Oleh: Ryo Disastro. Penulis, tinggal di Depok
Jika kita menelusuri sejarah Nusantara, kita akan menemukan jejak panjang interaksi antara bangsa Tiongkok dan kepulauan ini. Hubungan keduanya tak hanya sebatas perdagangan, tetapi juga membentuk lapisan budaya yang hingga kini masih terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Dari interaksi awal hingga perayaan Imlek yang kini menjadi hari libur nasional, kisah ini adalah bukti bahwa Nusantara selalu menjadi ruang bagi perjumpaan dan akulturasi budaya.
Sejarah mencatat bahwa interaksi pertama antara Tiongkok dan Nusantara terjadi jauh sebelum era kolonialisme Eropa. Dalam catatan Dinasti Han (202 SM – 220 M), disebutkan adanya hubungan dagang antara pedagang Tiongkok dengan wilayah yang kini kita kenal sebagai Indonesia (Wolters, 1967).
Namun, bukti yang lebih kuat datang dari masa Dinasti Tang (618–907 M) dan Dinasti Song (960–1279 M), ketika para pedagang Tiongkok mulai aktif berdagang di pelabuhan-pelabuhan besar seperti Barus, Palembang, dan Tuban. Mereka membawa sutra, keramik, dan obat-obatan herbal, sementara dari Nusantara mereka membawa pulang rempah-rempah, emas, dan hasil bumi lainnya (Reid, 1993).
Salah satu tokoh terkenal dalam hubungan ini adalah Laksamana Cheng Ho, seorang pelaut dan diplomat Muslim dari Dinasti Ming yang melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah Asia, termasuk Nusantara, pada awal abad ke-15.
Dalam perjalanannya, Cheng Ho tidak hanya menjalin hubungan dagang, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan Tiongkok kepada masyarakat setempat. Bukti peninggalannya masih dapat ditemukan di beberapa tempat, seperti Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang dan sejumlah kelenteng lain di pesisir utara Jawa (Wade, 2009).
Interaksi panjang ini melahirkan banyak jejak yang masih terlihat hingga sekarang. Salah satu yang paling nyata adalah pengaruh budaya Tiongkok dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara. Di bidang kuliner, misalnya, kita mengenal bakmi, lumpia, capcay, dan kwetiau-hidangan yang berasal dari Tiongkok tetapi telah beradaptasi dengan selera lokal (Tan, 2008).
Dalam bahasa, banyak kata-kata serapan dari bahasa Hokkian dan Hakka yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, seperti ‘ teko‘ (teko air), ‘ loteng ‘ (lantai atas), dan ‘ cawan‘ (mangkuk kecil) (Salmon, 1999). Arsitektur juga menjadi saksi akulturasi ini; rumah-rumah tua di kota-kota pesisir seperti Semarang, Lasem, dan Singkawang masih menampilkan perpaduan gaya Tionghoa dengan sentuhan lokal.
Namun, interaksi ini tidak hanya berhenti pada akulturasi. Seiring berjalannya waktu, terjadi asimilasi yang lebih mendalam. Banyak orang Tionghoa yang menetap di Nusantara menikah dengan penduduk setempat, membentuk komunitas peranakan yang memiliki tradisi unik. Mereka mengembangkan kebudayaan baru yang merupakan perpaduan antara tradisi leluhur dari Tiongkok dengan adat setempat.
Batik motif Megamendung dari Cirebon, misalnya, memiliki corak yang terinspirasi dari awan khas lukisan Tiongkok (Vickers, 2013). Demikian pula dalam musik dan kesenian, seperti gambang kromong di Betawi yang merupakan perpaduan antara alat musik Tionghoa dan gamelan Jawa.
Salah satu perayaan budaya Tionghoa yang paling dikenal di Indonesia adalah Imlek. Bagi masyarakat Tionghoa, Imlek bukan sekadar pergantian tahun, tetapi juga momen untuk berkumpul dengan keluarga, menghormati leluhur, dan berharap keberuntungan di tahun yang baru (Lim, 2010). Tradisi seperti makan bersama, pembagian angpao , hingga pertunjukan barongsai adalah bagian dari perayaan yang sarat makna.
Namun, perjalanan Imlek di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Pada masa Orde Baru, perayaan ini sempat dilarang di ruang publik, membuatnya hanya bisa dirayakan secara terbatas di lingkungan keluarga dan komunitas (Heryanto, 1998).
Baru pada era Reformasi, melalui Keputusan Presiden tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Imlek kembali diakui sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia dan akhirnya diresmikan sebagai hari libur nasional pada 2003 di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Perayaan Imlek di Indonesia kini menjadi salah satu bukti nyata dari toleransi dan keberagaman di negeri ini. Tidak hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa, tetapi juga dinikmati oleh berbagai kalangan yang ikut serta dalam semaraknya.
Kota-kota seperti Singkawang, Jakarta, Semarang, dan Medan menjadi pusat perayaan dengan pertunjukan barongsai, festival kuliner, dan berbagai atraksi budaya yang terbuka untuk semua orang.
Jejak Tiongkok di Nusantara adalah cermin dari bagaimana Indonesia telah menjadi tanah pertemuan (melting pot) berbagai budaya sejak ribuan tahun yang lalu. Dari perdagangan, akulturasi, hingga perayaan bersama, hubungan ini telah memperkaya kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan jati diri masing-masing.
Imlek hanyalah salah satu contoh dari bagaimana perbedaan bisa dirayakan dalam harmoni. Dan dalam semangat tahun baru ini, kita diingatkan bahwa keberagaman bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan sesuatu yang harus dirayakan bersama sebagai sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan.(*)
“家和万事兴” (Jiā hé wàn shì xīng)
“Jika keluarga harmonis, segala hal akan berjalan lancar.” – Pepatah Tiongkok