Opini  

Isu-isu Strategis Pangan Nasional beserta Solusinya.

Isu strategis pangan

Indonesia, sebagai negara agraris dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, masih menghadapi berbagai isu kompleks terkait ketahanan pangan. Beberapa permasalahan krusial yang perlu diatasi meliputi keterbatasan lahan pertanian, teknologi pertanian yang belum efisien, dampak perubahan iklim, tantangan sumber daya air, penggunaan pupuk kimia berlebihan, peredaran produk pangan tidak sehat, belum optimalnya keanekaragaman pangan lokal, masalah distribusi pangan, dan substitusi pangan pokok dari impor.

Keterbatasan lahan pertanian menjadi kendala serius akibat alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan industri. Teknologi pertanian yang belum modern juga mempengaruhi produktivitas. Di sisi lain Perubahan iklim ekstrem menyebabkan gagal panen dan banjir, sementara ketersediaan air bersih semakin menipis.

Hal krusial yang menjadi tantangan produksi tani adalah Penggunaan pupuk kimia berlebihan yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan. Selain itu Produk pangan ilegal yang tidak memenuhi standar kesehatan masih beredar, dan membahayakan konsumen.

Keanekaragaman pangan lokal belum dimanfaatkan secara optimal, padahal memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.

Selain itu Masalah distribusi pangan menyebabkan disparitas harga antar daerah, dan ketergantungan pada impor pangan pokok semakin meningkat. Pemerintah mesti mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi isu-isu tersebut.

Hal ini perlu dimulai dengan Program Regionalisasi Sistem Pangan bertujuan untuk mengembangkan sumber pangan lokal sesuai dengan potensi daerah masing-masing.

Selain itu optimasi Peningkatan anggaran ketahanan pangan perlu ketepatan untuk mendukung alokasi pada berbagai program inti. Hal lain yang perlu diperhatikan secara seksama subsidi bunga pinjaman yang diberikan kepada Perum Bulog dan ID FOOD untuk memperkuat stok pangan nasional dan menjaga stabilitas harga.

Selain upaya pemerintah, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis pangan di Indonesia, yaitu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi kunci untuk melindungi sektor pertanian dari dampak buruknya.

Sementara Promosi keragaman pangan dapat mengurangi ketergantungan pada satu jenis bahan pangan dan meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, juga perlu terus mengupayakan peningkatan produksi pertanian secara berkelanjutan untuk mendukung intensifikasi dan ekstensifikasi.

Terkait pengurangan pemborosan pangan di tingkat konsumen dan sepanjang rantai pasok juga sangat penting untuk memaksimalkan ketersediaan pangan. Akhirnya dengan penanganan yang komprehensif dan melibatkan seluruh elemen masyarakat, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dan berdaulat.

Namun diluar isu-isu strategis pangan nasional tersebut ada hal yang menjadi bagian dan tidak terpisahkan adalah dukungan program untuk peningkatan inovasi teknologi dan rekayasa bisnis pada rantai pasok dan distribusi logistik.

Hal ini penting mengingat dukungan program untuk peningkatan inovasi teknologi dan rekayasa bisnis pada rantai pasok dan distribusi logistik dalam mengatasi persoalan-persoalan di luar isu-isu strategis pangan nasional.

Inovasi Teknologi dan Rekayasa Bisnis saat ini menjadi Kunci untuk mencapai tingkat Efisiensi Rantai Pasok Pangan, karena diluar isu-isu strategis pangan nasional yang telah disebutkan, terdapat aspek krusial yang tak bisa terpisahkan, yaitu dukungan program untuk peningkatan inovasi teknologi dan rekayasa bisnis pada rantai pasok dan distribusi logistik. Kenapa Hal ini menjadi sangat penting ? mengingat kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam memastikan ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan pangan di Indonesia perlu penanganan secara optimal. Makna tambahan dalam penekanan optimal adalah mengatur model rantai pasok dalam kendali terbaik, bukan mengejar maksimal tetapi juga tidak perlu risi dalam garis minimize. Dan ini menempatkan rantai pasok pangan pada garis dan titik koordinat efisien dan efektif yang menjadi tulang punggung dari sistem ketahanan pangan yang kuat.

Inovasi teknologi, seperti Internet of Things (IoT), blockchain, dan kecerdasan buatan (AI), memiliki potensi besar untuk merevolusi cara kita memproduksi, memproses, mendistribusikan, dan mengkonsumsi pangan.

Teknologi IoT dapat digunakan untuk memantau kondisi tanaman, tanah, dan cuaca secara real-time, dan ini memungkinkan petani untuk mengambil keputusan yang lebih tepat dan meningkatkan produktivitas. Blockchain dapat meningkatkan transparansi dan ketertelusuran produk pangan, mengurangi risiko pemalsuan dan meningkatkan kepercayaan konsumen. Sementara itu artificial intelegence (AI) dapat digunakan untuk mengoptimalkan rute pengiriman, mengurangi biaya logistik, dan meminimalkan Food loss and waste.

Selain inovasi teknologi, rekayasa bisnis juga memegang peranan penting, di mana model-model bisnis baru yang lebih efisien dan berkelanjutan perlu dikembangkan, seperti kemitraan antara petani dan pelaku industri, pengembangan pasar online untuk produk pertanian, dan penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dalam pengelolaan limbah pertanian.

Dukungan program dari pemerintah dan pihak terkait sangat dibutuhkan untuk mendorong inovasi teknologi dan rekayasa bisnis di sektor pangan, di tambah dengan program-program pelatihan dan pendampingan bagi petani dan pelaku UMKM, karena ini dapat membantu mereka mengadopsi teknologi baru dan menerapkan model bisnis yang lebih baik.

Sementara itu Investasi dalam infrastruktur logistik, seperti jalan, pelabuhan, dan gudang penyimpanan, juga penting untuk memastikan kelancaran distribusi pangan.

Penguatan ekosistem bisnis klaster.

Penerapan dengan inovasi teknologi dan rekayasa bisnis seperti dipaparkan di atas, belum tentu utuh dapat diterapkan saat ini mengingat berbagai faktor yang belum bisa terjangkau untuk di adopsi, tetapi paling tidak kita mulai perlu menerapkan secara masif model ekosistem bisnis klaster pangan, misalkan ekosistem komunitas usaha singkong.

Ekosistem komunitas usaha singkong akan menggabungkan semua usaha turunan nya untuk masuk didalamnya.

Ekosistem bisnis klaster dengan kasus singkong menjadi ekosistem komunitas usaha tani singkong, akan menjadi salah satu habitat dan tradisi yang mampu mendukung pembangunan Ketahanan Pangan.

Dengan memulai uji terapan ini paling tidak bisa Belajar menerapkan Inovasi teknologi dan rekayasa bisnis secara holistik, hal ini menjadi krusial untuk meningkatkan efisiensi rantai pasok pangan. Meskipun perlu disadari akan ada kendala dan tidak mudah untuk melakukan adopsi teknologi canggih tidak secara utuh.

Oleh karena itu, sembari terus mendorong inovasi, kita perlu mencari solusi yang lebih adaptif dan dapat segera diimplementasikan. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah pengembangan ekosistem bisnis klaster pangan, seperti yang dicontohkan di atas.

Ekosistem komunitas usaha singkong akan menjadi model yang menarik karena mengintegrasikan seluruh rantai nilai singkong, mulai dari petani, pengolah, pedagang, hingga konsumen, dalam sebuah wadah yang saling terhubung dan mendukung.

Dalam ekosistem ini, petani mendapatkan akses terhadap bibit unggul, teknologi pertanian yang lebih baik, dan pasar yang lebih luas. Pengolah singkong dapat memperoleh bahan baku berkualitas dengan harga yang stabil, serta dukungan dalam pengembangan produk dan pemasaran.

Pedagang dan konsumen pun diuntungkan dengan ketersediaan produk singkong yang beragam dan berkualitas.

Dan ini menjadi Lebih dari sekadar transaksi jual beli, ekosistem ini mendorong kolaborasi dan sinergi antar pelaku usaha. Petani dapat belajar dari pengolah tentang standar kualitas dan permintaan pasar, sementara pengolah dapat memberikan pendampingan teknis kepada petani. Mereka secara Bersama-sama, dapat menghadapi tantangan seperti fluktuasi harga, perubahan iklim, dan persaingan pasar.

Penerapan ekosistem bisnis klaster pangan tidak hanya bermanfaat bagi pelaku usaha, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan nasional. Dengan meningkatkan produktivitas dan efisiensi rantai pasok, ekosistem ini dapat memastikan ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau bagi masyarakat.

Selain itu, diversifikasi pangan melalui pengembangan berbagai produk turunan singkong dapat mengurangi ketergantungan pada beras sebagai sumber karbohidrat utama.

Tentunya, membangun ekosistem bisnis klaster pangan bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini Dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga keuangan, perguruan tinggi, hingga masyarakat.

Pemerintah dapat memberikan insentif dan kemudahan perizinan bagi pelaku usaha yang bergabung dalam ekosistem. Lembaga keuangan dapat menyediakan akses pembiayaan yang terjangkau bagi petani dan UMKM. Selain itu Perguruan tinggi dapat melakukan penelitian dan pengembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk singkong.

Namun, yang terpenting adalah kesadaran dan kemauan dari para pelaku usaha untuk berkolaborasi dan membangun ekosistem yang kuat. Dengan semangat gotong royong dan inovasi, kita dapat menciptakan ekosistem bisnis klaster pangan yang berdaya saing dan berkelanjutan, serta berkontribusi pada terwujudnya ketahanan pangan nasional.

Kendala modal dan pembiayaan.

Mengatasi Kendala Modal dan Pembiayaan dalam Ekosistem Bisnis Klaster dapat dilakukan dengan penerapan Supply Chain Finance (SCF) Ekosistem bisnis klaster, seperti yang dicontohkan oleh komunitas usaha singkong, ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan daya saing UMKM dan ketahanan pangan daerah.

Namun, salah satu kendala utama yang sering menghambat perkembangan ekosistem ini adalah keterbatasan modal dan akses pembiayaan bagi para anggotanya. Dalam ekosistem bisnis klaster, UMKM yang bergerak di berbagai tahapan rantai nilai, mulai dari petani, pengolah, pedagang, hingga penyedia input produksi, seringkali menghadapi masalah cash flow akibat siklus produksi yang panjang, pembayaran yang tertunda, atau kesulitan mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan konvensional.

Padahal, ketersediaan modal yang cukup sangat penting bagi mereka untuk meningkatkan kapasitas produksi, mengembangkan inovasi produk, memperluas jangkauan pasar, dan memperkuat jaringan bisnis.

Supply chain finance (SCF) dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi kendala modal dan pembiayaan dalam ekosistem bisnis klaster. SCF merupakan suatu set solusi dan teknik pembiayaan yang dirancang untuk mengoptimalkan arus kas dan modal kerja bagi seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok.

Dalam konteks ekosistem bisnis klaster, SCF dapat membantu UMKM mendapatkan akses pembiayaan yang lebih mudah dan murah cukup menggunakan portofolio dan tanpa menggunakan jaminan colateral rumit tetapi cukup dengan memanfaatkan transaksi dalam rantai nilai klaster sebagai jaminannya.

Beberapa model SCF yang relevan untuk diterapkan dalam ekosistem bisnis klaster diantaranya dengan

Pertama dengan melakukan Factoring dimana UMKM dapat menjual piutang dagang mereka kepada lembaga keuangan dengan harga diskon. Hal ini memungkinkan mereka mendapatkan dana tunai lebih cepat untuk membiayai operasional bisnis.

Kedua, dengan Reverse factoring di mana Perusahaan besar atau anchor firm yang menjadi mitra bisnis dalam klaster itu setuju untuk membayar lebih awal kepada lembaga keuangan atas nama UMKM yang menjadi pemasoknya. Hal ini memberikan kepastian pembayaran bagi UMKM dan meningkatkan likuiditas mereka.

Ketiga adalah Inventory financing di mana UMKM dapat menggunakan inventaris mereka sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan. Hal ini memungkinkan mereka meningkatkan stok bahan baku atau produk jadi untuk memenuhi permintaan pasar.

Penerapan SCF dalam ekosistem bisnis klaster tidak hanya memberikan manfaat bagi UMKM, tetapi juga bagi pihak-pihak lain yang terlibat. Perusahaan besar atau anchor firm dapat memperkuat rantai pasok mereka, meningkatkan loyalitas pemasok, dan mengurangi risiko gagal bayar. Sedangkan lembaga keuangan juga diuntungkan dengan adanya peluang bisnis baru dan potensi keuntungan dari transaksi SCF.

Namun, implementasi SCF dalam ekosistem bisnis klaster memerlukan beberapa prasyarat, yaitu pertama, perlu adanya koordinasi dan kolaborasi yang baik antar anggota klaster, termasuk petani, pengolah, pedagang, dan penyedia input produksi.

Kedua, diperlukan sistem informasi dan teknologi yang terintegrasi untuk memfasilitasi pertukaran data dan informasi terkait transaksi dalam rantai nilai klaster. Ketiga, dukungan regulasi dan kebijakan yang kondusif dari pemerintah juga penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan menarik bagi investor dan lembaga keuangan.

Dengan penerapan SCF yang efektif, diharapkan ekosistem bisnis klaster dapat berkembang lebih pesat, meningkatkan daya saing UMKM, menciptakan lapangan kerja, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.

Belajar dari komunitas cikartani.

Komunitas cikartani berada dalam binaan PT. PPI, dan PT. Cbl serta KPSBU Lembang Bandung Utara, komunitas ini masih muda dan belum genap 10 sepuluh, tetapi ekosistem bisnis komunitas nya pada klaster sapi perah, telah melibatkan para peternak setempat untuk ambil peran sesuai dengan kapasitas minat dan bakat serta dan dedikasinya.

Komunitas ini membentang jalur mulai dari usaha penyedia pakan, usaha pembibitan sapi unggul, usaha pembesaran sapi bunting, usaha ternak sapi perah dan usaha sapi potong, termasuk usaha jongkok atau lapak daging, kesemua itu masuk dan tergabung serta menggerakkan roda organisasi nya masing-masing secara terpadu dalam komandan kebergantung dan interkoneksi untuk mendapatkan nilai tambah dan manfaat untuk masyarakat sekitar.

Mengawali nya dengan usaha rumah potong hewan (RPH) yang bermitra dengan penyedia sapi potong, kemudian dilanjutkan bermitra dengan pedagang daging sapi di pasar, beranjak masuk menempatkan masyarakat sekitar yang berminat usaha penyedia pakan, kemudian muncul ide pengembangan bibit sapi dengan dua keuntungan yaitu mengawinkan sapi Belgian blue dan induk sapi Frisian Holstein.

Hasilnya anak sapi betina sebagai bakalan sapi perah sedangkan anak sapi jantan menjadi bakalan sapi potong yang unggul. Dari sini muncul usaha sapi pembibitan yang diberikan kepada masyarakat setempat dan menjadi usaha pembibitan sapi sampai usia lepas susu (empat bulan).

Di atas usia itu, kini mulai berkembang pada masyarakat yang berminat mengelola usaha sapi pembesaran mulai usia sapi lepas susu sampai menjadi bunting, dan sapi bunting dilepaskan kepada usaha sapi perah.

Ujung setelah apkir akan masuk pada usaha sapi penggemukan untuk kembali dilepaskan ke rumah potong hewan, termasuk sapi jantan pun demikian.

Semua titik unit usaha terbangun cara kerja profesional dan interkoneksi antar unit usaha dalam model Ekosistem Komunitas Usaha sapi perah cikartani ini menerapkan supply chain finance termasuk koperasi KPSBU dan lembaga keuangan lain mendapatkan keuntungan, karena kelancaran mendapatkan susu sapi dan pengembalian modal yang baik, selain transaksi dan cash flow serta penjaminan usaha tanpa ribet dengan jaminan collateral, karena model itu sudah menjadi portofolio yang bonafide.

 

Penulis Dadan K. Ramdan adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat.