Opini  

Resiliensi

Ryo Disastro

Oleh: Ryo Disastro, Penulis, tinggal di Depok

Bayangkan diri Anda berdiri di tengah badai besar. Angin menderu, hujan deras mengguyur, dan Anda hanya memiliki payung kecil untuk melindungi diri. Payung itu mungkin rapuh, tapi Anda tetap berdiri, bertahan, dan terus melangkah. Itulah gambaran sederhana doari resiliensi.

Apa itu Resiliensi?

Resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan, bangkit kembali, dan bahkan tumbuh lebih kuat setelah menghadapi tekanan atau kesulitan. Dalam Bahasa Indonesia, resiliensi bisa diartikan sebagai ketahanan, daya lenting, atau kegigihan. Ini bukan sekadar soal “sabar” atau “pasrah,” tetapi kemampuan aktif untuk beradaptasi, mencari solusi, dan tetap maju meski badai kehidupan menghantam.

Hidup tidak pernah berjalan mulus. Ada kalanya kita dihadapkan pada situasi sulit yang menguji kemampuan mental, emosional, bahkan fisik kita. Orang yang memiliki karakter resilien mampu menghadapi tantangan dengan lebih tenang dan efektif. Mereka tidak mudah menyerah, mampu melihat peluang di tengah keterbatasan, dan tetap berdiri teguh meski dihantam berkali-kali.

Kita semua pasti mengenal seseorang yang seperti ini: mereka yang tampak selalu punya energi lebih untuk bertahan, yang bisa tersenyum meski beban di pundak begitu berat. Seperti air yang dibendung, namun lalu berkelok mencari jalan lain. Orang-orang resilien ini bukan hanya inspirasional, tetapi juga bukti nyata bahwa ketahanan adalah kunci sukses dan kebahagiaan.

Resiliensi dalam praktek

Mari kita tengok Gaza, wilayah kecil yang sering disebut sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia.” Dengan populasi lebih dari 2 juta orang, rakyat Gaza hidup di bawah blokade ketat yang diberlakukan oleh zionis isr3@l. Akses mereka terhadap kebutuhan dasar seperti listrik, air bersih, dan obat-obatan sangat terbatas. Ditambah lagi, serangan militer yang menghancurkan infrastruktur sering terjadi.

Namun, apa yang kita lihat? Bukan kehancuran total, melainkan daya tahan yang luar biasa. Rakyat Gaza terus hidup, bekerja, dan bahkan bermimpi. Mereka mendirikan sekolah di tengah reruntuhan, mengadakan pernikahan meski sirene perang berbunyi, dan tetap menjalankan ibadah dengan penuh khidmat. Ketahanan mereka akhirnya memaksa zionis untuk menerima gencatan senjata. Inilah bukti bahwa semangat dan ketahanan bisa menjadi kekuatan yang tak tertandingi.

Contoh lain datang dari Iran. Negara ini telah berpuluh tahun hidup di bawah bayang-bayang sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh Barat. Mereka dikucilkan dari pergaulan internasional, dipersulit dalam perdagangan, dan ditekan dari berbagai sisi. Namun, apakah Iran menyerah? Tidak. Mereka justru tumbuh menjadi bangsa yang mandiri, mengembangkan teknologi sendiri, termasuk di bidang militer.

Baru-baru ini, Iran merilis video tentang pangkalan militer bawah laut yang mereka bangun secara rahasia. Ini adalah simbol dari resiliensi mereka: mampu bertahan dan bahkan menciptakan inovasi di tengah segala keterbatasan. Pesan yang bisa kita ambil? Ketika kita tidak bisa mengandalkan orang lain, maka kita harus mengandalkan diri sendiri.

Bagi politisi, resiliensi juga adalah senjata. Baru-baru ini saya mendapat informasi tentang seorang mantan pejabat tinggi negara yang masih “kasak-kusuk” mencari posisi. Meski sudah tidak menjabat, dia tetap rajin mengatur strategi, melobi ke sana-sini, mencoba mendapatkan akses ke kekuasaan, dan mencari dukungan. Struktur partai mungkin sudah dia kuasai, tapi kultur partai sepertinya belum. Melawan senioritas memang berat, tapi dia tidak menyerah. Resiliensi membuatnya terus berusaha, meski jalannya tidak mulus.

Resiliensi bukan hanya milik rakyat Gaza, Iran, atau politisi saja. Ini adalah sikap yang dibutuhkan oleh semua orang, dari pejabat tinggi hingga rakyat biasa. Bayangkan seorang pengusaha kecil yang bangkrut karena pandemi, tapi tetap bangkit dan mencoba lagi. Atau seorang karyawan yang kehilangan pekerjaannya, lalu memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Tanpa resiliensi, mereka akan menyerah dan terjebak dalam keputusasaan.

Melatih diri bersikap resilien

Resiliensi bukan sesuatu yang datang begitu saja. Ini adalah pilihan dan kemampuan yang bisa kita latih. Caranya? Terima realitas. Hidup tidak selalu adil, dan itu tidak masalah. Semakin cepat kita menerima kenyataan, semakin mudah bagi kita untuk mencari solusi. Fokus pada hal yang bisa kita kendalikan. Jangan buang energi untuk hal-hal yang berada di luar kendali kita. Alihkan perhatian pada apa yang bisa kita lakukan.

Bangun dukungan sosial (social support system). Teman, keluarga, dan komunitas adalah sumber kekuatan yang tak ternilai. Jangan ragu untuk meminta bantuan ketika membutuhkannya. Jaga kesehatan fisik dan mental. Olahraga, meditasi, dan tidur yang cukup bisa membantu kita menghadapi tekanan dengan lebih baik. Belajar dari kegagalan. Anggap kegagalan sebagai pelajaran, bukan akhir dari segalanya.

Dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini, resiliensi adalah tameng terbaik yang bisa kita miliki. Ingatlah, tidak masalah berapa kali kita jatuh, yang penting adalah seberapa cepat kita bangkit kembali. Badai kehidupan mungkin tak bisa kita hindari, tapi kita selalu punya pilihan untuk bertahan, melawan, dan menang.(*)