Ditulis oleh Agus Pane
Swararakyat.com Jakarta Sebelumnya, tarif umum pajak penghasilan badan sebesar 28% dari penghasilan kena pajak, yang kemudian diturunkan menjadi 25% mulai 2010, sesuai Pasal 17 ayat (2a) UU PPh No. 38/2008.
Kemudian melalui UU No. 2 Tahun 2020 Pasal 5 ayat (1), tarif PPh Badan diturunkan menjadi 22% yang berlaku mulai Tahun Pajak 2020 dan 2021.
Berikutnya melalui UU HPP No. 7/2021, ditetapkan kembali tarif PPh Badan sebesar 22% mulai Tahun Pajak 2022 hingga saat ini.
Pajak Pertambahan Nilai pada awal berlakunya UU 8 Tahun 1983 tentang PPN dikenakan tarif 10%. Namun pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua memaikkan tarif PPN menjadi 11%. Presiden Prabowo melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani akan menaikkan tarifnya menjadi 12% yang akan berlaku pada Januari 2025.
Berbanding terbalik dengan Pajak Penghasilan Badan yang semula 28% turun menjadi 22%.
Dalam APBN 2024 Penerimaan Pajak per Oktober 2024,PPh sebesar Rp 810,76 trilyun. Sedangkan PPN sebesar Rp 620,42 T.
Melihat kondisi penerimaan Pajak belum mencapai pagu penerimaan pada APBN 2024 dengan nilai Rp. 2,309.Trilyun,
Pada APBN tahun 2025 untuk pagu Penerimaan Pajak sebesar Rp 3.000 T, untuk mencapai target penerimaan Pajak pada tahun 2025 seharusnya Pemerintahan Prabowo mengembalikan tarif PPh Badan kambali 28%. Ini kenaikan yang realistis pada PPH Badan agar APBN 2025 tidak defisit penerimaan Pajak. Tarif 28% pernah berlaku pada Orba bertahan selama 3 dekade sampai Orde Reformasi, dibanding dengan menaikkan PPN dari 11% ke 12% yang pada faktanya golongan rakyat kecillah yang terbebani dengan kenaikan ini. Rakyat semakin terhimpit dan penghasilan semakin kecil valuenya. Kerja keras tidak sebanding dengan pendapatan.
Paradoks : Kenaikan PPN 12% dengan Penurunan Tarif PPh 22%
