Keinginan politik untuk melahirkan lembaga pangan yang dapat memerankan diri sebagai lembaga parastatal, sepertinya masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Kebijakan Pemerintah sekarang, yang memposisikan Perum Bulog sebagai operator pangan, dalam penerapannya, tidaklah seperti yang diimpikan.
Dalam beberapa tahun belakangan, Perum Bulog dilanda masalah internal yang cukup menjelimet. Bukan saja Perum Bulog dililit utang yang cukup besar kepada beberapa Bank Himbara hingga trilyunan rupiah, namun dalam peran strategis mengokohkan cadangan beras Pemerintah pun, belum memberi hasil yang optimal.
Perum Bulog dalam dua tahun terakhir ini, sering menjadi sorotan berbagai kalangan. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki kepiawaian khusus di sektor perberasan ini, dianggap gagal dalam memerankan diri sebagai operator pangan, terutama dalam semangatnya untuk mengokohkan cadangan beras Pemerintah.
Kegagalan seperti inilah yang membuat Indonesia menanggung malu di mata dunia internasional. Kisah sukses selama 3 tahun berturut-turut (2019-2021) tidak impor beras yang sifatnya komersil, akhirnya demi menguatkan cadangan beras Pemerintah yang dilaporkan menipis, membuat kran impor harus dibuka kembali.
Anehnya, Indonesia menempuh impor beras, disaat Pemerintah mengklaim produksi padi melimpah ruah. Bahkan Badan Pusat Statistik merilis, saat itu situasi perberasan tercatat dalan kondisi surplus. Padahal, jika surplus, maka langkah selanjutnya adalah ekspor. Impor akan ditempuh kalau suatu negara memang defisit.
Sebetulnya, banyak faktor yang membuat kegagalan Perum Bulog dalam memperkuat cadangan beras Pemerintah. Selain sampai sekarang kita belum memiliki perencanaan pangan yang berkualitas, ternyata Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah pun belum dirumuskan dengan serius.
Perum Bulog terekam belum mampu melahirkan terobosan cerdas dalam mempercepat penyerapan gabah atau beras hasil panen para petani. Yang menarik jadi bahan pencermatan bersama adalah apakah hal yang demikian, disebabkan oleh status Perum Bulog sebagai BUMN, sehingga cukup kesulitan untuk mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai operator pangan ?
Atau ada kendala lain yang hingga kini masih belum mampu dibuka secara terang benderang kepada publik ? Kedua peran yang diemban Perum Bulog, pertama selaku BUMN harus untung dan tidak boleh rugi, dan kedua harus menjalankan “social responsibility” bagi masyarakat, jelas menjadikan Perum Bulog seperti menjalankan kiprah yang saling berbenturan. Masalahnya menjadi lebih rumit, bila Perum Bulog dituntut pula untuk menjadi lembaga parastatal yang semakin berkualitas.
Dihadapkan pada suasana yang seperti ini, sudah seharusnya Perum Bulog melakukan revitalisasi tugas dan fungsi agar tampil menjadi operator pangan yang handal dan mampu memberi solusi atas soal pangan yang kita hadapi selama ini. Perum Bulog perlu diberi “darah baru” (giving a new life) dalam menggerakkan organisasi di lapangan.
Dengan demikian, kesan Perum Bulog yang “kalah bersaing” dengan para pedagang atau pengusaha penggilingan dalam menyerap gabah dan beras hasil petani, tentu akan sirna dengan sendirinya. Pokok masalahnya adalah darah baru seperti apa yang paling cocok untuk disuntikan kepada Perum Bulog itu sendiri ?
Langkah ini patut digarap. Kementerian BUMN, Badan Pangan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian/Lembaga terkait lain, perlu duduk bersama untuk memberi resep baru bagi Perum Bulog dalam menjalankan kiprah ke depan. Setelah itu, baru dilakukan pembahasan lanjutan dengan segenap pemangku kepentingan sektor perberasan.
Di sisi lain, dalam panen raya padi, jarang sekali para petani mampu menjual hasil panennya dalam bentuk beras. Para petani, khususnya petani berlahan sempit cenderung akan menjualnya dalam bentuk gabah. Bahkan ada juga para petani yang saat panen berlangsung hanya mendapatkan setumpukan jerami, mengingat gabahnya sudah digadaikan kepada para bandar atau tengkulak guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Soal gadai-menggadai atau menjual dengan sistem tebasan, bukan lagi hal aneh dalam dunia kehidupan petani padi berlahan sempit. Atas situasi seperti ini, Perum Bulog mestinya tampil sebagai sahabat petani dalam membeli hasil panen petani. Perum Bulog harus peka atas apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan para petani.
Dengan kewenangan yang dimiliki Pemerintah dapat menjadikan Perum Bulog sebagai operator pangan yang dapat membeli gabah petani dengan harga wajar dan menjadi solusi atas kiprah para tengkulak yang gandrung memainkan harga di saat panen berlangsung. Jika hal semacam ini terwujud, maka Perum Bulog dapat menjadi “dewa penolong” bagi kehidupan petani.
Untuk tahun 2025 ini, Pemerintah telah memutuskan bakal menghentikan impor beras. Lalu, muncul pertanyaan, mengapa harus menyetop impor, padahal produksi padi para petani di dalam negeri tengah menurun dengan angka cukup signifikan ? Inilah yang penting kita diskusikan sekaligus dicari apa yang menjadi argumentasinya.
Kalau memang Pemerintah ingin melindungi petani dari anjloknya harga gabah di saat panen raya, maka Perum Bulog harus siap turun langsung ke petani. Perum Bulog tidak boleh cuma duduk manis di belakang meja. Namun, akan lebih keren, bila Perum Bulog membangun jaringan kelembagaan khusus dengan stakeholders perberasan untuk menyerap setinggi-tinggi nya dari hasil produksi para petani.
Ini berarti, pengalaman puluhan tahun silam dimana kemitraan Perum Bulog dengan Universitas perlu dihangatkan kembali. Salah satunya, perlu direncanakan pembentukan Satuan Tugas Percepatan Penyerapan Gabah Petani. Satgas inilah yang akan berada di garda paling depan guna mempercepat penyerapan hasil panen gabah dan beras petani.
Revitalisasi Perum Bulog sepertinya penting segera ditempuh. Langkah yang lebih strategis untuk dibahas serius adalah kebijakan seperti apa yang perlu dilahirkan agar Perum Bulog benar-benar tampil sebagai operator pangan yang handal dan profesional. Siapa pun yang diberi kehormatan dan tanggungjawab memimpin Perum Bulog, tapi tidak disiapkan kelembagaan yang senafas dengan irama jaman, sangat sulit operator pangan ini berkiprah secara optimal. Disinilah pentingnya revitalisasi Perum Bulog dilakukan sebagai lembaga parastatal yang diberi kehormatan dan tanggungjawab menjadi salah satu operator pangan di lapangan.
Oleh : Entang Sastraatmadja, Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.