Jakarta||Swararakyat – Perum Bulog, sebagai lembaga logistik nasional, sejatinya memegang peran sentral dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia. Namun, kinerja dan efektivitas Bulog dalam menjalankan mandatnya perlu dikritisi secara mendalam. Meskipun terdapat sejumlah langkah positif yang telah diambil, seperti pembelian langsung dari petani dan penyediaan fasilitas pengeringan serta penyimpanan, masih banyak tantangan dan kelemahan yang perlu diatasi agar Bulog benar-benar dapat menjadi pilar ketahanan pangan yang andal.
Pertama, mari kita lihat tiga fungsi utama Bulog: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Secara teori, fungsi-fungsi ini sangat ideal. Namun, dalam praktiknya, seringkali terjadi ketimpangan antara rencana dan implementasi. Misalnya, fungsi ketersediaan yang seharusnya menjamin pasokan pangan antar waktu dan tempat, kerap terkendala oleh masalah distribusi yang tidak merata. Daerah-daerah terpencil masih sering mengalami kelangkaan pangan, sementara di daerah lain terjadi kelebihan stok yang tidak terdistribusi dengan baik. Sebagai contoh, pada tahun 2022, Kompas melaporkan bahwa “meski stok nasional mencukupi, Namun Bulog kesulitan mendistribusikan beras ke daerah-daerah terpencil di Papua“. Hal ini menunjukkan bahwa masalah infrastruktur dan logistik masih menjadi hambatan serius.
Fungsi keterjangkauan, yang bertujuan menjamin akses fisik dan harga terjangkau, juga seringkali tidak tercapai. Harga pangan di tingkat konsumen masih fluktuatif, dan masyarakat kerap mengeluhkan mahalnya harga bahan pokok. Kontan (2023) mencatat bahwa “harga beras di pasar tradisional seringkali lebih tinggi daripada harga eceran yang ditetapkan pemerintah“, menunjukkan bahwa mekanisme stabilisasi harga Bulog belum sepenuhnya efektif. Selain itu, fungsi stabilitas yang seharusnya mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas harga, seringkali hanya bersifat reaktif dan tidak proaktif dalam mengantisipasi gejolak pasar.
Dalam konteks jagung pipil, langkah Bulog untuk membeli langsung dari petani dengan harga wajar dan menyediakan fasilitas pengeringan serta penyimpanan patut diapresiasi. Namun, pertanyaannya adalah: sejauh mana program ini benar-benar menjangkau petani kecil yang paling membutuhkan? Apakah fasilitas yang disediakan sudah memadai dan merata di seluruh wilayah? Faktanya, banyak petani masih mengeluhkan minimnya akses terhadap fasilitas tersebut, serta lambatnya proses pembayaran yang seharusnya dilakukan secara cepat dan tepat waktu. Tempo (2023) melaporkan bahwa “petani jagung di Jawa Timur kesulitan mengakses fasilitas pengeringan Bulog“, sehingga terpaksa menjual hasil panen mereka ke tengkulak dengan harga lebih rendah.
Terkait penyerapan gabah kering panen (GKP) dengan harga Rp 6.500 per kilogram, langkah ini memang terlihat baik di atas kertas. Namun, realitas di lapangan seringkali berbeda. Banyak petani mengeluhkan bahwa harga tersebut tidak mencerminkan biaya produksi yang mereka keluarkan, terutama di tengah kenaikan harga pupuk dan kebutuhan pertanian lainnya. Liputan6 (2023) menyoroti bahwa “petani di Jawa Barat merasa dirugikan karena harga pembelian Bulog tidak menutup biaya produksi yang terus meningkat”. Selain itu, koordinasi dengan Babinsa setempat, meski penting, tidak selalu berjalan lancar. Ada keluhan bahwa proses penyerapan seringkali birokratis dan tidak transparan, sehingga petani merasa dirugikan.
Target penyerapan 3 juta ton beras untuk stabilisasi harga dan persediaan juga patut dipertanyakan. Apakah angka ini realistis mengingat kapasitas penyimpanan dan distribusi Bulog yang seringkali terbukti tidak memadai? Hingga Februari 2025, Bulog diklaim telah menyetok 120.000 ton beras. Namun, apakah stok ini benar-benar dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan, atau justru teronggok di gudang karena masalah distribusi? Kompas (2023) melaporkan bahwa “beberapa gudang Bulog mengalami kelebihan stok, sementara daerah-daerah tertentu justru kekurangan pasokan beras“.Ini menunjukkan bahwa manajemen logistik Bulog masih perlu ditingkatkan.
Sinergi dengan Jaringan Pegiat Pangan Nusantara (JPPN) dan program Rumah Pangan Kita (RPK) memang merupakan langkah positif. Namun, program-program ini perlu dievaluasi secara kritis. Apakah 267 kios KPPN di Jakarta benar-benar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang berada di garis kemiskinan? Ataukah program ini hanya bersifat simbolis dan tidak memberikan dampak signifikan terhadap ketahanan pangan di tingkat akar rumput? Kontan (2023) mencatat bahwa meski program RPK digadang-gadang sebagai solusi ketahanan pangan, implementasinya masih terbatas dan belum merata.
Secara keseluruhan, Bulog memang telah melakukan sejumlah upaya dalam mendukung ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Namun, tanpa evaluasi kritis dan perbaikan sistemik, upaya-upaya ini berisiko hanya menjadi sekadar wacana. Bulog perlu meningkatkan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas dalam setiap programnya. Selain itu, sinergi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat, harus diperkuat untuk memastikan bahwa program-program tersebut benar-benar berdampak positif bagi petani dan masyarakat luas.
Ke depan, Bulog tidak hanya perlu fokus pada pencapaian target kuantitatif, tetapi juga pada kualitas implementasi dan dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat. Tanpa perubahan mendasar, peran Bulog sebagai penjaga ketahanan pangan nasional akan terus dipertanyakan. Media-media seperti Kompas, Kontan, Tempo, dan Liputan6 telah memberikan gambaran kritis tentang tantangan yang dihadapi Bulog. Sudah saatnya Bulog merespons kritik ini dengan langkah-langkah konkret dan terukur, demi mewujudkan ketahanan pangan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh Dadan K Ramdan, Penulis adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat