The Umalas Signature Kuta Bali: Dari Apartemen Mewah Ke Panggung Perlawanan Rakyat

Denpasar,SwaraRakyat.com – Bali kembali jadi panggung panas pertarungan hukum. Untuk pertama kalinya, dua jenderal kepolisian di Pulau Dewata harus duduk di kursi tergugat secara pribadi, bukan atas nama institusi. Mereka adalah Kapolda Bali Irjen Pol Daniel Adityajaya dan Dansat Brimob Polda Bali Kombes Pol Rachmat Hendrawan.

Yang menggugat adalah seorang pengusaha lokal, Budiman Tiang, lewat kuasa hukumnya Gede Pasek Suardika (GPS) dari Berdikari Law Office. Inti gugatannya: dugaan penyalahgunaan wewenang aparat negara untuk kepentingan bisnis privat, tepatnya sengketa kepemilikan Apartemen The Umalas Signature, Kerobokan, Kuta Utara.

Menurut GPS, apa yang terjadi bukan sekadar perebutan apartemen mewah. Ia menyebut ada pengerahan pasukan Brimob bersenjata lengkap ke lokasi, tanpa dasar hukum jelas, bahkan merusak fasilitas, memutus listrik, hingga mengusir paksa penghuni.

“Kalau organ penting negara dipakai untuk menakut-nakuti warga dalam sengketa perdata, itu bukan lagi penegakan hukum. Itu premanisme berseragam. Polisi rakyat berubah jadi centeng kapital asing,” tegas GPS dalam persidangan perdana, Senin (15/9/2025), di PN Denpasar.

Bahkan, GPS menuding adanya Surat Perintah Nomor Sprint/669/VII/PAM.3.3/2025 sebagai bukti nyata penyalahgunaan jabatan. “Tidak ada permintaan pengadilan, tidak ada perintah pemerintah. Jadi siapa yang diuntungkan kalau bukan kepentingan modal swasta?” tambahnya.

Sidang dipimpin majelis hakim I Wayan Suarta, Ni Kadek Kusuma Wardani, dan Theodora Usfunan. Polemik makin memanas ketika tim Bidang Hukum (Bidkum) Polda Bali ikut hadir mendampingi kedua jenderal tersebut.

GPS langsung bereaksi keras,
“Yang kami gugat itu pribadi Irjen Daniel dan Kombes Rachmat. Bukan institusi Polri. Jadi apa urusannya Bidkum hadir di sini, kecuali mereka punya kartu advokat?”

Hakim kemudian meminta keberatan tersebut dituangkan secara tertulis, sekaligus menunjuk mediator Ida Bagus Bamadewa Patiputra. Mediasi dijadwalkan pada 29 September 2025.

Di sisi lain, Kabid Humas Polda Bali Kombes Ariasandy mencoba meredam isu. Ia menyebut pengerahan Brimob hanyalah upaya mencegah bentrokan antar kubu.
“Yang kami lakukan adalah tugas kepolisian menjaga ketertiban. Brimob tidak membawa senjata tajam, hanya senjata standar pengamanan,” ujarnya.

Namun penjelasan itu justru memantik pertanyaan publik: sejak kapan sengketa sipil ditangani dengan pasukan Brimob? Mengapa aparat negara tampak lebih sigap melindungi kepentingan investor dibandingkan hak pemegang sah sertifikat tanah dan bangunan?

Dari perspektif politik, kasus ini menyingkap wajah klasik state capture kondisi ketika aparatur negara masuk ke orbit kepentingan privat. Demokrasi kehilangan rohnya saat hukum tunduk pada modal, dan aparat yang seharusnya melindungi rakyat justru menjadi palang pintu bisnis asing.(sang)

“Perjuangan menghadirkan keadilan memang tidak mudah, tetapi harus diperjuangkan. Negara tidak boleh jadi milik segelintir orang,” tutup GPS penuh penekanan.

kebenaran pada akhirnya pasti menang

Satya eva jayati