JAKMANIA Sebagai Simbol Perjuangan Rakyat Jakarta

Ditulis oleh:
Suga Sapu-Sapu, si Anak Marhaen
Direktur Political Economic, and Literature Institute (PELI)

Dalam buku Tan Malaka, yaitu Madilog pernah menganalogikan perjuangan sebuag bangsa dengan sepak bola sebagaimana tercantum dalam karyanya yang berjudul Madilog, “Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu, bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak”.

Makna Tan Malaka jelas telah digambarkan bahwa perjuangannya dalam sepakbola sangat diperlukan untuk bekerja sama, mengetahui siapa yang berjalan seirama dan siapa yang menjadi penghalang bagi perjalanan kita. 
Dari hal ini, kita memahami pola dari perjuangan tersendiri dalam sepak bola: sepak bola bukan sekedar permainan olahraga melainkan berfungsi sebagai analogi dalam pemikiran.

Dalam sejarahnya, sepak bola telah diketemukan di masa Cina kuno, tepatnya di masa Dinasti Han pada abad ke-2 dan ke-3 SM. Kegiatan ini awalnya disebut Ts’uh Kúh atau Cuju  dan dipraktikan di kota kuno Zibo. 

Inilah permainan bola dengan kaki pertama yang tercatat dalam sejarah. Tujuan permainan ini adalah untuk memasukan bola kulit penuh bulu dan rambut ke jaring kecil berdiameter kurang lebih 40 sentimeter yang dipasang di atas batang bambu setinggi 10 meter (Luciano Wernicke, 2017: 3).

Mengikuti derasnya arus modernisasi, sepak bola terus mengalami perubahan yang siginifikan, sebelum memasuki periode “modern football” atau “kapitalisasi sepak bola”Kalimat “sepak bola adalah alat perjuangan bangsa” masyhur dalam benak rakyat medio dekade kedua abad ke-20 di “Negeri Yang Terperentah” (sekarang Indonesia). terdapat satu masa di mana sepak bola adalah alat perjuangan bangsa.

Kalimat “sepak bola adalah alat perjuangan bangsa” masyhur dalam benak rakyat medio dekade kedua abad ke-20 di “Negeri Yang Terperentah” (sekarang Indonesia).

Perspektif Sepakbola Sebagai Bentuk Perjuangan Rakyat di Belahan Negara Dunia

Mengutip dari beebagai artikel lain, pada masa pemerintah kolonial Prancis awalnya menginginkan pengembangan olahraga sebagai elemen kontrol dan akulturasi populasi. 

Di wilayah Oran, kota pesisir utama yang terletak di barat laut Aljazair, telah berdiri liga amatir sejak 1919.

Setahun berselang, Constantine dan Aljir menghelat kejuaraan setipe. Pada tahun 1921 munculah klub pribumi pertama dengan identitas muslim, Mouloudia Club Algérois (MCA).

Selama musim 1923-1924 sudah ada setidaknya empat klub muslim di liga Aljazair dan Constantine, serta tak kurang dari sepuluh tim di liga Oran. Klub-klub sepak bola ini menyusun dirinya lebih dari sekedar kesebelasan sederhana.

Di dalam diri mereka menjelam menjadi identitas nasional yang kuat. Sikap penentangan terhadap dominasi otoritas penjajah. Di koloni-koloni Prancis yang menjadi objek kontrol akut, klub-klub sepak bola pribumi menjadi sinonim dengan kehendak berlawan.

Seiring berjalannya waktu, dunia sepak bola mulai melakukan hal-hal yang lebih dari sekedar permainan. Sepak bola menawarkan ruang dan tempat warna antikolonial dapat diunjuk secara terbuka. 


Ruang itu yang kemudian diisi oleh para khalayak yang ingin mengekspresikan karya lainnya di dalam atau luar lapangan. 
Pada masa itu warna menjadi pembeda, Hijau dan merah, dipakai hampir semua tim Aljazair pada zaman itu, demi membedakan diri dengan komunitas Bangsa Eropa. Stadion Aljazair lantas menjadi tempat yang retak, memisahkan bangsa dan kelas.

Orang Aljazair dan Pieds-Noirs (sebutan orang kulit putih dari Prancis yang tinggal di Aljazair sebelum kemerdekaan Aljazair) berhadap-hadapan. Yang satu memendam dendam, yang lain merendahkan. Yang satu merasa diinjak terlalu lama, yang lain menganggap dirinya pantas mengatur selamanya.

Para penduduk jajahan mulai mempertanyakan keberadaan mereka sebagai sebuah bangsa. Menggugat persoalan-persoalan harian, maslah rasialisme dan isu-isu terkait yang mengarah pada konfrontasi yang membelah secara keras: “mereka atau kami”. Bila waktunya tepat dan kemarahan sudah mendidih, bentrokan pun pecah. Contoh lainnya ialah, kedatangan Maradona di Kota Naples.

Wilayah Selatan Italia itu berbeda dengan di Wilayah Utara. Dimana Wilayah Utara selalu menampilkan kehidupan Rakyat Elitis dan Glamor.

Wilayah Utara sendiri merupakan pusat Industrial baim otomotif ataubahkan sebagai epicentrum fashion dunia, kehidupan terswbut berbanding jauh dengan Wilayah selatan.

Utara yang kuat, apa yang kami lakukan bersama Napoli adalah pukulan yang nyata. Itu (terasa) sakit (buat mereka). Tak seorang pun dari selatan pernah memenagkan gelar sebelum kami. Dan mereka tidak hanya mencintaiku di Napoli; semua orang miskin di selatan Italia mencintaiku. Aku adalah simbol mereka. Seseorang yang mengambil dari Si Kaya untuk memberikan kepada Selatan yang miskin. -Diego Armando Maradona-

Dari 2 keselarasan cerita diatas, Hubungan nasionalisme dan perjuangan yang dimotori melalui sepak bola pun menjadi semakin intim, people power selalu berdiri di tengah-tengahnya.
Olahraga yang awalnya diperkenalkan pihak kolonialis, kini menjadi belati tajam milik kaum nasionalis. Sepak bola menjadi medan pertempuran antara penjajah dan yang dijajah. Dia adalah olahraga, dia juga adalah perlawanan.

JAKMANIA Simbol Perjuangan Rakyat Jakarta

Dalam proses sejarahnya The Jakmania, organisasi suporter Persija Jakarta berawal dari pandangan seorang suporter bernama Tauhid Ferry Indrasjarief (Bung Ferry).

Dengan harapan untuk membangkitkan kembali semangat sepak bola di Jakarta, baik dari tim maupun pendukungnya.
Pada awalnya, Jakmania hanya terdiri dari sekitar 100 orang anggota dan 40 pengurus. Figur yang dikenal di mata masyarakat, Gugun Gondrong, dipilih sebagai pemimpin mereka.

Meskipun seorang selebriti, Gugun ingin merasa sama dengan yang lain. Namun, perjalanan Jakmania dalam mendukung Persija tidak selalu mulus seperti saat ini.

Dalam katalog politik, Jakmania merupakan bagian dari civil society yang dapat terlibat dalam strategi politik dalam mengaktualisasikan kepentingan masyarakat melalui berbagai hal guna kepentingan bersama.

Dapat dikataka, Jakmania sendiri memiliki potensi besar dalam mempengaruhi hasil para kontestastan Politik.

Mereka sebenarnya tidak hanya berperan sebagai pendukung tim, tetapi juga sebagai kekuatan sosial yang dapat diandalkan dalam memperjuangkan suara rakyat melalui riuhnya tribun.

Tidak sedikit juga para Jakmania yang menjadikan klub mereka sebagai alat untuk menyampaikan berbagai pesan berjalan dalam menyampaikan aspirasi masyarakat.

Melihat hal ini, sejatinya sepak bola selalu dapat dijadikan alat perjuangan komunikasi secara politik, sepak bola memang bukan sekedar olahraga semata, tetapi lebih dari itu.

Terlebih olahraga ini merupakan bagian dari suatu diplomasi dan kebanggaan yang sifatnya representatif. Dari perspektif lain sepak bola juga sering dianggap sebagai pelipur lara sesaat atas segala kekisruhan ekonomi, sosial bahkan juga politik.

Karena sejatinya olahraga ini merupakan olahraga yang lahir dari rahim rakyat, pada masa lalu orang-orang di Inggris yang datang ke stadion untuk menyaksikan pertandingan adalah masyarakat kelas buruh pabrik dan pekerja lainya.

Pun begitu di kebanyakan belahan negara lainya, masyarakat yang datang ke stadion untuk menikmati sepak bola pada awalnya adalah kelas pekerja. Meski saat ini sepak bola sudah menjadi industri dan banyak yang menyaksikan pertandingan bukan hanya dari kelas buruh.

Tetapi tetap saja sepak bola terus disebut sebagai olahraga rakyat. Karena hiburan “termurah” yang dapat dinikmati seluruh elemen masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai sosiokultur yang ada sebagai identitasnya.

Sebagai penutup, melihat hiruk-pikuknya adanya kontestasi Pemilihan Gubernur saat ini, wajar dirasa jika kita menyematkan bahwasanya mengenal JAKMANIA berarti mengenal DKI juga. Karena sesungguhnya representasi atau miniatur masyarakat DKI ada ditubuh JAKMANIA.

THE JAK!

MANIA!

MERDEKA!