Opini  

Tujuan Penciptaan

Oleh: Ryo Disastro. Penulis, tinggal di Depok

Pernah nggak sih kita bertanya, “Kenapa ya Tuhan menciptakan kita? Apa sih tujuan kita hidup di dunia ini?” Pertanyaan ini mungkin pernah muncul di benak kita, terutama saat kita sedang merenung atau bahkan ketika kita merasa hidup ini terasa begitu berat.

Ternyata, pertanyaan ini nggak cuma muncul di kepala kita aja lho dan ini bukan pertanyaan baru. Ini adalah pertanyaan sepanjang zaman. Para filsuf dari zaman dulu juga udah memikirkannya, bahkan sampai sekarang pun pertanyaan ini masih jadi bahan perdebatan yang seru.

Sejak manusia memiliki kesadaran, kita selalu bertanya tentang makna keberadaan kita. Anda hampir bisa saya pastikan pernah mempertanyakan hal ini juga di dalam satu perenungan yang mendalam. Ini adalah sebuah pertanyaan sepanjang zaman.

Filsuf-filsuf besar seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas pernah membahas tentang tujuan penciptaan. Plato, misalnya, percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini punya “bentuk ideal” yang menjadi tujuannya. Sementara itu, Aristoteles bilang bahwa segala sesuatu punya “tujuan akhir” atau telos yang menjadi alasan keberadaannya. Thomas Aquinas, seorang filsuf Kristen, mengaitkan tujuan penciptaan dengan kehendak Tuhan. Menurutnya, Tuhan menciptakan dunia ini untuk menunjukkan kebesaran-Nya.

Filsuf Barat modern seperti Kant melihat bahwa pertanyaan tentang tujuan penciptaan terlalu jauh untuk dijangkau akal manusia. Kant lebih memilih membahas moralitas sebagai aspek fundamental dari kehidupan manusia.

Jean-Paul Sartre,, salah satu tokoh filsafat eksistensialisme, berpendapat bahwa manusia tidak memiliki tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Manusia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun, ada satu pemikir yang menurut saya pendekatannya sangat unik: Rene Descartes.

“Aku Berpikir, Maka Aku Ada”

Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menyatakan: “cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada). Ini adalah pernyataan fundamental dalam filsafat Barat modern. Ketika Descartes meragukan segala sesuatu, ia justru menemukan satu hal yang tak terbantahkan, yaitu pikirannya sendiri.

Dia bertanya, “Apa sih yang bisa kita yakini sebagai kebenaran?” Akhirnya, dia menyadari bahwa satu-satunya hal yang nggak bisa dia ragukan adalah fakta bahwa dia sedang berpikir. Dari situ, dia menyimpulkan bahwa karena dia berpikir, maka dia pasti ada.

Tapi, apakah berpikir saja cukup untuk menjelaskan tujuan penciptaan? Tentu tidak Ferguso! Descartes tidak secara langsung membahas tujuan hidup manusia dalam karyanya. Namun, beberapa filsuf menafsirkan bahwa tujuan hidup manusia dalam perspektif Descartes bisa dikaitkan dengan pencarian kebenaran dan mendekati pemahaman akan Tuhan melalui akal.

Perspektif Islam

Sama seperti para filsuf Barat, Islam juga mengajak manusia untuk merenungkan eksistensinya. Namun, Islam memberikan jawaban yang lebih mendalam. Melalui pemikiran para filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, tujuan penciptaan dalam Islam bisa dilihat dari perspektif metafisika. Al-Farabi dan Ibn Sina melihat tujuan penciptaan dalam kerangka metafisika sebagai proses intelektual yang mengarah pada kesempurnaan manusia.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ayat ini memiliki makna bahwa satu-satunya tujuan penciptaan manusia adalah untuk menghamba kepada Tuhan. Beribadah dalam arti bukan hanya soal ritual, tetapi sebuah kesadaran hidup manusia atas eksistensi dirinya yang terbatas (relatif) dan sangat bergantung kepada yang tidak terbatas (absolut).

Jika tujuan penciptaan adalah beribadah, maka manusia seharusnya hanya menghamba kepada Tuhan, bukan kepada selain-Nya. Jika ada manusia yang menghamba bukan kepada Tuhan, maka makna eksistensialnya tidak tercapai, dan dia tidak dapat dikatakan sempurna sebagai “manusia”.

Sebenarnya manusia itu punya “tujuan default ” atau fitrah untuk menghamba kepada Tuhan. Fitrah ini udah ada dalam diri kita sejak lahir. Coba kita lihat anak kecil. Secara alami, mereka punya kecenderungan untuk mencari “sesuatu yang lebih besar” dari dirinya. Mereka mudah percaya pada hal-hal yang nggak bisa mereka lihat, seperti Tuhan. Ini adalah bukti bahwa fitrah manusia itu memang sudah terprogram untuk mengenal dan menghamba kepada Sang Pencipta.

Jika kita nggak memenuhi tujuan _default_ kita sebagai hamba Allah, maka sebenarnya kita udah kehilangan esensi dari keberadaan kita sebagai manusia. Ibaratnya, kita punya smartphone canggih, tapi cuma dipakai untuk nelpon doang. Padahal, fiturnya jauh lebih banyak dari itu.

Menyempurnakan Diri dalam Penghambaan

Jika Descartes berkata, “Aku berpikir, maka aku ada.”, maka Islam mengajarkan, “Aku beribadah, maka aku menjadi manusia sempurna.” Penciptaan bukanlah kebetulan, dan tujuan kita bukanlah teka-teki tanpa jawaban. Saat kita kembali kepada fitrah kita sebagai hamba, kita tidak hanya menemukan eksistensi dan maknanya, tetapi juga kebahagiaan.

Ketika manusia melupakan tujuan fitrahnya, maka ia akan tersesat dalam kegelapan dan menderita. Ia akan mencari kebahagiaan pada hal-hal yang fana, seperti harta, tahta, dan pujian. Padahal, kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang didasari oleh proses intelektual. Semakin mendekat, semakin menyatu dengan diriNya, maka semakin bahagia dan sempurna seorang manusia. Inilah wujud penghambaan yang sempurna.

Semoga di hari Jum’at yang berkah ini, kita senantiasa diberikan karunia dan rahmat dari Allah Azza Wa Jalla, sehingga kita mampu untuk terus menyempurnakan diri dalam penghambaan kepadaNya. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aliy Muhammad. Selamat Hari Jum’at! (*)