Oleh: Ardhi Piliang (Pengamat-LSM Pustaka Indonesia)
Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum kebangkitan bagi Provinsi Sumatera Barat. Namun realitas di lapangan menunjukkan pembangunan di berbagai sektor berjalan lamban, bahkan cenderung stagnan. Dari aspek ekonomi, infrastruktur, sosial, politik, pendidikan hingga kesehatan, Sumbar tampak tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia yang lebih progresif.
Ekonomi yang Melambat
Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat menunjukkan tren perlambatan. Pada 2023, ekonomi tumbuh 4,62 %, sedikit menurun menjadi 4,36 % pada 2024. Bahkan, rilis awal 2025 memperkirakan pertumbuhan hanya 3,94 %, terendah di Pulau Sumatera. PDRB per kapita Sumbar tercatat sekitar Rp 54,33 juta (≈ US$3.565), masih di bawah rata-rata nasional.
Struktur ekonomi juga masih rapuh, didominasi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (21,04 %), serta perdagangan (16,41 %). Minimnya diversifikasi dan inovasi membuat Sumbar tertinggal dari provinsi tetangga yang lebih cepat bertransformasi ke sektor modern. UMKM tak naik kelas karena minim akses pembiayaan dan digitalisasi, sementara investor enggan masuk akibat birokrasi berbelit dan iklim usaha yang kurang kompetitif.
Infrastruktur Lambat dan Tidak Merata
Pembangunan infrastruktur yang diharapkan menjadi penopang pertumbuhan juga berjalan lamban. Jalan nasional di Sumbar memang 92,97 % berstatus mantap (2023), tetapi jalan provinsi hanya 66,08 %. Kondisi ini menyebabkan arus logistik terganggu, terutama di daerah pedalaman.
Program Inpres Jalan Daerah (IJD) memang meningkat, dari Rp 147 miliar pada 2023 menjadi Rp 478,6 miliar pada 2024, namun cakupan perbaikannya masih jauh dari kebutuhan. Proyek strategis seperti Tol Padang–Pekanbaru berjalan lamban, sehingga mobilitas barang dan masyarakat belum bisa terakselerasi.
Sosial dan Politik yang Terjebak Romantisme
Secara sosial-politik, Sumbar masih sering terjebak pada politik identitas dan romantisme masa lalu. Alih-alih mengusung politik gagasan, elite lokal sibuk mempertahankan citra dan pengaruh. Akibatnya, masyarakat terbelah oleh perbedaan pandangan tanpa arah dialog yang produktif.
Pendidikan: Tinggi Partisipasi, Rendah Inovasi
Dalam bidang pendidikan, masalah mendasar masih terlihat. Data BPS menunjukkan Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi di Sumbar hanya 43,29 % (2024). Artinya, hampir separuh generasi muda tidak mengenyam pendidikan tinggi.
Meski Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumbar 2024 mencapai 76,43, naik dari tahun sebelumnya, kenaikan ini belum cukup menjawab tantangan pengangguran terdidik yang makin meningkat. Perguruan tinggi lebih sibuk pada rutinitas administratif daripada riset dan hilirisasi inovasi.
Kesehatan: Stunting Tinggi, Akses Tak Merata
Sektor kesehatan masih memperlihatkan kesenjangan mencolok. Di perkotaan, layanan relatif memadai, tetapi di pedalaman masyarakat kesulitan mengakses dokter dan fasilitas kesehatan dasar.
Data BPS dan Dinas Kesehatan menunjukkan prevalensi stunting di Sumbar mencapai 25,2 %, tertinggi di Pulau Sumatera. Layanan preventif seperti edukasi gizi, kesehatan mental, dan kesehatan ibu-anak belum menjadi prioritas.
Butuh Lompatan, Bukan Langkah Kecil
Sumatera Barat membutuhkan lompatan besar, bukan sekadar langkah kecil. Pemerintah daerah harus berani keluar dari zona nyaman dan berhenti menjadikan budaya serta sejarah sebagai tameng untuk menutupi kelemahan.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, infrastruktur tidak merata, pendidikan yang belum mampu menjadi alat mobilitas sosial, serta kesehatan publik yang masih tertinggal, Sumbar tidak bisa lagi hanya bangga pada masa lalu.
Sudah saatnya Sumatera Barat mengubah narasi: dari provinsi yang hanya hidup dengan romantisme sejarah, menjadi provinsi yang berani merancang masa depan dengan inovasi, keberanian, dan langkah strategis nyata. (*)













