Oleh: S Arisdiyanto
SwaraRakyat.com-Sumenep,- Salam Amanah Kemanusiaan,
Halo Bapak Kejaksaan Negeri Sumenep, salam santun dari kami rakyat biasa. Semoga keberanian ini cukup kuat untuk menelusuri hingga ke akar.
Ataukah kasus ini akan selesai di level “kambing hitam” saja, sementara pelaku sesungguhnya tetap duduk nyaman melihat kasus ini berjalan tanpa tersentuh?
Apakah hukum hanya tajam ke bawah atau tumpul ke atas, atau kita hanya sedang menyaksikan teater keadilan yang pura-pura bekerja?
Kasus Dugaan korupsi dalam Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, merupakan tamparan keras terhadap upaya negara dalam menjamin hak dasar warganya. Program yang seyogianya menjadi bentuk nyata kehadiran negara bagi masyarakat berpenghasilan rendah justru terjerembab dalam praktik penyimpangan yang sistemik dan memalukan.
Sebagai penerima anggaran BSPS terbesar secara nasional pada tahun 2024 dengan total alokasi Rp109,8 miliar untuk pembangunan 5.490 unit rumah, Sumenep seharusnya menjadi model keberhasilan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan indikasi kuat adanya penyalahgunaan dana. Temuan dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat sedikitnya delapan belas pola dugaan pelanggaran. Di antaranya adalah bantuan yang tidak tepat sasaran, pemotongan dana oleh pihak tidak bertanggung jawab, serta pelaksanaan teknis yang tidak sesuai spesifikasi.
Salah satu contoh konkret terjadi di sebuah desa di wilayah kepulauan. Seorang warga yang seharusnya menerima bantuan senilai Rp 20 juta hanya memperoleh material bangunan senilai kurang dari Rp 5 juta. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa skema bantuan telah dimanipulasi demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Langkah awal yang diambil Kementerian PUPR untuk melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri Sumenep patut diapresiasi. Pihak kejaksaan dan kepolisian telah mulai melakukan pemanggilan terhadap sejumlah kepala desa untuk mendalami dugaan keterlibatan berbagai pihak. Namun publik berhak mempertanyakan sejauh mana komitmen penegakan hukum akan dijalankan secara tuntas dan transparan.
Praktik korupsi dalam program bantuan sosial seperti BSPS bukan sekadar pelanggaran hukum melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah konstitusi. Ketika dana yang diperuntukkan bagi warga miskin diselewengkan, yang dirampas bukan hanya materi, melainkan pula harapan, kepercayaan, dan martabat penerimanya.
Lebih dari itu, bila kasus ini tidak ditindak secara menyeluruh maka bukan tidak mungkin akan muncul pola penyimpangan serupa di daerah lain. Bantuan sosial bisa menjadi alat politik menjelang kontestasi elektoral. Program kemanusiaan berubah menjadi proyek kekuasaan. Dan desa sebagai unit pemerintahan terdekat dengan rakyat justru menjadi titik rawan korupsi yang dibiarkan.
Pemerintah pusat perlu mengambil langkah korektif dan preventif. Audit menyeluruh harus dilakukan secara terbuka dan hasilnya diumumkan kepada publik. Pelibatan masyarakat sipil, media, serta lembaga pengawas independen sangat penting untuk memastikan tidak terjadi pembungkaman atau pengaburan fakta.
Kasus BSPS di Sumenep adalah ujian integritas bagi seluruh pemangku kepentingan dari pemerintah pusat hingga aparat penegak hukum di daerah. Jika kasus ini ditangani secara serius dan tuntas, ia bisa menjadi preseden positif bagi perbaikan sistem pengelolaan bantuan sosial di masa depan. Sebaliknya, jika diabaikan atau dimandulkan maka kita sedang menyaksikan kemunduran moral dalam pelayanan publik.
Karena pada akhirnya program bantuan bukan sekadar soal pembangunan fisik melainkan juga tentang membangun kepercayaan rakyat kepada negaranya. Dan kepercayaan itu hanya bisa tumbuh jika keadilan benar-benar ditegakkan.
Jangan biarkan kejahatan yang menyamar sebagai kebijakan lolos begitu saja. Bila hukum gagal menyentuh mereka yang paling bertanggung jawab, maka suara rakyat harus menjadi pengadil terakhir agar bangsa ini tak terus dibangun di atas puing-puing keadilan.