SWARARAKYAT.COM, Denpasar – Redaksi Swararakyat.com menerima rilis resmi dari Federasi Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru-SPSI Provinsi Bali yang menyatakan sikap tegas menolak rencana penerapan kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) satu ruang perawatan oleh pemerintah. Kebijakan ini,⁹ yang akan diberlakukan mulai 1 Juli 2025, dianggap belum siap secara infrastruktur dan berpotensi mengurangi prinsip keadilan dalam layanan kesehatan nasional.
Dalam rilis yang diterima redaksi, FSP Kerah Biru-SPSI Bali menyatakan bahwa penolakan tersebut merupakan hasil dari konsolidasi internal yang melibatkan seluruh pengurus daerah dan cabang di Provinsi Bali. Konsolidasi tersebut membahas secara khusus kesiapan fasilitas kesehatan di wilayah tersebut dalam menghadapi penerapan KRIS sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam pernyataannya, FSP Kerah Biru menyoroti bahwa hingga akhir Juni 2025, sebagian besar rumah sakit di Bali dan daerah lainnya belum mampu memenuhi 12 kriteria standar KRIS. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut terkesan dipaksakan tanpa kesiapan teknis dan infrastruktur yang memadai. Mereka menilai bahwa kebijakan ini justru berisiko menciptakan pelayanan yang hanya sekadar formalitas dan tidak membawa peningkatan mutu layanan rawat inap bagi peserta JKN.
Selain aspek kesiapan teknis, serikat pekerja juga menilai bahwa KRIS bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pelaksanaan JKN. Dalam sistem sebelumnya, peserta JKN yang membayar iuran lebih tinggi memperoleh kelas perawatan yang lebih sesuai dengan kontribusinya. Dengan dihapuskannya pembagian kelas, hak-hak peserta yang membayar lebih besar menjadi tereduksi. Hal ini dipandang sebagai bentuk ketidakadilan, yang bisa merusak kepercayaan publik terhadap program JKN.
Lebih jauh, FSP Kerah Biru mempersoalkan bahwa kebijakan KRIS ini menyimpang dari semangat gotong royong sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Gotong royong dalam konteks JKN seharusnya dimaknai sebagai solidaritas sosial di mana peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, bukan justru menyeragamkan iuran dan layanan tanpa memperhitungkan kontribusi.
Kritik lainnya diarahkan pada kondisi faktual keterbatasan infrastruktur rumah sakit di Indonesia, termasuk rasio tempat tidur terhadap jumlah penduduk yang masih rendah. Ketentuan KRIS yang membatasi jumlah tempat tidur maksimal empat orang per ruangan dikhawatirkan akan memperpanjang antrean pasien dan menyulitkan akses layanan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat mengandalkan JKN.
Tak hanya itu, FSP Kerah Biru juga menyoroti belum adanya petunjuk teknis resmi dari Kementerian Kesehatan hingga akhir Juni 2025, meskipun waktu pelaksanaan KRIS tinggal menghitung hari. Ketiadaan regulasi teknis ini memperkuat kesan bahwa kebijakan diluncurkan tanpa persiapan matang dan berisiko menimbulkan kekacauan dalam implementasinya di lapangan.
Sikap FSP Kerah Biru-SPSI Bali tersebut mendapat dukungan penuh dari DPD KSPSI Provinsi Bali. Ketua DPD KSPSI Bali, Bapak Ketut Dana, menyatakan sepakat dengan penolakan terhadap KRIS dan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini secara menyeluruh, agar tidak menjadi beban baru bagi peserta JKN dan tenaga kesehatan.
Meski menolak KRIS satu ruang perawatan, FSP Kerah Biru-SPSI Bali menegaskan tetap mendukung reformasi sistem jaminan kesehatan nasional yang inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan. Mereka mengapresiasi keberadaan program JKN sebagai salah satu kebijakan negara yang memberikan manfaat nyata bagi rakyat, namun menekankan pentingnya pelibatan seluruh pemangku kepentingan—termasuk serikat pekerja—dalam setiap perumusan kebijakan strategis.
Melalui rilis ini, FSP Kerah Biru-SPSI Bali menyampaikan tuntutan kepada pemerintah agar pelaksanaan KRIS ditunda sampai seluruh rumah sakit di Indonesia benar-benar siap secara infrastruktur dan sumber daya. Mereka juga mendesak Kementerian Kesehatan untuk segera menyusun regulasi teknis pelaksanaan KRIS secara terbuka dan partisipatif. Selain itu, pemerintah diminta menjamin keadilan sosial dalam sistem JKN dengan tetap mempertimbangkan proporsionalitas kontribusi peserta, serta membangun infrastruktur kesehatan yang memadai sebelum memberlakukan kebijakan seragam layanan rawat inap.
“Reformasi sistem kesehatan harus dilakukan secara bertahap dan melalui dialog yang terbuka dengan semua pihak, termasuk kami para pekerja,” ujar Kadek Agus, perwakilan FSP Kerah Biru-SPSI Bali dalam penutup pernyataan sikap mereka.(*)













