Opini  

Dewan Keamanan Nasional

Foto: Ilustrasi

Oleh: Riskal Arief, Peneliti Nusantara Centre

Sabtu pagi, 15 Februari 2025, saya menghadiri sebuah kelas diskusi yang tak biasa. “Kelas Jenius” yang diadakan di Aula FKK UMJ itu membahas pemikiran Jenderal Besar AH. Nasution, salah satu tokoh militer terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Dari sana, saya mendapat pencerahan tentang pentingnya Indonesia memiliki Dewan Keamanan Nasional atau National Security Council (NSC).

Paparan dari Marsma Oktav Siagian, seorang akademisi dari Universitas Pertahanan, menguatkan gagasan ini. Menurutnya, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan beragam etnis, budaya, serta kepentingan ekonomi, harus memiliki badan yang dapat merumuskan kebijakan keamanan nasional secara terpadu.

Ia menyoroti bahwa bahkan negara kecil seperti Brunei Darussalam dan Timor Leste telah memiliki NSC untuk menjaga kepentingan nasional mereka. Lalu, mengapa Indonesia yang wilayahnya meliputi 33 negara di benua Eropa justru belum memiliki institusi semacam itu?

Sejak era Reformasi, pembahasan mengenai Dewan Keamanan Nasional nyaris tidak pernah menjadi prioritas di tingkat kebijakan strategis. Padahal, jika kita melihat pengalaman negara lain, NSC adalah instrumen vital dalam menjaga stabilitas dan keamanan negara.

Di Amerika Serikat, NSC dibentuk pada 1947 melalui National Security Act. NSC menjadi badan penasihat utama presiden dalam hal keamanan nasional, mengoordinasikan berbagai instansi seperti Departemen Pertahanan, CIA, dan FBI dalam menghadapi ancaman domestik maupun global. Di Inggris, NSC dibentuk pada 2010 untuk mengkoordinasikan respons terhadap ancaman keamanan nasional.

Bahkan, negara-negara seperti India dan Australia juga telah memiliki NSC. Di negara tetangga seperti Malaysia, NSC memiliki peran sentral dalam menetapkan kebijakan keamanan nasional dan bertindak sebagai pusat koordinasi dalam menghadapi ancaman nasional. Lalu, mengapa Indonesia masih ragu?

Menurut Barry Buzan dalam People, States & Fear (1983), keamanan nasional bukan hanya soal militer, tetapi juga menyangkut ekonomi, politik, dan sosial. Tanpa koordinasi yang baik antarinstansi negara, ancaman terhadap stabilitas nasional sulit ditangani secara efektif.

Indonesia telah mengalami berbagai tantangan keamanan, mulai dari separatisme, ancaman terorisme, keamanan maritim, hingga pandemi COVID-19. Namun, kita masih mengandalkan koordinasi sektoral yang cenderung bersifat reaktif dan tidak terstruktur dengan baik.

Saat ini, koordinasi keamanan nasional di Indonesia lebih banyak bergantung pada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), yang sebenarnya lebih berfungsi sebagai pengawas kebijakan lintas sektor, bukan sebagai perumus strategi keamanan nasional secara holistik.

Saya yakin, pembentukan NSC di Indonesia bukan lagi dalam tahap wacana, melainkan kebutuhan mendesak. Seperti yang diungkapkan oleh Jenderal AH. Nasution dalam bukunya Pokok-Pokok Gerilya, keamanan nasional adalah fondasi utama bagi pembangunan bangsa. Tanpa keamanan, mustahil kita bisa mencapai kesejahteraan dan kemajuan.

Oleh karena itu, NSC harus menjadi lembaga yang mampu merumuskan strategi keamanan nasional secara komprehensif, melibatkan semua pemangku kepentingan, baik dari kalangan militer, pemerintah, maupun masyarakat sipil.

Namun, pembentukan NSC tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak memiliki rumusan yang jelas tentang national interest. Di titik ini, saya mulai mempertanyakan sesuatu yang lebih mendasar: Apakah kita benar-benar memiliki kepentingan nasional yang jelas? Atau jangan-jangan kita hanya sibuk bereaksi terhadap krisis tanpa perumusan strategi jangka panjang? Jika kita tidak memiliki kepentingan nasional yang dirumuskan secara jelas, lalu kepentingan siapa yang sebenarnya dilindungi oleh negara selama ini?

Dalam konteks politik dan kebijakan, kepentingan nasional (national interest) merujuk pada tujuan fundamental yang ingin dicapai oleh suatu negara dalam hubungan domestik maupun internasional. Hans J. Morgenthau dalam Politics Among Nations (1948) menegaskan bahwa kepentingan nasional harus didefinisikan secara objektif agar kebijakan negara dapat dijalankan dengan konsisten.

Sayangnya, di Indonesia, konsep ini sering kali menjadi kabur. Kepentingan nasional seharusnya bukan hanya soal ekonomi dan diplomasi, tetapi juga mencakup identitas bangsa, kedaulatan, dan ketahanan nasional. Tanpa NSC yang berfungsi dengan baik, sulit untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berorientasi pada kepentingan nasional.

Membahas kepentingan nasional, pikiran saya melayang pada sebuah film Swordfish (2001). Film yang dibintangi John Travolta dan Hugh Jackman ini berkisah tentang seorang pria bernama Gabriel Shear yang berusaha melindungi kepentingan nasional Amerika Serikat dengan cara yang kontroversial.

Gabriel percaya bahwa demi keamanan nasional, ia harus mengambil langkah-langkah di luar hukum, termasuk pencucian uang dan operasi bawah tanah. Baginya, national interest Amerika Serikat adalah memastikan bahwa cara hidup (way of life) rakyatnya tidak terancam oleh kekuatan asing.

Tentu saja, kita tidak bisa serta-merta membenarkan tindakan ilegal demi menjaga kepentingan nasional. Namun, film ini membuka perspektif bahwa negara harus memiliki mekanisme yang jelas dalam menentukan dan melindungi kepentingan nasionalnya. Di sinilah peran NSC menjadi sangat penting, agar kebijakan keamanan negara dapat dirumuskan secara legal dan sistematis, bukan berdasarkan kepentingan segelintir elite politik atau ekonomi.

Kelas Jenius hari itu membuka mata saya: Indonesia membutuhkan NSC. Bukan hanya untuk mengoordinasikan kebijakan keamanan, tetapi juga untuk memastikan bahwa kepentingan nasional kita dirumuskan dengan jelas dan dilindungi dengan baik. Jika negara-negara kecil saja sudah memiliki NSC, masa kita tidak?

Maka, pertanyaan terakhir yang harus kita jawab sebagai bangsa adalah: Apa sebenarnya kepentingan nasional kita? Dan bagaimana kita akan melindunginya? Ini bukan sekadar wacana akademik, tetapi sebuah urgensi yang harus segera diwujudkan dalam kebijakan nyata. (*)