Daerah  

Pemuda Muslimin Indonesia PW DKI Jakarta: Menolak Komersialisasi Air Bersih, PAM Jaya Harus Tetap Dikuasai Negara Bukan Pasar

Rizki (Ketua Umum Pemuda Muslimin Indonesia) PW DKI Jakarta

Jakarta, Swararakyat.com – Pemuda Muslimin Indonesia PW DKI Jakarta menyatakan penolakan tegas terhadap rencana perubahan status Perumda PAM Jaya menjadi perusahaan terbuka (Tbk). Rencana ini dinilai sebagai bentuk privatisasi terselubung yang berpotensi menggadaikan hak rakyat atas air bersih kepada kepentingan modal dan pasar.

Ketua Umum PW Pemuda Muslimin Indonesia DKI Jakarta, Rizki, menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah mundur secara ideologis dan moral dari prinsip pengelolaan sumber daya publik yang diamanatkan konstitusi.
“Air bukan komoditas dagang. Air adalah hak hidup rakyat. Negara seharusnya menjadi pengelola utama, bukan penonton yang menyerahkan hajat hidup rakyat kepada mekanisme pasar,” tegas Rizki.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Rizki menilai, jika PAM Jaya berubah menjadi Tbk, maka konsekuensinya jelas: orientasi pelayanan publik akan bergeser menjadi orientasi profit. Kepemilikan saham publik akan membuka ruang masuknya investor swasta yang dapat memengaruhi arah kebijakan perusahaan, termasuk potensi kenaikan tarif air dan pengurangan kontrol sosial.

“Ketika air dikuasai oleh logika korporasi, maka rakyat kecil akan menjadi korban pertama. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga moralitas kebijakan publik,” tegasnya.

Lebih lanjut, Rizki memaparkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta tahun 2024, yang menunjukkan bahwa cakupan layanan air bersih baru mencapai sekitar 64,5% rumah tangga di DKI Jakarta, artinya lebih dari sepertiga warga Jakarta masih belum mendapatkan air bersih yang layak.

“Bagaimana mungkin perusahaan yang belum mampu melayani seluruh warga Jakarta justru diubah menjadi Tbk? Ini adalah bentuk pengalihan tanggung jawab pemerintah kepada mekanisme pasar. Padahal, yang dibutuhkan Jakarta saat ini adalah pemerataan akses air bersih, bukan penjualan saham,” tambah Rizki.

Ia juga menyoroti bahwa tingkat kehilangan air (non-revenue water) PAM Jaya masih tinggi, sekitar 43%, akibat kebocoran jaringan dan inefisiensi distribusi. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa permasalahan utama PAM Jaya bukan pada kekurangan modal, melainkan pada lemahnya tata kelola dan pengawasan.

“Masalah PAM Jaya bukan kurang uang, tapi kurang keberpihakan dan keberanian memperbaiki sistem. Kalau alasan menjadi Tbk adalah untuk menambah modal, itu alasan yang menyesatkan. Karena modal sosial, politik, dan hukum untuk memperbaiki PAM Jaya sudah ada, asal mau berpihak kepada rakyat,” ujar Rizki dengan tegas.

PW Pemuda Muslimin Indonesia DKI Jakarta menilai, langkah ini juga mencerminkan krisis arah pembangunan di DKI Jakarta, di mana pelayanan publik mulai dikomersialisasi dengan dalih efisiensi dan transparansi.

“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jangan terjebak dalam paradigma neoliberal yang menjadikan kebutuhan dasar sebagai instrumen bisnis. Air bukan saham. Air adalah hak asasi,” ujar Rizki.

Seruan Pemuda Muslimin Indonesia PW DKI Jakarta:
1. Menolak tegas setiap upaya menjadikan Perumda PAM Jaya sebagai perusahaan terbuka (Tbk) atau bentuk lain dari privatisasi.

2. Mendesak Gubernur DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta untuk memprioritaskan peningkatan pelayanan air bersih bagi seluruh warga sebelum bicara komersialisasi.

3. Mendorong audit publik dan transparansi penuh terhadap kinerja PAM Jaya, termasuk laporan keuangan, kehilangan air, serta rencana investasi.

4. Menuntut revisi kebijakan air bersih Jakarta agar selaras dengan Pasal 33 UUD 1945 dan prinsip keadilan sosial.

“Pemuda Muslimin Indonesia akan terus mengawal isu air bersih sebagai hak rakyat. Kami menolak keras setiap kebijakan yang mengubah air dari hak publik menjadi alat komersialisasi. Jakarta tidak boleh mengulang luka lama privatisasi air di masa lalu,” tutup Rizki. (*)