Jakarta,SwaraRakyat.com– Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mengguncang ruang publik.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa secara hukum, Soeharto memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.
“Kalau secara yuridis formal, memenuhi syarat,” ujar Mahfud kepada media, Minggu (26/10).
“Sudah jadi presiden itu kan sudah pasti memenuhi syarat untuk jadi pahlawan. Tapi silakan saja, masyarakat juga yang nanti menilai,” imbuhnya.
Menurut Mahfud, status sebagai presiden sudah cukup menjadi bukti bahwa seorang tokoh memenuhi kriteria kepahlawanan dari sisi hukum. Ia menjelaskan bahwa proses pengusulan gelar dilakukan oleh tim khusus di Kementerian Sosial dan dikoordinasikan bersama Menkopolhukam.
Ketika Pahlawan Ditentukan oleh Kekuasaan
Pernyataan Mahfud MD itu segera memicu perdebatan tajam. Apakah jabatan kepresidenan secara otomatis membuat seseorang layak disebut pahlawan?
Bagi sebagian rakyat, terutama yang hidup di masa Orde Baru, pertanyaan itu menyakitkan. Sebab nama Soeharto bukan hanya lekat dengan “pembangunan”, tetapi juga dengan represi politik, korupsi sistemik, dan pelanggaran HAM yang meninggalkan trauma panjang.
Pertanyaan moral pun menyeruak:
Apakah jabatan tertinggi negara otomatis menghapus luka sejarah dan dosa sosial masa lalu?
Ataukah, sebagaimana dikatakan kalangan kiri, negara tengah berusaha memutihkan sejarah dan mengabadikan kekuasaan sebagai kebenaran?
Jejak Tuduhan dan Luka Sejarah Kekuasaan
- Soekarno dijatuhkan dengan tuduhan terlibat G30S/PKI yang tak pernah terbukti secara hukum. Ia tumbang bukan karena bersalah, melainkan karena menentang imperialisme ekonomi dan politik global. Tuduhan yang tak terbukti itu justru mengukuhkannya sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi modal dan militerisme.
- Soeharto, penggantinya, berkuasa 32 tahun dengan janji stabilitas dan pembangunan. Namun di balik statistik ekonomi, tersembunyi penderitaan rakyat kecil: tanah dirampas, kebebasan dibungkam, dan korupsi dijadikan sistem.
Jika tuduhan itu benar, maka pemberian gelar pahlawan nasional bukanlah penghormatan, melainkan penghianatan terhadap memori bangsa.
Namun jika tidak terbukti secara hukum, sejarah tetap berhak bertanya – mengapa kebenaran hukum sering lahir dari kompromi politik, bukan dari nurani keadilan?
Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi: Di Antara Tuduhan dan Narasi Kekuasaan
- Habibie sempat dituding dalam kasus Bali Gate, meski tak pernah terbukti. Ia justru dikenang sebagai teknokrat demokratis yang membuka pintu kebebasan politik setelah tiga dekade tirani.
- Gus Dur dijatuhkan melalui tuduhan Bulog Gate dan Brunei Gate yang rapuh. Sejarah kini menilai, pemakzulannya hanyalah kudeta politik terhadap seorang pemimpin yang berani menentang oligarki dan memperjuangkan kemanusiaan.
- Megawati disorot dalam penerbitan SKL BLBI yang memberi kelonggaran pada para konglomerat besar. Jika tuduhan itu benar, nasionalismenya perlu ditinjau ulang. Jika tidak, ia menjadi korban sistem ekonomi yang telah lama dikendalikan elite kapital.
- SBY dihantui oleh kasus Bank Century dan Hambalang, dua simbol dari moralitas politik yang terkikis oleh citra.
- Jokowi menghadapi Ijazah Gate dan kontroversi proyek Whoosh. Jika terbukti ada penyimpangan, maka pembangunan infrastruktur itu hanya menjadi monumen kapital – megah tapi jauh dari rakyat yang seharusnya dilayani.
Kajian Ideologis: Antara Pahlawan dan Penguasa
Dalam pandangan kritis, pahlawan sejati bukan mereka yang berkuasa, melainkan mereka yang melawan kekuasaan demi keadilan sosial.
Kekuasaan, bila tak diawasi oleh moral rakyat, cenderung menulis sejarah dengan tinta kepalsuan.
Ketika Mahfud MD menyebut “semua mantan presiden otomatis memenuhi syarat kepahlawanan”, maka persoalannya bukan hanya legal-formal, tetapi ideologis:
Apakah hukum di negeri ini bekerja untuk mencari kebenaran – atau sekadar untuk melanggengkan citra penguasa?
Penutup: Sejarah Bukan Milik Pemenang, Tapi Milik yang Diperjuangkan
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto – jika benar terjadi – akan menandai bab baru dalam sejarah pengingkaran terhadap penderitaan rakyat.
Ia akan menunjukkan bahwa di negeri ini, penguasa lebih mudah dimaafkan daripada rakyat yang melawan.
Sebab pahlawan sejati tidak lahir dari jabatan, tetapi dari keberpihakan.
Dan hingga bangsa ini berani menegakkan keadilan sosial di atas ingatan yang jujur, maka gelar “pahlawan” akan tetap menjadi milik mereka yang berjuang – bukan mereka yang berkuasa.(sang)













