Opini  

Gedung Digital Learning Center USU: Transparansi, Anggaran Jumbo, dan Masa Depan Integritas Akademik

Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Koordinator Serikat Alumni USU)

Ketika Universitas Sumatera Utara (USU) membangun Gedung Digital Learning Center (DLC) senilai Rp130 miliar, publik tak sekadar mengagumi megahnya infrastruktur itu. Lebih dalam dari sekadar kebanggaan, muncul pertanyaan kritis tentang akuntabilitas, urgensi prioritas, dan integritas pengelolaan anggaran publik di perguruan tinggi negeri.

Gedung DLC—yang diklaim sebagai lompatan transformasi digital USU—seharusnya tak hanya dibangun dari beton dan baja, tetapi juga dari transparansi dan kepercayaan publik. Sebab, inilah titik temu antara anggaran negara dan moralitas akademik.

Skala Anggaran dan Urgensi

Nilai Rp130 miliar bukan angka kecil. Dalam laporan resmi Ditjen Dikti (Januari 2025), gedung ini menjadi simbol pergeseran paradigma pendidikan tinggi ke arah digitalisasi. Namun, di tengah prioritas pendidikan tinggi nasional yang masih berkutat pada akses, kualitas dosen, dan pemerataan teknologi, patut dipertanyakan: apakah bangunan megah menjawab urgensi pendidikan atau hanya menjadi etalase simbolik?

Laporan BPK RI tahun 2023 tentang pengelolaan belanja di USU justru menunjukkan persoalan klasik: pengeluaran Rp908 juta yang tidak dilengkapi bukti riil. Kasus ini menunjukkan bahwa pengawasan internal USU belum cukup menjamin tata kelola keuangan yang akuntabel.

Dalam perspektif teori ekonomi publik, proyek besar seperti ini mesti memenuhi asas efisiensi dan kebutuhan publik (Musgrave, 1959). Jika tidak, proyek hanya akan menjadi distorsi anggaran dan peluang moral hazard yang dilegitimasi birokrasi akademik.

Rekam Jejak Pengelolaan Proyek USU

USU bukan institusi tanpa noda. Kasus embung Kwala Bekala pada tahun 2017, yang sempat menyeret nama Rektor kala itu, Prof. Runtung Sitepu, dalam klarifikasi oleh Polda Sumut, memperlihatkan bahwa proyek infrastruktur kerap menjadi celah penyalahgunaan dana hibah. Meskipun hingga kini belum ada dakwaan resmi, bayang-bayang korupsi tetap menghantui proyek-proyek berbiaya besar.

Sosiolog Robert Merton pernah menyatakan bahwa institusi yang gagal menjalankan fungsi sosialnya justru akan memproduksi disfungsi (Merton, 1957). Kampus, alih-alih menjadi pusat moral dan intelektual, bisa tergelincir menjadi ladang praktik rente jika prinsip transparansi diabaikan.

Digitalisasi Tanpa Etika

Digitalisasi pendidikan memang sebuah keniscayaan. Namun, pembangunan fisik semata tidak menjamin lompatan kualitas pendidikan. Menurut laporan World Bank (2023), negara-negara berkembang yang sukses dalam transformasi digital pendidikan justru fokus pada konten, kurikulum adaptif, dan pelatihan SDM, bukan pada bangunan.

Apakah USU telah menyiapkan ekosistem digital yang menyeluruh, ataukah ini hanya digitalisasi dalam bentuk kulit luarnya saja? Tanpa audit digitalisasi dan pemetaan kebutuhan pembelajaran daring yang konkret, gedung DLC berisiko menjadi monumen kosong yang lebih banyak menyerap anggaran daripada melahirkan inovasi.

Jalan Keluar: Audit dan Partisipasi Publik

Pembangunan sebesar ini, apalagi di institusi publik, tak bisa dilepaskan dari partisipasi publik dan pengawasan kolektif. Kampus bukan menara gading yang tertutup kritik. Sebaliknya, ia adalah ruang publik yang harus membuka diri pada audit independen, terutama proyek senilai ratusan miliar.

Rektorat USU wajib mempublikasikan detail anggaran, sumber pembiayaan, mekanisme tender, dan target pencapaian akademik dari DLC. Tanpa itu, kecurigaan publik adalah keniscayaan.

Gedung DLC dalam Pengawasan Penegak Hukum: Panggilan Patut Secara Hukum Yang Diabaikan

Di balik kemegahan Gedung Digital Learning Center (DLC) Universitas Sumatera Utara, muncul dinamika hukum yang tidak dapat diabaikan. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa pejabat rektorat USU telah dipanggil secara patut oleh aparat penegak hukum untuk memberikan klarifikasi terkait proses dan aliran anggaran pembangunan gedung senilai Rp130 miliar tersebut. Namun, ketidakhadiran pihak yang dipanggil dalam beberapa kali undangan klarifikasi justru menimbulkan tanda tanya publik.

Dalam konteks hukum acara pidana, Pasal 227 KUHAP menegaskan bahwa panggilan secara patut adalah perintah resmi yang wajib dihormati oleh setiap warga negara, terlebih jika menyangkut dana publik dan integritas institusi pendidikan. Ketidakhadiran tanpa alasan sah atas panggilan patut, jika berulang, dapat menjadi dasar hukum untuk tindakan lebih lanjut, termasuk upaya paksa.

Lebih dari itu, ketidakhadiran ini dapat ditafsirkan secara sosial sebagai bentuk ketertutupan dan resistensi terhadap prinsip akuntabilitas. Dalam teori transparansi institusional (Hood, 2006), tindakan seperti ini mencerminkan rendahnya komitmen pada keterbukaan, terutama bila dilakukan oleh institusi yang seharusnya menjadi teladan dalam kejujuran dan tanggung jawab publik.

Jika benar panggilan tersebut diabaikan tanpa argumentasi hukum yang sah, ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi juga cermin dari krisis moral dan integritas institusi. Sudah saatnya publik dan aparat hukum mendorong pemeriksaan menyeluruh terhadap proyek ini, bukan hanya untuk menindak jika ada korupsi, tapi juga untuk mengembalikan kepercayaan pada dunia akademik.

Penutup

Gedung DLC USU adalah potret ambisi besar kampus negeri untuk menyongsong era digital. Namun, sebesar apa pun bangunan itu menjulang, ia tetap harus dibangun di atas fondasi kejujuran, bukan kebanggaan kosong. Transformasi digital tanpa integritas hanya akan menghasilkan distorsi pendidikan. USU, sebagai kampus tertua di Sumatera, harus memimpin bukan hanya dalam teknologi, tetapi juga dalam moralitas publik.

Demikian

Penulis Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk’ 92 dan Ketua Kelas Grup A, Penggiat Anti Korupsi Dan Sahabat Komisi Pemberantasan Korupsi.
______________

Daftar Pustaka:

1. Musgrave, R. A. (1959). The Theory of Public Finance. McGraw-Hill.

2. Merton, R. K. (1957). Social Theory and Social Structure. Free Press.

3. Laporan BPK RI atas Pengelolaan Belanja USU TA 2022–2023. (2023).

4. Direktorat Jenderal Dikti. (2025). “Kunjungan Dirjen Dikti ke Gedung Digital Learning Center USU.” dikti.go.id

5. World Bank. (2023). Education Digitalization in Developing Countries: Lessons and Pitfalls.

6. DetikNews. (2021). “Rektor USU Dipanggil Polisi Terkait Proyek Embung.” news.detik.com

7. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 227 – 228
Menjelaskan tentang kewajiban memenuhi panggilan penyidik dan konsekuensi hukum terhadap ketidakhadiran yang tidak sah.

8. Hood, Christopher. (2006). Transparency: The Key to Better Governance? Oxford University Press.
Buku ini membahas prinsip transparansi dalam administrasi publik dan konsekuensi kelembagaan dari tindakan tertutup.

9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (jo. UU No. 20 Tahun 2001)
Memberi dasar hukum mengenai penyidikan kasus dugaan korupsi dan hak-hak serta kewajiban pihak yang dipanggil dalam proses hukum.

10. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Laporan Tahunan KPK: Transparansi dan Akuntabilitas Sektor Pendidikan. Menyoroti kerawanan korupsi dalam sektor pengadaan barang dan jasa pendidikan tinggi.