Media sosial sedang ramai dengan hashtag #gakngerokokcuy. Hashtag ini memuat pesan sederhana namun kuat: bahwa memilih untuk tidak merokok adalah sebuah keputusan keren. Saya, sebagai orang yang tidak pernah bisa menikmati sensasi merokok, merasa terhubung dengan gerakan ini.
Bukan saya tidak pernah merokok. Saya pertama merokok saat masih di duduk di bangku SMP. Namun, kebiasaan merokok itu tidak lama karena saya tidak menikmatinya. Jadi, tulisan ini bukan datang dari tempat penghakiman, melainkan dari pengalaman pribadi dan keinginan untuk berbagi perspektif.
Tidak bisa disangkal, pilihan untuk tidak merokok membawa banyak dampak positif, terutama bagi kesehatan. Banyak dari kita sudah hafal tentang risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok: kanker paru-paru, penyakit jantung, hingga gangguan pernapasan.
Namun, penting juga untuk mengingat bahwa berhenti merokok atau tidak memulai sama sekali bisa memberikan manfaat kesehatan yang instan. Dalam waktu 20 menit setelah rokok terakhir, tekanan darah dan detak jantung mulai menurun. Dalam beberapa bulan, fungsi paru-paru membaik. Saya sepenuhnya setuju bahwa menjaga kesehatan adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai.
Namun, ada sisi menarik lain dari perbincangan tentang rokok, yakni narasi negatif yang sering menyertainya. Rokok, seperti yang kita tahu, adalah salah satu produk dengan kontroversi terbesar di dunia. Di satu sisi, ada kesadaran kolektif akan bahaya rokok bagi kesehatan.
Di sisi lain, ada realitas ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Indonesia adalah salah satu penghasil tembakau terbesar di dunia, dan cukai rokok menyumbang angka yang signifikan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Tahun lalu saja, pendapatan dari cukai rokok mencapai ratusan triliun rupiah. Angka ini menjadi tulang punggung banyak program pemerintah, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga layanan kesehatan.
Lantas, apakah narasi negatif tentang rokok semata-mata soal kesehatan? Atau ada juga kaitannya dengan persaingan industri global? Ada pandangan yang mengatakan bahwa tekanan untuk mengurangi konsumsi rokok sebagian datang dari kepentingan bisnis lain, seperti industri farmasi yang memproduksi alat bantu berhenti merokok atau produk pengganti nikotin. Bukan berarti risiko kesehatan menjadi tidak relevan, tetapi penting untuk memahami gambaran besar dari isu ini.
Mengingat kontribusi cukai rokok yang besar, Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita ingin masyarakat yang lebih sehat. Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap pentingnya industri tembakau bagi perekonomian. Jadi, bagaimana kita menemukan keseimbangan?
Salah satu caranya adalah dengan mendorong diversifikasi produk dari industri tembakau. Banyak petani tembakau di Indonesia yang menggantungkan hidup mereka pada tanaman ini.
Dengan inovasi, kita bisa membuka peluang untuk produk-produk alternatif berbasis tembakau yang tetap bernilai ekonomi tetapi lebih ramah kesehatan.
Selain itu, edukasi juga memegang peranan penting. Gerakan seperti #gakngerokokcuy adalah contoh bagaimana kampanye positif bisa mendorong perubahan tanpa harus menjatuhkan pihak tertentu.
Kita bisa menciptakan lingkungan yang mendukung mereka yang ingin berhenti merokok, misalnya dengan menyediakan layanan konseling gratis atau akses ke produk berhenti merokok yang terjangkau. Langkah ini tidak hanya mengurangi jumlah perokok, tetapi juga memastikan bahwa keputusan itu datang dari kesadaran, bukan paksaan.
Saya percaya, masa depan yang ideal adalah masa depan di mana kesehatan masyarakat terjaga, dan industri tetap berkontribusi pada perekonomian. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil. 3
Dengan pendekatan yang bijaksana, kita bisa sampai pada titik di mana menjaga Kesehatan warga negara dan menjaga Kesehatan ekonomi negara tidak selalu harus menjadi dua hal yang saling bertentangan. Semoga.(*)