16,6 T Untuk Serap Gabah/Beras

Pergeseran anggaran Pemerintah untuk pembangunan pangan terus berlanjut. Keterbatasan anggaran, membuat Pemerintah terpaksa melakukan pemotongan anggaran yang selama ini sudah direncanakan pengalokasiannya. Program dan kegiatan yang aneh-aneh langsung dicoret dan dialihkan ke program yang bersifat produktif dan menyentuh secara langsung dengan apa yang menjadi kebutuhan utama rakyat.

Salah satu program yang dihentikan atau dalam bahasa sopannya ditunda pelaksanaannya adalah program bantuan pangan/beras dan SPHP. Sebagaimana kita baca di beberapa media sosial, ketika ditanya bagaimana nasib bantuan pangan dan SPHP ke depannya, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo menegaskan, keputusan ini bukan sekadar penundaan, melainkan pengalihan fokus anggaran.

Anggaran bantuan pangan/beras dan SPHP sebesar Rp16,6 triliun itu masuk ke Bulog untuk serap gabah dan beras. Sekarang prioritasnya adalah serap beras dan gabah petani. Jangan sampai harga gabah petani jatuh. Selain itu, penghentian bantuan pangan sementara ini juga bertujuan untuk mendorong harga gabah di tingkat petani agar naik, terutama pada bulan-bulan awal tahun ketika harga biasanya tinggi.

Dengan dihentikannya bantuan pangan untuk sementara waktu, masyarakat yang biasa menerima bantuan dari pemerintah mungkin akan merasakan dampaknya. Namun, pemerintah meyakinkan kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kesejahteraan petani dan menstabilkan pasokan pangan di masa depan.

Kepala Badan Pangan Nasional menambahkan, Keputusan ini telah disepakati bersama oleh Menko Perekonomian, Menko Pangan, Menteri Pertanian, serta Menteri Perdagangan. Pokoknya Kementerian/Badan yang terkait dengan urusan pangan, sudah sepakat, Rp16,6 triliun itu sudah diputuskan untuk serapan gabah dan beras petani.

Keseriusan Kabinet Merah Putih dibawah pimpinan Presiden Prabowo dalam menjaga dan mengamankan kebutuhan pangan pokok, patut diberi acungan jempol. Urusan pangan, jangan sekalipun dijadikan program sampingan, tapi harus menjadi salah satu prioritas dalam strategi pembangunan yang kita pilih. Soal pangan menurut Presiden Prabowo, terkait dengan “survival” sebuah bangsa.

Hal ini penting untuk dijadikan percik permenungan bersama. Pengalaman menunjukkan, tidak ada satu pun negara di dunia yang “bubar jalan” karena kelebihan bahan pangan. Sebaliknya, ada bangsa-bangsa di dunia yang “hancur lebur” karena kekurangan bahan pangan. Betul apa yang diingatkan Proklamator Bangsa Bung Karno, urusan pangan menyangkut mati dan hidupnya suatu bangsa.

Itu sebabnya, menjadi sangat beralasan, mengapa Presiden Prabowo menjadikan pencapaian swasembada pangan dalam tempo sesingkat-singkatnya, telah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas yang ingin diraihnya. Langkah menuju ke arah itu, kini dimulai dengan kebijakan menyetop impor beras dan menugaskan Perum Bulog menyerap gabah sebanyak-banyaknya gabah hasil panen petani.

Sebagai Presiden NKRI, Prabowo tercatat memiliki pengalaman dan jam terbang cukup tinggi dengan dunia pertanian dan dunia kepetanian di negeri ini. Puluhan tahun memposisikan diri sebagai aktivis petani melalui organisasi HKTI, Prabowo tahu persis apa sebetulnya yang jadi keinginan dan kebutuhan petani dalam mengarungi kehidupannya.

Presiden Prabowo mengerti betul, petani di Tanah Merdeka ini memiliki hak untuk hidup sejahtera. Selain itu, sebagai Presiden NKRI, Prabowo pun berkewajiban untuk mensejahterakan kehidupan petani. Prabowo paham sekali, urusan kesejahteraan petani, bukan hanya ditentukan oleh produksi yang berlimpah, tapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor.

Salah satunya adalah faktor harga. Artinya, biarpun produksi gabah petani berlimpah, namun harga jual gabah kering panen di petani anjlok, maka petani yang mampu hidup sejahtera pun, baru sebatas angan-angan. Yang terjadi, petani tetap menderita dan hidup sengsara. Petani tetap terjebak dalam lautan kemiskinan yang tidak berujung pangkal.

Pertanyaan kritisnya adalah mengapa setiap panen raya harga gabah di petani selalu anjlok dan Pemerintah seperti yang tak berdaya mengendalikannya ? Apakah hal ini disebabkan oleh aturan yang tidak tepat dalam penyerapan gabah petani karena adanya persyaratan kadar air dan kadar hampa yang ditetapkan Pemerintah ? Atau ada hal lain yang gerakan dan langkahnya tersamar ?

Yang menarik untuk dijadikan bahan diskusi adalah apakah kebijakan “satu harga” gabah yang kini sedang diterapkan Pemerintah akan lebih baik, khususnya dalam mempercepat terwujudnya kesejahteraan petani ? Apakah langkah ini akan mampu mengerem perilaku oknum-oknum yang doyan memainkan harga gabah di tingkat petani hanya untuk mengejar kepentingan sesaat ?

Untuk menjawab pertanyaan diatas sehingga menjadi terang benderang, jelas sangat menuntut adanya rasa jujur dari pihak-pihak yang akan menjawabnya. Dalam suasana seperti ini, pembelaan dan perlindungan terhadap petani, benar-benar sangat dibutuhkan. Keberpihakan Negara, tentu sangat dimintakan, terlebih dari Presiden NKRI nya sendiri.

Dukungan anggaran sebesar Rp. 16,6 Triliun untuk “membekali” Perum Bulog menyerap gabah/beras petani, menunjukkan kesungguhan Pemerintah untuk membantu petani memperoleh harga yang wajar. Ketegasan Presiden Prabowo dengan meminta Perum Bulog dan Penggilingan Padi untuk membeli gabah petani diatas Rp. 6.500,-, semakin memperjelas langkah yang akan ditujunya. Presiden ingin pertanian maju dan petaninya pun mskmur.

 

Oleh : Entang Sastraatmadja, Penulis, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.