Polemik Independensi BI dalam Pusaran Arus Industri Perumahan dan Pertanian

Diskusi publik mengenai independensi Bank Indonesia (BI) versus pertumbuhan ekonomi nasional semakin mengemuka, terutama dalam konteks dukungan BI terhadap program pemerintah di sektor perumahan dan pertanian. Pertanyaan kritis diajukan oleh Cucun, seorang petani asal Aceh yang juga Ketua Bidang PAJALE DPP HKTI, “Apakah demi independensi BI, petani padi Indonesia tidak pernah diberi kredit produksi, sehingga cita-cita swasembada beras nasional terabaikan? Apakah nilai tukar rupiah dijaga lebih pro-impor daripada pro-ekspor?” Pertanyaan ini menjadi bahan diskusi yang relevan untuk dibahas secara luas, terutama dalam konteks kebijakan moneter dan fiskal yang saling terkait.

Kritik terhadap : Kebijakan BI dalam Program Perumahan.

Bank Indonesia (BI) baru-baru ini mengeluarkan kebijakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder guna mendukung program pembangunan tiga juta rumah per tahun. Kebijakan ini menuai kritik dari sejumlah ekonom yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap otoritas moneter. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyatakan bahwa peran BI seharusnya terbatas pada stabilisasi nilai tukar rupiah, bukan mendukung program pemerintah secara spesifik. “Jika BI diminta atau melakukan pembelian SBN di pasar sekunder untuk mendukung program pemerintah, terutama perumahan, ini sudah keluar dari jalur independensi BI,” ujar Bhima (kumparan, 22/2).

Bhima juga mengingatkan bahwa kebijakan ini merupakan kelanjutan dari mekanisme burden sharing yang dilakukan BI sebelumnya, yang berpotensi menekan neraca keuangan bank sentral. “Jika ini dilanjutkan, sektor moneter bisa terganggu hanya karena pemerintah kesulitan menerbitkan SBN yang diserap investor,” tambahnya.

Sementara itu Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina, menyoroti aspek realistis dari program tiga juta rumah per tahun. Menurutnya, program ini tidak realistis jika melihat backlog perumahan saat ini yang mencapai 9,9 juta unit dan daya beli masyarakat yang terbatas. “Program FLPP sebelumnya sudah cukup berjalan baik. Cukup memperkuat program yang ada tanpa menambah beban utang negara,” katanya (kumparan, 22/2).

Dukungan Pemerintah dan BI : terhadap Program Perumahan

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa penerbitan SBN khusus perumahan adalah bagian dari sinergi kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatasi backlog perumahan dan merenovasi rumah tidak layak huni. “Ini adalah modifikasi dari FLPP yang akan ditingkatkan volumenya,” ujarnya dalam konferensi pers (20/2). Gubernur BI Perry Warjiyo juga menyatakan dukungan penuh terhadap program ini, baik dari sisi kebijakan maupun pendanaan. BI akan memberikan insentif likuiditas sebesar Rp 80 triliun kepada bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor perumahan, serta membeli SBN di pasar sekunder untuk mendanai program tersebut.

Pertanyaan nya : Sejauhmana Independensi BI dan Dampaknya pada Sektor Pertanian.

Cucun, sebagai perwakilan petani, mempertanyakan apakah independensi BI justru menghambat sektor pertanian. “Mengapa petani padi Indonesia sulit mendapatkan kredit produksi? Apakah nilai tukar rupiah dijaga terlalu kuat sehingga merugikan ekspor?” tanyanya dalam pernyataan nya yang ditujukan kepada penulis. Cucun menekankan bahwa menjaga daya saing industri dan ekonomi Indonesia melalui nilai tukar yang kompetitif adalah kebutuhan esensial yang melebihi pentingnya independensi BI. “Kita harus membandingkan efisiensi dan biaya produksi industri dalam negeri, dari pertanian hingga alas kaki, dengan harga impor barang sejenis dari luar negeri,” ujarnya.

Cucun juga menyoroti pentingnya ekspor bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Ekspor adalah kunci pertumbuhan ekonomi. Saat ini, banyak industri yang mati karena harga produk kita lebih mahal dibandingkan Cina, Vietnam, atau India. Ini disebabkan nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dan pro-impor,” tegasnya. Ia mencontohkan bagaimana Cina menjaga nilai tukar yuan mereka pada level 1 USD = 7 Yuan selama 20 tahun, sementara jika dibiarkan mengambang bebas, yuan seharusnya sudah mencapai 1:1 terhadap dolar AS.

Analisis Konten : Independensi BI vs Pertumbuhan Ekonomi.

Polemik ini menyoroti dilema antara menjaga independensi BI dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Di satu sisi, independensi BI dianggap penting untuk menjaga stabilitas moneter dan nilai tukar rupiah. Di sisi lain, tuntutan untuk mendukung program pemerintah, seperti pembangunan perumahan dan swasembada pangan, menuntut BI untuk lebih fleksibel dalam kebijakannya.

Bhima Yudhistira dan Wijayanto Samirin mengingatkan bahwa intervensi BI dalam program pemerintah bisa mengancam stabilitas moneter dan independensi bank sentral. Namun, Cucun dan para pelaku industri menekankan bahwa nilai tukar yang kompetitif dan dukungan kredit bagi sektor produktif seperti pertanian dan manufaktur adalah kunci untuk meningkatkan ekspor dan pertumbuhan ekonomi.

Polemik ini kalau disimpulkan menunjukkan bahwa kebijakan moneter tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan riil ekonomi nasional. Independensi BI memang penting, tetapi harus seimbang dengan dukungan terhadap sektor-sektor strategis seperti perumahan dan pertanian. Sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter, serta koordinasi yang baik antara pemerintah dan BI, menjadi kunci untuk mencapai stabilitas ekonomi sekaligus mendorong pertumbuhan yang inklusif.

 

Content analist : Dadan K Ramdan, Penulis adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat

Sumber:

  1. Kumparan, 22 Februari 2023.
  2. Konferensi Pers Menteri Keuangan Sri Mulyani, 20 Februari 2023.
  3. Pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo, 20 Februari 2023.
  4. Pernyataan Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), (kumparan, 22/2).
  5. Pernyataan Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina, (kumparan, 22/2).
  6. Pernyataan Cuncun Petani Asal Aceh juga Ketua Bidang PAJALE DPP HKTI. (WhatsApp 23/2).