Opini  

Digital Learning Center USU: Gedung Padat Modal, Disfungsi, Dan Masih Sepi dari Akses Mahasiswa

Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Koordinator Serikat Alumni USU)

Universitas Sumatera Utara (USU) patut berbangga atas berdirinya Digital Learning Center Building (DLC Building), gedung megah yang berdiri kokoh di kawasan kampus utama. Namun di balik kemegahannya, tersembunyi realitas yang kontradiktif: gedung padat modal ini justru mengalami disfungsi dan minim kunjungan mahasiswa. Ironi ini mengingatkan kita pada kritik klasik terhadap pembangunan infrastruktur pendidikan yang tidak selaras dengan kebutuhan aktual.

Padat Modal, Minim Manfaat

Menurut data laporan keuangan USU tahun 2022, pembangunan DLC Building menghabiskan dana sekitar Rp120 miliar, bersumber dari APBN dan pendapatan BLU kampus. Gedung ini dirancang sebagai pusat pembelajaran digital, lengkap dengan ruang kelas pintar, auditorium modern, dan fasilitas coworking space. Namun, sejak peresmiannya pada 2023, penggunaan gedung ini hanya mencapai 15% dari kapasitas maksimal per bulan (Biro Akademik dan Kemahasiswaan USU, 2024).

Jika dikalkulasi, dari total 5.000 m2 ruang aktif, hanya sekitar 750 m2 yang dimanfaatkan secara rutin. Sisanya menganggur, hanya sesekali digunakan untuk acara seminar atau pelatihan dosen. Data ini menunjukkan bahwa investasi besar tidak diimbangi dengan strategi utilisasi yang efektif. Padahal, dalam konteks kampus sebagai institusi publik, setiap rupiah anggaran seharusnya berorientasi pada akses, inklusi, dan efektivitas pembelajaran.

Disfungsi dalam Sistem Akademik

Lebih memprihatinkan lagi, DLC Building belum sepenuhnya terintegrasi dalam ekosistem digital learning USU. Platform pembelajaran daring seperti MyUSU dan SIBIMA masih terpisah dari fasilitas fisik gedung ini. Banyak dosen dan mahasiswa mengeluhkan kurangnya koneksi antara sistem daring dan ruang-ruang di DLC. “Gedungnya ada, tapi fungsinya tidak jelas. Kalau mau akses materi atau kelas online, tetap dari rumah atau kos,” ungkap Rani, mahasiswa Fakultas Ekonomi (wawancara, 2025).

Sebagian ruang DLC bahkan disewakan untuk acara eksternal non-akademik, mulai dari pertemuan perusahaan swasta hingga pesta ulang tahun. Praktik komersialisasi ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah gedung akademik boleh dialihfungsikan demi pemasukan, sementara mahasiswa kesulitan mengakses ruang belajar yang nyaman dan digital-friendly?

Sepi Akses, Sepi Kunjungan

Kunjungan mahasiswa ke DLC Building pun tergolong rendah. Berdasarkan data UPT Perpustakaan Digital USU, rata-rata hanya 80-100 pengunjung per hari yang memanfaatkan fasilitas di gedung ini, jauh di bawah target 500 pengunjung per hari saat perencanaan. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari lokasi gedung yang relatif jauh dari fakultas-fakultas utama, jam operasional yang terbatas (hanya hingga pukul 16.00), hingga ketidakjelasan fungsi ruang bagi mahasiswa.

“Kalau mau belajar kelompok atau cari wifi, lebih baik di kafe kampus atau perpustakaan lama. Di DLC kayak gedung kosong, sepi, nggak tahu mau ngapain,” kata Andi, mahasiswa Teknik Sipil (wawancara, 2025). Pernyataan ini menegaskan adanya disparitas antara fasilitas fisik dan kebiasaan belajar mahasiswa, yang tidak diperhitungkan secara matang dalam tahap desain hingga operasional.

Masa Depan DLC: Antara Revitalisasi dan Peninjauan Ulang

Fenomena ini menunjukkan bahwa pembangunan DLC Building lebih bersifat supply-driven ketimbang demand-driven. Gedung dibangun lebih karena ambisi modernisasi fisik, bukan hasil analisis kebutuhan riil civitas akademika. Hal ini sejalan dengan kritik Paul Ginsborg (2001) dalam Democracy: Crisis and Renewal, bahwa proyek-proyek pembangunan seringkali menjauh dari kepentingan publik akibat lemahnya partisipasi dan evaluasi partisipatif.

USU perlu segera melakukan audit pemanfaatan dan revitalisasi fungsi DLC Building. Integrasi ruang dengan sistem pembelajaran daring harus menjadi prioritas. Selain itu, perlu ada pelibatan mahasiswa dalam perancangan ulang program dan layanan gedung. Jika tidak, DLC berisiko menjadi monumen kemegahan kosong, simbol pembangunan tanpa kepekaan sosial.

Dalam jangka panjang, pengelolaan DLC juga harus membuka peluang akses inklusif lintas fakultas dan komunitas kampus, bukan hanya acara seremonial atau komersial. Digital learning bukan hanya soal teknologi dan gedung, tetapi juga soal ekosistem belajar yang kolaboratif, relevan, dan terjangkau.

Penataan ulang DLC Building bukan hanya soal menyelamatkan investasi ratusan miliar, tetapi juga soal menjaga integritas perguruan tinggi sebagai ruang publik yang demokratis, inklusif, dan berpihak pada kemajuan ilmu pengetahuan. Jika tidak, kita hanya akan menatap gedung megah tanpa makna, berdiri sunyi di tengah dinamika kampus yang terus bergerak.

Demikian.

Penulis Merupakan Alumni FH USU Stambuk’ 92.

_______
Referensi:

Biro Akademik dan Kemahasiswaan USU. (2024). Laporan Utilisasi Gedung DLC USU.

UPT Perpustakaan Digital USU. (2024). Statistik Pengunjung DLC Building.

Ginsborg, P. (2001). Democracy: Crisis and Renewal. Profile Books.

Wawancara dengan mahasiswa USU, 2025.