Oleh: Khoirun Nisa, S.Pd (Pengamat APBD)
Kasus dugaan korupsi dana Pokok-pokok Pikiran Rakyat (Pokir) DPRD Sumenep yang dilaporkan dan disuarakan oleh Dear Jatim Korda Sumenep, mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam tata kelola anggaran daerah. Pokir, yang seharusnya menjadi jembatan kesejahteraan, berubah menjadi panggung sandiwara. Oknum-oknum tertentu, dengan tangan-tangan serakah, mengusulkan, melaksanakan, mengawasi, dan menikmati sendiri hasil jerih payah rakyat. Rakyat menderita, Mereka bebas menari, mengabaikan akuntabilitas dan transparansi.
Pola yang terungkap menunjukkan beberapa titik rawan yang secara sistematis membuka peluang terjadinya praktik korupsi yang masuk ke rana pidana. Tentunya harus ada pembuktian.
Pembuktian dapat dilakukan melalui pembuktian terbalik. APH (Aparat Penegak Hukum) seperti Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK memiliki instrumen penyelidikan dan penyidikannya secara memadai.
Perencanaan dan Penganggaran yang Tidak Transparan:
Dana Pokir, yang seharusnya merupakan aspirasi masyarakat, sering kali diwarnai dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ketidaksesuaian antara pokir dengan dokumen perencanaan daerah (RKPD, RPJMD, Renja, Renstra OPD) menunjukkan lemahnya pengendalian dan pengawasan dalam proses perencanaan serta banyaknya praktik “pokir titipan” yang diusulkan, dilaksanakan, diawasi, dan dinikmati sendiri oleh oknum tertentu, merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang nyata. Hal ini mencerminkan minimnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan anggaran pokir.
Konspirasi dan Intervensi dalam TAPD:
Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) terindikasi berkonspirasi dengan DPRD dan memaksakan usulan pokir yang tidak sesuai aturan, mengindikasikan adanya dugaan intervensi dalam proses penganggaran. Pokir yang seharusnya menjadi instrumen penyampaian aspirasi masyarakat, justru berubah menjadi sarana “bagi-bagi uang” atau program personal. Perubahan pokir setelah pembahasan anggaran dan ketidaksesuaian pertanggungjawaban belanja bantuan, semakin memperkuat dugaan adanya praktik manipulasi anggaran.
Penyalahgunaan Pokir untuk Kepentingan Pribadi dan Tim Sukses:
Pemberian program pokir kepada tim sukses anggota dewan merupakan bentuk penyimpangan yang sangat serius. Hal ini menunjukkan adanya upaya untuk memanfaatkan anggaran publik demi kepentingan politik pribadi dan praktik penarikan fee proyek yang mencapai 30-40% dan pengerjaan proyek yang asal-asalan, seperti pembangunan drainase dan TPT, pemagaran kuburan, dll, merupakan indikasi kuat adanya praktik korupsi yang terstruktur.
Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum:
Desakan agar Satreskrim Polres Sumenep segera memanggil para pengusul pokir dan melakukan klarifikasi serta pengecekan ke desa-desa yang belum menyampaikan LPJ, menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum.
Lambatnya penanganan kasus ini dapat menimbulkan kesan impunitas dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Dalam opini ini saya menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan yang tidak bisa ditoleransi. Ia merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, menghancurkan kepercayaan rakyat, dan merampas hak-hak mereka. Oleh karena itu, kita semua harus bersatu padu untuk memberantas korupsi, agar Sumenep kembali menjadi tempat yang adil dan sejahtera bagi semua.
Kasus dugaan korupsi dana pokir DPRD Sumenep ini merupakan potret buram tata kelola anggaran daerah Kabupaten Sumenep yang rentan terhadap praktik korupsi.