Swararkyat.com Jakarta
Pada Desember 2024, Insiden Islamofobia meningkat secara mengkhawatirkan di seluruh dunia, mendorong berbagai respons dan kampanye.Gedung Putih (AS) merilis strategi nasional pertama untuk memerangi Islamofobia, yang mencakup lebih dari 100 langkah untuk mengatasi kebencian, kekerasan, bias, dan diskriminasi terhadap Muslim dan Arab-Amerika. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan warisan Muslim dan Arab, meningkatkan keamanan, mengakomodasi praktik keagamaan, serta membangun solidaritas lintas komunitas. Namun, beberapa kritikus berpendapat bahwa rencana ini terlambat dan tidak cukup memadai, terutama dalam menangani diskriminasi sistemik dan konteks geopolitik yang lebih luas.
Selain itu, pada tahun 2024, insiden anti-Muslim dan anti-Arab di AS meningkat sebesar 7,4%, mencapai rekor tertinggi dengan 8.658 laporan pengaduan. Lonjakan ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya Islamofobia setelah perang Israel di Gaza dan protes di kampus-kampus. Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) melaporkan diskriminasi signifikan di sektor ketenagakerjaan (15,4%), imigrasi (14,8%), pendidikan (9,8%), dan kejahatan kebencian (7,5%).
Inggris Raya
Pada tahun 2024, Inggris mengalami peningkatan 73% dalam serangan Islamofobia, mencatat jumlah kasus tertinggi yang pernah dilaporkan oleh lembaga amal anti- kejahatan kebencian, Tell MAMA. Lonjakan ini dikaitkan dengan normalisasi retorika anti-Muslim dalam politik dan penyebaran teori konspirasi sayap kanan di media sosial. Lembaga ini juga mencatat peningkatan signifikan dalam kasus vandalisme, perilaku mengancam, serta kebencian terhadap politisi Muslim.
Namun, Tell MAMA kini menghadapi ancaman penutupan setelah pemerintah Inggris menghentikan pendanaannya, menimbulkan kekhawatiran tentang dukungan bagi korban Islamofobia di masa depan. Organisasi ini telah berperan penting dalam memantau dan membantu korban kejahatan kebencian anti-Muslim sejak didirikan pada tahun 2012.
Australia
Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa insiden Islamofobia di Australia meningkat lebih dari dua kali lipat dalam dua tahun terakhir, dengan 309 insiden fisik dan 366 insiden daring yang dilaporkan antara Januari 2023 hingga Desember 2024. Perempuan dan anak perempuan menjadi target utama, mengalami pelecehan fisik dan verbal, termasuk ancaman pemerkosaan serta serangan kekerasan. Hampir setengah dari insiden yang terjadi secara langsung terjadi di New South Wales, dengan lokasi umum meliputi jalanan, tempat kerja, sekolah, pusat perbelanjaan, universitas, dan transportasi umum. Laporan ini menyoroti dampak psikologis pada korban, yang mengalami trauma, kecemasan, dan ketakutan berada di ruang publik, menyebabkan beberapa orang berhenti bekerja atau menghindari keluar rumah.
Peringatan Internasional
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia, dengan tujuan menentang prasangka dan mempromosikan toleransi. Tanggal ini dipilih untuk memperingati serangan teror di masjid Christchurch, Selandia Baru, pada tahun 2019, yang menewaskan 51 orang saat shalat Jumat.
Perkembangan ini menegaskan perlunya strategi komprehensif dan upaya kolaboratif untuk menangani serta mengurangi Islamofobia di seluruh dunia.
Perkembangan Lainnya
1. Penunjukan Utusan Khusus OKI untuk Islamofobia
Pada Mei 2024, dalam KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-15 di Banjul, Duta Besar Turki Mehmet Paçacı ditunjuk sebagai Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal OKI untuk Islamofobia. Peran ini menegaskan komitmen OKI dalam menangani dan memerangi Islamofobia secara global.
Di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), langkah signifikan telah dilakukan untuk mengatasi Islamofobia. Pada tahun 2022, PBB menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia, menunjukkan sikap global melawan kebencian terhadap Muslim. Inisiatif ini terutama didukung oleh negara-negara seperti Turki, Pakistan, dan Malaysia.
Namun, hingga saat ini, PBB belum menunjuk utusan khusus untuk Islamofobia.2 Sementara itu, negara-negara tertentu telah mengambil langkah untuk menangani Islamofobia, meskipun peran yang setara dengan utusan khusus bervariasi. Sebagai contoh, Amerika Serikat meluncurkan strategi nasional pertamanya untuk memerangi Islamofobia pada Desember 2024, mencakup lebih dari 100 langkah untuk mengatasi
2 Berdasarkan pertemuan dan informasi informal, PBB akan mengangkat H.E. Mr. Miguel Angel Moratinos, UN Under-Secretary General / High Representative, United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) sebagai UN Special Envoy on Islamophobia.
kebencian, kekerasan, bias, dan diskriminasi terhadap Muslim dan Arab-Amerika. Meskipun strategi ini merupakan pendekatan yang komprehensif, langkah tersebut tidak mencakup penunjukan utusan khusus.
2. Negara dengan Tingkat Islamofobia Tertinggi
Islamofobia muncul dalam berbagai bentuk di berbagai wilayah, dipengaruhi oleh konteks lokal dan dinamika sosial-politik. Beberapa temuan utama meliputi:
Eropa
Sebuah survei pada tahun 2024 oleh Badan Hak Fundamental Uni Eropa mengungkapkan bahwa 47% Muslim di 13 negara anggota UE mengalami diskriminasi dalam lima tahun terakhir. Austria mencatat tingkat tertinggi, dengan 71% responden Muslim menghadapi diskriminasi, diikuti oleh Jerman dan Finlandia. Sebaliknya, Spanyol dan Italia melaporkan tingkat diskriminasi terhadap Muslim yang paling rendah.
Perancis dan Inggris Raya
Laporan OKI menyoroti bahwa Perancis dan Inggris telah mengalami peningkatan signifikan dalam aktivitas Islamofobia, terutama melalui kebijakan pemerintah yang tampak sejalan dengan kecenderungan sayap kanan.
India
Laporan yang sama dari OKI mengidentifikasi India sebagai negara dengan Islamofobia yang semakin intensif, diperparah oleh ketegangan yang sudah ada dan kebijakan yang berdampak negatif terhadap komunitas Muslim.
Amerika Serikat
Pada tahun 2024, insiden anti-Muslim dan anti-Arab di AS meningkat sebesar 7,4%, mencapai rekor tertinggi dengan 8.658 pengaduan. Lonjakan ini sebagian besar dipicu oleh meningkatnya Islamofobia akibat peristiwa geopolitik dan protes di kampus- kampus. ***
Ditulis oleh : Abdullah Alkatiri
Presidium Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI)
Ketua Umum Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI).