Asap, Cermin, dan Utang Whoosh: Ilusi Keberanian di Balik Retorika Prabowo

Foto: Kereta Cepat Whoosh

Analisis & Pandangan Redaksi Swararakyat.com

Pidato Prabowo soal utang proyek kereta cepat Whoosh terdengar gagah dan meyakinkan. Namun di balik retorika hemat dan antikorupsi itu, tersembunyi strategi komunikasi klasik: asap dan cermin.

“Jangan khawatir, tidak usah ribut,” kata Presiden Prabowo Subianto. Dengan nada tegas dan percaya diri, ia meyakinkan publik bahwa utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung sebesar Rp1,2 triliun per tahun adalah tanggung jawabnya. “Duitnya ada,” ujarnya, “uang yang tadinya dikorupsi dan diambil negara, kemudian saya hemat.”

Pidato itu terdengar gagah. Di tengah dahaga rakyat akan kabar baik, ucapan semacam itu ibarat telaga di padang gersang. Publik ingin percaya bahwa negara ini kuat, kaya, dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Namun di balik kalimat yang terdengar menenangkan itu, terselip taktik komunikasi klasik yang dalam ilmu politik kerap disebut smoke and mirrors, asap dan cermin. Sebuah strategi untuk mengendalikan narasi, memanipulasi persepsi, sekaligus mengalihkan perhatian publik dari persoalan utama.

Retorika Hemat, Realitas Berat

Asapnya adalah janji: bahwa utang Rp1,2 triliun per tahun bukan beban besar bagi negara yang sedang tumbuh. Cerminnya adalah citra: bahwa seorang presiden yang “berani tanggung jawab” otomatis adalah pemimpin yang efisien, antikorupsi, dan hemat. Kombinasi keduanya melahirkan ilusi, bahwa masalah selesai hanya karena diucapkan demikian.

Padahal realitasnya jauh lebih kompleks. Pemerintah kabarnya tengah berencana memperpanjang tenor utang proyek Whoosh hingga enam puluh tahun. Restrukturisasi ini, jika benar dilakukan, berpotensi membuat total beban pokok dan bunga membengkak hingga sekitar Rp160 triliun. Pokok utang awal saja sudah mencapai Rp75 triliun dengan bunga dua persen, belum termasuk utang tambahan akibat cost overrun sebesar Rp9 triliun berbunga 3,3 persen.

Dengan hitungan kasar, rakyat Indonesia akan menanggung proyek ini lintas generasi, bahkan mungkin hingga masa cucu-cucu presiden berikutnya.

Keberanian yang Berselimut Asap

“Pidato presiden mungkin menenangkan sebagian rakyat, tapi ketenangan tanpa kejelasan adalah bentuk lain dari pengabaian.”

Hingga kini, publik belum pernah disuguhi audit kriminal yang menelusuri asal-muasal utang tersebut: siapa yang mengambil keputusan, bagaimana struktur pendanaannya dibangun, dan apakah ada penyimpangan di baliknya. Yang muncul justru pernyataan final dari Presiden: proyek Whoosh “tidak ada masalah.”

Pernyataan semacam itu bukan sekadar opini kepala negara, melainkan pesan politik yang berbahaya. Ia menyiratkan bahwa urusan publik bisa diselesaikan hanya dengan jaminan pribadi, bahwa selama presiden menanggungnya, rakyat tak perlu bertanya. Pola pikir seperti ini menggeser fokus dari substansi kebijakan ke figur tunggal.

Dalam masyarakat demokratis, pengawasan dan transparansi adalah hal yang tak bisa dinegosiasikan. Ketika seorang pemimpin menganggap tanggung jawab negara identik dengan dirinya sendiri, maka yang terbentuk bukan lagi sistem pemerintahan modern, melainkan pemerintahan berpusat pada kultus individu.

Politik Simbolik dan Ilusi Pembangunan

Alih-alih menjelaskan data atau rencana restrukturisasi utang secara terbuka, pidato Prabowo mengandalkan bahasa heroik dan moralistik: tentang kekayaan bangsa, tentang keberanian menghadapi masa depan, tentang melawan korupsi. Semua terdengar benar tapi justru karena terlalu benar, ia kehilangan konteks.

Kita sedang menyaksikan bagaimana politik pembangunan berubah menjadi politik simbolik. Infrastruktur tidak lagi dibicarakan sebagai soal efisiensi, teknologi, atau tata kelola, melainkan sebagai simbol nasionalisme. Kritik terhadapnya dianggap sama dengan meragukan semangat kebangsaan.

Akibatnya, ruang rasional publik makin sempit. Mereka yang bertanya soal audit atau pembengkakan biaya dianggap tidak patriotik. Padahal, justru dengan bertanya itulah rakyat menunjukkan kepedulian terhadap uang pajak yang mereka bayarkan.

Kritik Bukan Pengkhianatan

Presiden boleh berpidato tentang hemat dan antikorupsi, tapi tanpa audit dan akuntabilitas, kata-kata itu tak lebih dari selimut asap. Dalam setiap proyek besar, transparansi adalah fondasi kepercayaan. Ketika itu hilang, yang tersisa hanya retorika yang mengilap di permukaan.

Sejarah telah berulang kali mengajarkan: ilusi pembangunan sering kali menelan lebih banyak biaya sosial daripada yang terlihat di neraca keuangan. Ketika kritik dibungkam atas nama keberlanjutan, maka yang terjadi bukan kemajuan, melainkan stagnasi dengan wajah modern.

Kini, pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah kita sedang membayar utang proyek, atau sedang membayar harga dari sebuah ilusi?

Jika pemerintah benar-benar yakin pada keberhasilan Whoosh, seharusnya tidak ada alasan untuk menutup ruang audit publik dan investigasi hukum. KPK semestinya tetap bisa bekerja, tanpa harus khawatir “mengganggu” kebijakan strategis negara. Sebab korupsi tidak mengenal label strategis; ia hanya tumbuh subur di ruang gelap yang dijaga oleh loyalitas buta.

Ilusi Keberanian

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang tak punya utang, melainkan bangsa yang berani jujur tentang utangnya dan memastikan siapa yang harus bertanggung jawab atasnya.

Selama asap dan cermin masih menutupi pandangan, sulit bagi kita untuk melihat arah sejati pembangunan. Dan mungkin, justru di situlah letak persoalannya: ilusi keberanian sering kali lebih memikat daripada keberanian itu sendiri.

(Redaksi)