Di HUT Ke-4 PKN, Anas Urbaningrum Bangun Narasi Politik Keadilan Sosial Untuk Ojol

Jakarta,SwaraRakyat.com – Seruan Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Anas Urbaningrum agar Presiden Prabowo Subianto segera menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) tentang ojek online (ojol), membuka perdebatan penting di era ekonomi digital: sejauh mana negara harus hadir melindungi pekerja berbasis platform yang status hukumnya masih abu-abu – bukan karyawan tetap, namun bukan pula sepenuhnya wiraswasta.

Desakan itu disampaikan Anas di hadapan ratusan pengemudi ojol dalam peringatan HUT Ke-4 PKN, yang digelar bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, di Jakarta, Selasa (28/10).

“Hari ini usia PKN baru empat tahun, masih balita. Tapi kami punya harapan besar bagi kebangkitan bangsa Indonesia,” ujar Anas.
“Bagi kami, ojol bukan hanya pengantar orang, barang, atau jasa – tapi pengantar masa depan bangsa. Kalau harapan mereka macet di tengah jalan, bangsa ini pun ikut macet.”

Anas menegaskan, sejak awal PKN berpihak pada keadilan ekonomi digital. Ia menilai perlu ada pembagian hasil kerja yang adil antara perusahaan penyedia aplikasi dan para pengemudi.

“Hitungan kami, minimal 90 persen keuntungan harus dikembalikan kepada pengemudi, dan aplikator wajib menyediakan THR bagi mereka,” tegas Anas.

Menurutnya, keberadaan Perpres yang jelas dan berpihak akan menjadi fondasi keadilan baru dalam ekonomi berbasis platform digital.
“PKN berharap Presiden Prabowo segera menandatangani Perpres tersebut. Ini bukan hanya soal regulasi, tapi soal keadilan dan masa depan bangsa,” ujar Anas menutup orasinya.

Sikap tegas Anas itu disambut dukungan dari para pengemudi.
Perwakilan Komunitas Gotha (Gojek Talib), Irwanto, menyebut langkah PKN sebagai bentuk nyata keberpihakan terhadap rakyat kecil.

“Selama ini pemerintah terkesan tidak serius. Tapi PKN hadir memberi perhatian kepada kami. Kami merasa dihargai,” ujar Irwanto.

Ia menyoroti penurunan pendapatan para pengemudi.

“Dulu kami bisa membawa pulang Rp300.000 per hari, sekarang tinggal sekitar Rp200.000. Tapi kami tetap bersyukur, masih bisa menjemput rezeki di jalan,” tambahnya.

Selain berjuang secara ekonomi, Komunitas Gotha juga aktif dalam kegiatan sosial.
Irwanto menjelaskan bahwa komunitasnya mengelola rumah singgah untuk 32 anak yatim piatu di Jakarta.

“Bantuan dari PKN hari ini sangat berarti bagi anak-anak yang kami asuh,” ungkapnya.

Edi, anggota komunitas lainnya, menambahkan bahwa para pengemudi rutin menyisihkan Rp50.000 hingga Rp100.000 per bulan untuk biaya rumah singgah.

“Kami percaya, rezeki harus dibagi. Walau berat, menyisihkan seribu rupiah per hari untuk anak yatim adalah bagian dari tanggung jawab sosial kami,” ujarnya.

Fenomena ojek online telah menciptakan lapangan kerja baru bagi jutaan warga, namun juga menimbulkan ketimpangan struktural antara “kapital digital” (perusahaan aplikasi) dan “pekerja algoritma” (pengemudi).
Bagi banyak pihak, Perpres Ojol menjadi ujian moral bagi pemerintahan Prabowo: apakah keberpihakan pada ekonomi kerakyatan benar-benar diwujudkan dalam kebijakan.

PKN di bawah kepemimpinan Anas Urbaningrum berusaha membangun jembatan politik antara rakyat pekerja dan negara.
Dengan retorika yang menekankan keadilan digital, Anas mengartikulasikan gagasan bahwa ekonomi masa depan tidak boleh hanya diukur oleh efisiensi aplikasi, tetapi oleh kemuliaan kerja manusia di balik layar algoritma.

Secara ideologis, sikap ini menegaskan arah politik PKN sebagai partai yang berpihak pada kelas pekerja baru – pengemudi online, kurir, dan pekerja lepas digital – kelompok yang selama ini luput dari perlindungan negara.

Jika Perpres Ojol benar-benar disahkan dengan orientasi keadilan, hal ini bisa menjadi preseden penting bagi reformasi tenaga kerja di era digital: menjamin hak, pendapatan layak, dan kepastian hukum bagi jutaan pekerja berbasis platform di Indonesia.

Secara politik, langkah Anas Urbaningrum membaca isu ojek online menunjukkan insting strategisnya dalam membangun politik keberpihakan yang konkret.
Di tengah kejenuhan publik terhadap wacana elite, PKN menyentuh realitas keseharian rakyat pekerja digital – kelompok besar yang secara elektoral potensial, namun belum terorganisir secara politik.

Isu Perpres Ojol bisa menjadi pintu masuk bagi PKN untuk meneguhkan citra sebagai partai pembela keadilan sosial, bukan hanya dalam narasi, tetapi juga dalam perjuangan struktural di lapangan.
Dengan demikian, Anas tidak sekadar berbicara soal transportasi digital, tetapi sedang membangun narasi politik alternatif: politik yang berpihak pada pekerja, bukan pada kapital digital.

Jika konsisten, positioning ini dapat memperkuat basis PKN sebagai partai kerakyatan progresif menjelang Pemilu 2029 – menempatkan Anas Urbaningrum bukan sekadar sebagai tokoh reformis, tetapi arsitek baru politik keadilan sosial di era digital.(sang)