Jakarta,SwaraRakyat.com – Riba di era modern hadir bukan sekadar urusan halal-haram, melainkan bagian dari wajah kapitalisme global yang terus menjebak rakyat kecil dalam lingkaran utang. Dari bank konvensional, pinjaman online (pinjol), hingga kredit rumah dan kendaraan, sistem keuangan hari ini seperti menyalin praktik kolonial: mengambil keuntungan dari penderitaan dan kebutuhan masyarakat.
Para ulama Ustadz Abdul Somad (UAS), Buya Yahya, dan Ustadz Adi Hidayat (UAH) sepakat bahwa riba adalah dosa besar yang tak bisa ditawar. UAS menyebut pelaku riba akan dibangkitkan seperti orang kerasukan setan, sementara UAH menegaskan bahwa setiap tambahan di luar pokok pinjaman adalah riba. Buya Yahya bahkan membedakan secara tegas antara akad jual beli kredit yang sah dan praktik bunga bank yang murni riba.
Dalam praktiknya, riba adalah “mesin penghisap” yang membuat orang miskin semakin miskin, sementara pemilik modal semakin kaya. Sistem bunga yang dilembagakan melalui bank, pinjol, hingga leasing kendaraan hanyalah cara kapitalisme menjaga akumulasi keuntungan.
Ekonom muda Marhaenis, Muhamad Said, menegaskan bahwa riba bukan sekadar dosa agama, tapi juga problem struktural.
“Riba adalah wajah kapitalisme yang dilembagakan. Ia membuat rakyat kecil tak pernah lepas dari jeratan cicilan. Inilah eksploitasi modern yang justru dilegalkan hukum negara,” ujarnya.
Ia mengaitkan hal ini dengan Maqashid Syariah tujuan syariat Islam yang menekankan keadilan distribusi dan perlindungan harta (hifz al-mal). Dengan kata lain, larangan riba bukan hanya menjaga moralitas individu, melainkan juga menegakkan keadilan sosial.
Al-Qur’an tak main-main dalam menyinggung riba:
-
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
-
“Jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah: 279)
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa riba bukan hanya urusan ibadah, tapi bentuk perlawanan terhadap keadilan Ilahi. Jika kapitalisme menghalalkan bunga, maka Islam justru memeranginya.
Bank syariah dan lembaga keuangan mikro syariah mulai hadir sebagai jawaban. Namun, Said menilai langkah itu masih setengah hati karena lebih sering “meniru” bank konvensional daripada benar-benar mengubah logika kapitalisme.
“Yang dibutuhkan bukan sekadar label syariah, melainkan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat—menguatkan koperasi, memperluas akses modal tanpa bunga, dan mendorong distribusi kekayaan yang adil,” tegasnya.
Gerakan rakyat harus melihat riba sebagai musuh bersama, bukan hanya karena dalil agama, tetapi karena riba adalah alat kapitalisme yang memenjarakan buruh, petani, dan kaum miskin kota dalam utang. Riba di era modern adalah wajah lain dari penindasan ekonomi. Ulama telah memperingatkan dari sisi agama, sementara para ekonom kritis melihatnya sebagai instrumen kapitalisme global. Pesannya sudah jelas,
hindari riba, lawan kapitalisme yang membungkusnya dengan istilah kredit, dan bangun ekonomi yang adil, mandiri, serta berkeadilan sosial.(sang)