghasilkan Rp414,1 triliun.
Jika target tidak tercapai, shortfall kembali terjadi dan memberi dampak berantai: defisit anggaran melebar, pembiayaan utang meningkat, dan beban bunga menumpuk. Pada 2026, biaya bunga utang yang harus dibayar mencapai Rp599 triliun, lebih besar daripada anggaran perlindungan sosial, ketahanan pangan, ketahanan energi, hingga kesehatan.
Shortfall juga memicu automatic adjustment atau pemotongan anggaran, yang dapat menunda program prioritas dan mengganggu realisasi Transfer ke Daerah (TKD). Di sisi lain, kredibilitas fiskal pemerintah di mata investor dan lembaga pemeringkat akan ikut tergerus.
Langkah Terobosan
Menghadapi potensi shortfall, DJP melakukan terobosan dengan memburu 200 penunggak pajak kelas jumbo. Hingga pertengahan November 2025, Rp11,48 triliun telah berhasil dikumpulkan dari target Rp60 triliun.
Otoritas pajak sebetulnya memiliki kewenangan yang lengkap: menerbitkan surat teguran, surat paksa, menyita aset, memblokir rekening, hingga penyanderaan wajib pajak. Dengan kewenangan sebesar itu, target penerimaan seharusnya tercapai, dan tax ratio semestinya meningkat.
Tax ratio Indonesia masih rendah, yakni sekitar 10% dalam periode 2022–2024, jauh di bawah Thailand (17,18%), Vietnam (16,21%), dan Singapura (12,96%). UU HPP serta RPJMN 2025–2029 telah menargetkan rasio pajak minimal 15%. Penguatan rasio perpajakan penting untuk mengurangi ketergantungan pada utang, yang per Juni 2025 telah mencapai Rp9.138 triliun atau 39,86% PDB.
Dampak Penegakan Hukum
Dengan penghujung tahun fiskal semakin dekat, percepatan pengungkapan kasus perpajakan menjadi sangat krusial. Tindakan tegas Kejaksaan Agung memiliki efek deteren bagi pegawai pajak maupun wajib pajak. Bagi DJP, ini momentum untuk memperkuat integritas internal. Bagi wajib pajak, pesan yang harus ditangkap jelas: tidak ada yang kebal hukum.
Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa negara tidak akan berkompromi terhadap pencurian uang rakyat. Penanganan tegas Kejagung atas kasus pajak merupakan implementasi langsung dari arahan tersebut. Mengingat 72,47% pendapatan negara bersumber dari pajak, setiap kebocoran dalam sistem akan langsung mengancam stabilitas pembangunan nasional.
Harapan Dunia Usaha
Dunia usaha memiliki peran vital dalam pembangunan: meningkatkan produktivitas nasional, menciptakan lapangan kerja, dan berkontribusi pada penerimaan negara. Investasi – penopang utama perekonomian – menyumbang 30% PDB. Pada triwulan II dan III 2025, investasi tumbuh masing-masing 6,99% dan 5,04%. Hingga triwulan III 2025, realisasi investasi mencapai Rp1.434,3 triliun dan menyerap 1,9 juta tenaga kerja.
Karena itu, dunia usaha menuntut kepastian hukum dan kepastian perlakuan dalam pemungutan pajak. Pelayanan pajak yang transparan, adil, dan berintegritas akan meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance) tanpa intimidasi.
Kasus besar yang sedang diusut Kejaksaan Agung harus dijadikan momentum pembenahan internal DJP. Ini saatnya membersihkan institusi dari oknum yang menodai kepercayaan publik dan merugikan negara. Di saat yang sama, DJP perlu memaksimalkan strategi intensifikasi dan ekstensifikasi untuk memperluas basis pajak, bukan hanya “berburu di kebun binatang”.(sang)













