Penulis: Ahmad Gazali, Praktisi Bioteknologi NT45
Sejak diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) tahun 1977/1978 hingga kini -didalam kehidupan kampus nyaris tak terjadi interkasi antara masyakatat sipil (mahasiswa) dengan negara (dosen).
Sekolah yang dikelola oleh negara apabila hanya dipahami negara semata-mata sebagai sebuah lembaga maka ia menjadi bagian dari negara. Negara sebagaimana halnya dengan aparat pemerintah harus dipahami sebagai instrument hegemoni yang bersifat ‘private’.
Watak kekuasaan dalam Marxisme klasik termasuk Leninisme melihat bahwa kekuasaan itu terpusat pada negara dan berada dibawah kendali kelas pemilik modal.
Betul sebuah krisis juga merupakan masa membangun kembali (moment of reconstruction) dan tidak ada pembongkaran (destruction) tanpa diikuti pembangunan kembali. Dalam sejarah tidak ada yang dibongkar tanpa upaya membangun /menggantikannya dengan yang baru.
Setiap bentuk kekuasaan bukan hanya mengesampingkan sesuatu tetapi juga menciptakannya. Di Timur negara adalah segalanya, masyarakat sipil adalah primordial dan lemah. Di Barat terdapat hubungan yang serasi antara negara dengan masyarakat sipil. Dan ketika negara mengalami guncangan, maka struktur masyarakat sipil segera menggantikannya. Walau hegemoni Barat tanpa menampakkan diri mereka tetap berkuasa.
Sejak NKK/BKK pemikiran mahasiswa diseragamkan maka diskursus ilmu pengetahuan, agama dan filsafat tidak berkembang. Sains yang saat kini memenjarakan ilmuan modern hanya memiliki satu keahlian khusus yang spesifik.
Nalar Cartesian yang membagi ilmu pengetahuan ke dalam subbidang-subbidang yang kecil-kecil agar mudah diselesaikan tak banyak menolong dalam memproduksi pengetahuan secara holistik dan komprehensif.
Dokter modern saat ini pada akhirnya haruslah memilih kehalian di bidang spesial misalnya gigi,jantung, paru, kandungan, penyakit dalam dst. Ilmu Pengetahuan memang semakin banyak turunannya.Namun tak mampu mengetahui relasi antara ilmu yang satu dengan ilmu lainnya.
Bahkan landasan filosofinya kabur seringkali menghiasi praktek sains yang kehilangan arah ideologinya. Ilmuan modern banyak terjebak dalam nuansa kering kerontang tanpa desiran seni dan nuansa keagmaan. Terperangkap dengan tradisi metodologis saintis, tidak bisa berpikir kreatif sebagaimana dalam dunia seni syarat akan improvisasi dan modifikasi.
Pendekatan keilmuan yang kaku memangkas daya imajinasi sang ilmuan.Pada gilirannya terperangkap dalam hasil bukan proses yang dinamis, terpenjara dalam metoda bukan substansi.
Hendaknya Kementerian Riset ,Teknologi dan Perguruan Tinggi, misalnya, kuliah di hukum menjadi ahli hukum itu biasa.Selain mendalami hukum juga mendalami sesuai dengan minat dan bakat sehingga memperoleh nilai tambah.
Kemenristekdikti seharusnya cepat merespon perubahan/perkembangan dimana praktek lebih banyak ketimbang teori. Selain itu pemerintah mempersingkat TK -SD = 5 tahun, SLTP- SLTA = 4 tahun. Proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di abad VII -XIV di Andalusia, Cina dan India sebagai perbandingan.
Gaya satu arah juga kita saksikan ditengah masyarakat para da’i, ustadz, buya ceramah satu arah dan tidak memberi kesempatan publik bertanya. Ini bedanya di tahun 1960-an, ustadz cukup beri pengantar/arah paling lama 20 menit kemudian berdiskusi.
Dengan demikian ilmu berkembang dalam diri masyarakat. Bila tidak segara direspon-kita – akan tetap menjadi buruh di negeri sendiri- paling banter jadi agen produk-produk luar serta tukang jual ulayat dan rakyat. (***)