Proyek PUPR Bernilai Miliaran Diduga Langgar K3, Pengawasan Lemah dan Nyawa Pekerja Terancam

Taput – Swararakyat.com |Proyek penanganan jalan longsor di ruas Jalan Lintas Sipirok–Pahae Julu provinsi Sumatera Utara yang dibiayai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan nilai mencapai lebih dari Rp4 miliar, kini menuai sorotan tajam. Proyek Dengan nomor kontrak HK.02.01/Bb2-Wil2.S2.2/576 yang dikerjakan oleh CV Mandala Jaya Abadi itu diduga mengabaikan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta lemahnya pengawasan dari pihak PUPR di lapangan.

Pantauan awak media pada Rabu (29/10) memperlihatkan para pekerja beraktivitas di area tebing dan tanah labil tanpa mengenakan alat pelindung diri (APD) seperti helm proyek, rompi keselamatan, maupun sepatu safety. Padahal, lokasi proyek tergolong berisiko tinggi terhadap kecelakaan kerja karena kondisi medan yang curam dan rawan longsor.

Kondisi tersebut menimbulkan dugaan kuat bahwa pihak kontraktor tidak menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) sebagaimana diwajibkan oleh Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi.

“Kalau pekerja dibiarkan tanpa APD di area berbahaya, berarti kontraktor tidak menjalankan kewajiban K3, dan pengawas PUPR tutup mata. Ini pelanggaran serius yang bisa mengancam nyawa,” tegas Bisnur, pegiat kontrol sosial yang ditemui di lokasi.

Menurutnya, lemahnya pengawasan dari pihak Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menunjukkan adanya kelalaian administratif dan moral, karena pengawasan terhadap penerapan K3 seharusnya dilakukan rutin selama masa pekerjaan berlangsung

Lebih ironis, pelanggaran ini terjadi meski anggaran penerapan K3 dan pengadaan APD telah termasuk dalam kontrak kerja sebagaimana diatur dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) setiap proyek konstruksi pemerintah.

“Tidak ada alasan untuk tidak menyediakan APD. Dana K3 sudah disiapkan dalam RAB. Kalau tidak diterapkan, berarti ada penyalahgunaan atau kelalaian pengelolaan anggaran,” ujar Bisnur lagi.

Hal ini menguatkan dugaan bahwa pengawasan dari PUPR hanya bersifat formalitas, tanpa memastikan langsung implementasi di lapangan. Akibatnya, keselamatan pekerja dipertaruhkan demi mengejar target fisik proyek.

Aktivis kontrol sosial dan masyarakat menilai Kementerian PUPR harus bertanggung jawab dan turun langsung melakukan investigasi lapangan. Selain menindak kontraktor, evaluasi terhadap kinerja pengawas dan PPK juga wajib dilakukan, mengingat potensi pelanggaran terhadap aturan K3 dan tata kelola proyek.

“Jika kementerian tidak tegas, ini bisa menjadi preseden buruk. Nyawa pekerja seolah tak dihargai, padahal proyek pemerintah seharusnya menjadi contoh penerapan K3 yang baik,” tambah Bisnur.

Dalam aturan yang berlaku, pelanggaran penerapan K3 dapat dikenakan sanksi administratif hingga pemutusan kontrak kerja, bahkan pencantuman dalam daftar hitam (blacklist) penyedia jasa konstruksi.

Masyarakat kini menunggu sikap tegas dari Kementerian PUPR, apakah akan menindak kontraktor dan pengawas yang abai terhadap keselamatan pekerja, atau justru membiarkan praktik semacam ini terus terjadi di proyek bernilai miliaran rupiah tersebut.(Norris)