Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin
Kita lagi di momen penting sekali buat masa depan Bangsa. Menurut saya, mengolah sendiri kekayaan alam kita yang melimpah ruah, terus mastiin energi tersedia buat semua itu udah bukan cuma omongan kosong. Ini amanat konstitusi, lho, yang harus langsung kita wujudkan sekarang juga. Apalagi di bawah Kepemimpinan Pak Presiden Prabowo Subianto yang tegas dan punya visi jauh ke depan, ini kesempatan emas yang gak boleh dilewatin begitu aja.
Kenapa sih ini mendesak? Soalnya, harga minyak dunia itu gak stabil, terus ada ancaman perubahan iklim, sama gejolak politik global yang suka tiba-tiba muncul.
Semua ini bikin PT Pertamina (Persero) dan anak-anak perusahaannya punya peran super penting. Pertamina itu bukan cuma perusahaan yang cari untung, tapi semacam penjaga titipan suci buat kemakmuran rakyat Indonesia.
Tapi, apa iya “perusahaan raksasa” kebanggaan kita ini udah cukup ngebut? Udah cukup gesit dan punya pandangan ke depan buat ngadepin badai segede ini? Terus terang, belum, iya, belum.
Kita butuh lompatan gede yang direncanain matang dan berani. Perubahan total yang bikin peta energi nasional kita jadi berkelanjutan. Para Komisaris dan Direksi Pertamina itu harus berani ambil keputusan cepat, bahkan yang agak “ekstrem” sekalipun, demi lompatan epik ini.
Selama ini, kita sering sekali terlena, ngira sumber daya alam kita gak bakal habis. Padahal, kekayaan ini bisa sia-sia kalau cuma sibuk ngekspor bahan mentah doang tanpa diolah jadi produk yang nilainya tinggi.
Hilirisasi itu bukan cuma teori ekonomi di buku. Ini jalan tol super cepat menuju kemandirian industri, pembuka jutaan lapangan kerja baru, pendorong daya saing kita di pasar global, dan perisai ekonomi biar kita gak lagi tergantung sama bahan mentah.
Sama halnya dengan ketahanan energi. Ini bukan cuma soal ngisi bensin di SPBU, tapi juga tentang punya beragam sumber energi yang melimpah, ngembangin teknologi energi bersih terdepan, dan bisa cepat beradaptasi ngadepin setiap gejolak dunia yang gak terduga.
Harapan Buat Pertamina, Tapi Ada Kenyataan yang Bikin Gelisah
Pertamina dan anak perusahaannya, sebagai BUMN energi yang katanya terbesar di Asia Tenggara, itu ibarat urat nadi kedaulatan energi kita. Dengan dukungan penuh dari Pemerintah, harapan kita ke Pertamina itu tinggi sekali. Tapi, yuk kita lihat lebih dalam lagi.
1. Hilirisasi yang Masih Bolong: Malu Kita Masih Impor Banyak
Ini kenyataan pahit yang harus kita terima. Proyek hilirisasi minyak dan gas bumi Pertamina emang ada, tapi pelaksanaannya itu lamban, molor dari jadwal, dan PR-nya banyak sekali. Infonya, kapasitas kilang nasional kita saat ini cuma sekitar 1,1 juta barel per hari (BPH), sementara konsumsi BBM nasional terus naik, rata-rata sekitar 1,6 juta BPH. Artinya, kita masih kurang sekitar 500-700 ribu BPH yang harus ditutup dengan impor besar-besaran. Bayangin, berapa triliun potensi nilai tambah yang hilang sia-sia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) nunjukkin, impor minyak mentah dan produk olahan selalu jadi beban berat di neraca perdagangan. Tahun 2023 aja, nilainya mencapai lebih dari USD 30 miliar. Ini angka gede sekali yang terus nguras devisa dan bikin Rupiah kita tertekan.
Proyek-proyek besar kayak RDMP (Refinery Development Master Plan) Balikpapan dan GRR (Grass Root Refinery) Tuban emang sering digembar-gemborkan. Tapi, kenyataannya jauh dari harapan. RDMP Balikpapan Tahap I yang targetnya selesai 2019, baru bisa jalan penuh bertahap di 2025. Kilang Tuban, yang targetnya selesai 2026, sampai pertengahan 2025 masih berkutat di urusan lahan dan studi kelayakan.
Penundaan ini bukan cuma soal proyek mandek, tapi hilangnya potensi miliaran dolar buat ekonomi nasional. Ini ibarat gak amanah sama potensi kekayaan alam dan kesempatan emas kemandirian ekonomi.
Kenapa Pertamina, perusahaan energi raksasa dengan sumber daya melimpah, masih ngebiarin Indonesia jadi “pengemis” BBM dan produk petrokimia di tengah laut minyak dan gasnya sendiri? Ini gak bisa diterima, dan ngerusak citra kedaulatan energi kita di mata dunia.
Alasan klasik kayak “susah cari investor” atau “masalah lahan” itu udah basi. Para Komisaris dan Direksi Pertamina harus tanggung jawab dan nunjukkin komitmen nyata yang berani.
Biar makin ngebut, ini solusinya:
a. Gas pol pembangunan dan revitalisasi kilang: Pertamina harus punya target super ambisius buat swasembada BBM dan petrokimia dalam waktu maksimal 5-7 tahun. Ini butuh percepatan proyek RDMP dan GRR dengan target peningkatan kapasitas kilang jadi minimal 2 juta BPH. Lupakan cara kerja yang birokratis.
b. Bikin Satuan Tugas Khusus Hilirisasi Pertamina: Dengan kewenangan luar biasa, Satgas Hilirisasi ini bisa motong birokrasi, ngebutin perizinan, dan ngasih insentif agresif.
c. Libatin BPI Danantara: Secara penuh dan agresif, Danantara harus dilibatin buat nyari skema pembiayaan paling inovatif.
d. Fokus ke produk bernilai tinggi dan bangun klaster industri petrokimia hilir: Hilirisasi gak boleh berhenti di BBM atau LPG doang. Pertamina harus serius masuk ke industri petrokimia dasar sampai produk hilir yang lebih kompleks, kayak plastik ramah lingkungan, specialty chemicals, komponen baterai kendaraan listrik, atau bahkan hidrogen biru/hijau.
e. Klaster Industri Hilir: Ciptain klaster industri hilir terintegrasi yang bisa narik investor, dan dorong UMKM tumbuh bareng.
f. Integrasi hulu-hilir yang kuat, efisien, berbasis kinerja, dan serba digital tanpa toleransi: Optimalin integrasi antara anak perusahaan di sektor hulu (PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dan hilir (PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga).
g. Gunakan Teknologi Canggih: Manfaatin teknologi digital (IoT, AI, Big Data) buat efisiensi operasional. Gak ada lagi ego sektoral.
2. Ketahanan Energi Nasional: Dilema di Persimpangan Jalan Transisi Energi Global yang Mengancam
Ini kenyataan yang bikin sedih. Kita masih sangat tergantung sama energi fosil. Data Kementerian ESDM 2023 nunjukkin sekitar 88% pasokan energi primer masih dari minyak bumi, gas, dan batu bara. Padahal, potensi energi baru dan terbarukan (EBT) kita itu banyak sekali, kayak panas bumi (28 GW, terbesar kedua di dunia), surya (207 GW), dan hidro, tapi belum digarap optimal.
Kontribusi EBT dalam bauran energi nasional masih di bawah 15%, jauh sekali dari target 23% di 2025. Pemanfaatan panas bumi sampai 2023 baru sekitar 2,4 GW, atau kurang dari 10% dari total potensi. Kapasitas terpasang PLTS juga masih minim sekali. Proyek-proyek EBT Pertamina emang ada, kayak PLTP Kamojang atau Ulubelu, tapi skalanya masih terkesan “tambal sulam”.
Yang lebih membebani, subsidi energi fosil masih jadi beban APBN yang besar. Tahun 2022 saja mencapai Rp 551 triliun, setara 20% dari total APBN. Ini nunjukkin tingginya ketergantungan pada energi konvensional dan kegagalan diversifikasi yang efektif. Ini adalah pemborosan yang gak bertanggung jawab.
Apa Pertamina beneran serius sama transisi energi, atau ini cuma sekadar “greenwashing” dan usaha minimalis? Kenapa kita masih ketinggalan jauh dari negara lain kayak Vietnam atau Filipina dalam pengembangan EBT? Cara pikir yang masih terlalu “minyak dan gas” harus segera dirombak total dan diganti dengan visi “energi masa depan yang bersih dan berkelanjutan” yang progresif dan berani.
Udah saatnya Pertamina gak cuma fokus ke ngambil dan ngolah energi fosil, tapi juga jadi Pemimpin inovasi dan Penyedia solusi energi bersih yang komprehensif di Asia Tenggara. Kegagalan ini nunjukkin kurangnya keberanian dan rasa mendesak dari para pengambil keputusan. Ini ngegugurin amanah bangsa.
Biar energi kita cerah membara, ini solusinya:
a. Diversifikasi portofolio EBT skala besar yang revolusioner: Pertamina harus kembangin proyek EBT skala gigaton, bukan cuma megawatt, dengan target berani yang bisa ngegeser dominasi fosil secara signifikan dalam 10-15 tahun ke depan.
b. Panas Bumi paling depan: Panas bumi harus jadi ujung tombak. Alokasiin anggaran R&D dan investasi yang setara atau bahkan lebih besar dibanding proyek migas terbesar, dengan roadmap yang jelas. Bentuk Dana Transisi Energi Nasional.
c. Pengembangan infrastruktur EBT terintegrasi, cerdas, dan tahan banting: Bangun infrastruktur pendukung EBT secara komprehensif, termasuk smart grid, fasilitas penyimpanan energi (BESS), serta infrastruktur pengisian kendaraan listrik massal.
d. Pelopor smart grid: Pertamina harus jadi pelopor dalam ekosistem smart grid nasional, dan ngembangin infrastruktur Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).
e. Riset dan pengembangan inovasi agresif, kolaboratif, dan berorientasi komersial tanpa henti: Investasiin dana puluhan triliun Rupiah tiap tahun buat R&D di bidang EBT dan teknologi energi bersih. Gandeng Universitas Top Dunia dan startup inovatif. Pertamina harus punya pusat riset dan inovasi bertaraf internasional yang jadi rujukan global.
3. Tata Kelola dan Kinerja Keuangan: Transparansi Itu Kunci Kepercayaan Publik dan Bisnis Yang Tidak Ada Matinya
Ini kenyataan yang harus diakui. Pertamina, sebagai BUMN, sering disorot soal efisiensi operasional, proses pengadaan barang dan jasa, serta akuntabilitas. Meskipun nyatetin keuntungan cukup baik, efisiensi dan transparansi masih jadi PR besar dan penting.
Isu efisiensi dan dugaan penyimpangan sering muncul di laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau di Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR RI. BPK sering nemuin ketidakefisienan yang bikin biaya bengkak (cost overrun sampai 15-20%).
Rasio utang terhadap ekuitas dan biaya operasional per barel produksi masih perlu dioptimalin. Perusahaan minyak raksasa kayak Saudi Aramco punya lifting cost di bawah USD 5, sementara Pertamina masih di atas USD 10-12 per barel. Ini beda jauh sekali dan ngerugiin.
Kasus-kasus dugaan korupsi atau inefisiensi di anak perusahaan Pertamina juga sering muncul, ngerusak citra dan ngurangin kepercayaan publik, bahkan berpotensi ngerugiin negara triliunan Rupiah. Ini ibarat kanker yang ngerusak integritas BUMN dan ngehambat kemajuan bangsa.
Apa Pertamina beneran efisien, transparan, dan akuntabel, atau cuma kelihatan efisien di atas kertas? Kenapa masih sering muncul dugaan “mark-up” atau inefisiensi dalam pengadaan proyek-proyek penting yang ngehabisin triliunan Rupiah? Komisaris dan Direksi Pertamina harus proaktif mastiin penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang ketat.
Aparat Penegak Hukum (Kejaksaan, Polri, KPK) harus proaktif ngelakuin audit investigasi dan pengawasan forensik. Libatin PPATK buat ngelacak aliran dana mencurigakan secara real-time dan transparan. Kinerja keuangan yang “sehat” gak ada artinya kalau didasari praktik yang gak transparan atau koruptif. Pertamina harus jadi contoh GCG kelas dunia.
Untuk kinerja terpercaya, ini solusinya:
a. Naikkin efisiensi operasional ekstrem lewat digitalisasi total dan zero-based budgeting: Lakuin audit menyeluruh yang independen dan bersifat forensik di setiap lini bisnis. Terapin sistem digitalisasi end-to-end. Gunain Big Data Analytics dan Artificial Intelligence buat identifikasi inefisiensi. Targetin nurunin cost of production secara drastis. Terapin zero-based budgeting.
b. Transparansi dan akuntabilitas tanpa kompromi dan pakai teknologi paling canggih: Publikasiin laporan keuangan dan capaian proyek strategis secara detail, real-time, dan mudah diakses publik.
c. Pengawas Independen: Bentuk Komite Pengawas Independen yang kuat dari unsur masyarakat sipil, akademisi, dan pakar integritas. Mekanisme whistleblowing harus dilindungi secara ketat. Audit eksternal dilakuin oleh kantor akuntan publik kelas dunia yang dirotasi berkala.
d. Sinergi BUMN yang profitabel, transparan, berorientasi pasar, dan hindari distorsi: Kementerian BUMN dan BPI Danantara harus dorong sinergi yang lebih kuat antara Pertamina dengan BUMN lain, tapi dengan skema yang transparan, kompetitif, dan saling menguntungkan berbasis prinsip pasar yang sehat. Setiap transaksi dan proyek sinergi harus diaudit dan dipublikasiin secara terbuka.
Landasan Hukum dan Aturan: Kuatin Pondasi Percepatan Hilirisasi
Percepatan hilirisasi dan ketahanan energi nasional harus punya payung hukum yang kuat, fleksibel, dan saling mendukung. Beberapa aturan yang relevan perlu jadi perhatian serius, bahkan perlu direvisi secara drastis dan cepat:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas): Revisi total UU Migas biar jelas ada kewajiban hilirisasi yang lebih besar, ngasih insentif mantap, dan permudah perizinan proyek kilang dan petrokimia.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi): Bentuk undang-undang khusus EBT yang lebih progresif dan mengikat, yang bisa ngasih harga jual listrik (feed-in tariff) menarik, jaminan investasi jangka panjang, dan skema perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement) yang adil. Tunjuk Pertamina sebagai pemain utama dengan mandat dan insentif khusus.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi: Pastiin PP ini dorong alokasi gas buat industri dalam negeri dengan harga kompetitif. Revisi PP ini penting buat nambah pengawasan ketat.
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal): Kasih izin kilat (fast-track approval) dan insentif pajak khusus yang lebih menarik (tax holiday lebih panjang atau super deduction tax) buat proyek hilirisasi dan EBT skala besar Pertamina dan mitranya.
5. Peraturan Presiden (Perpres) terkait Percepatan Pembangunan Kilang Minyak di Indonesia (misalnya, Perpres No. 14 Tahun 2021): Perpres baru harus memuat sanksi tegas bagi siapa pun yang ngehambat proyek strategis. Bentuk tim pengawas independen dengan kewenangan eksekusi dan pelaporan langsung.
6. Peraturan terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), (misalnya, Permen Perindustrian No. 29 Tahun 2017): Bikin daftar produk dan jasa yang wajib punya TKDN tinggi buat proyek hilirisasi dan EBT, lalu kasih insentif pajak dan non-pajak yang kuat.
7. Peraturan Kementerian BUMN (misalnya, Permen BUMN No. PER-01/MBU/02/2021): Kementerian BUMN harus nyusun Key Performance Indicators (KPIs) yang lebih agresif, terukur, dan berdampak nyata buat Pertamina terkait hilirisasi dan EBT. Harus ada konsekuensi jelas kalau gak kecapai.
Pemerintah, lewat Kementerian terkait, harus berani evaluasi secara jujur, objektif, dan kalau perlu, revisi atau bikin regulasi baru yang progresif dan pro-investasi. Harmonisasi antar-regulasi juga jadi kunci biar gak ada tumpang tindih yang ngehambat. Hukum itu harus jadi fasilitator utama dan pelindung investasi nasional, bukan tumpukan kertas yang ngiket kemajuan dan inovasi.
Kesimpulan
Indonesia, melalui Pertamina, lagi ada di persimpangan krusial buat ngelakuin lompatan besar dalam hilirisasi dan ketahanan energi nasional. Gak ada lagi waktu buat lambat atau ragu.
Tiga poin penting jadi fokus utama Pertamina; Hilirisasi itu wajib bukan pilihan, Transisi energi dan strategi kedaulatan, dan Tata kelola bersih harus jadi fondasi mutlak.
Di bawah Kepemimpinan Pak Presiden Prabowo Subianto, ini adalah momen emas buat Pertamina bertransformasi jadi agen perubahan fundamental energi nasional. Dibutuhin visi yang tajam, keberanian eksekusi, serta kolaborasi tanpa ego sektoral dari semua pihak.
Ini bukan sekadar pandangan, tapi panggilan mendesak buat tindakan nyata, demi mewujudkan kemandirian energi yang kuat buat kemakmuran rakyat. (*)













