Oleh: Ryo Disastro
“Kita pamit ya. Kita sekeluarga mau pindah ke Amerika.”
Kami sedang duduk di sebuah kedai kopi di Jakarta, membahas segala hal—dari politik yang makin absurd, harga-harga yang terus merangkak naik, hingga impian-impian yang rasanya makin jauh dari kenyataan, dan tibalah kata-kata itu terlontar dari seorang teman.
Tagar #KaburAjaDulu yang belakangan ramai di media sosial ternyata bukan sekadar lelucon belaka. Ini adalah refleksi dari kekecewaan yang mendalam. Anak-anak muda, terutama dari generasi milenial dan Gen Z, mulai merasa bahwa Indonesia tidak lagi memberikan harapan yang cukup bagi mereka.
Ekonomi yang lesu, kebijakan pemerintah yang kerap tidak berpihak pada rakyat, serta sulitnya mobilitas sosial membuat banyak dari mereka berpikir: kenapa tidak mencoba mencari peruntungan di luar negeri?
Menurut pemantauan Drone Emprit, tagar ini adalah reaksi warganet terhadap berbagai isu yang mendera negeri ini. Mereka menyaksikan bagaimana kebijakan yang kurang tepat membuat harga kebutuhan pokok melonjak, hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, serta bagaimana politik hanya dikuasai segelintir elite yang mewariskan kekuasaan secara turun-temurun. Maka, tak heran jika opsi untuk pergi terasa lebih menarik ketimbang bertahan dalam ketidakpastian.
Tentu saja, eksodus anak muda ini tidak selamanya negatif. Lihat saja komunitas Tionghoa di Indonesia. Dulu, banyak dari mereka dipinggirkan, dipersulit, bahkan ada yang memilih meninggalkan Indonesia. Namun, apa yang terjadi sekarang? Mereka justru menjadi salah satu penggerak utama ekonomi Indonesia.
Artinya, ketika seseorang pergi ke luar negeri, itu bukan berarti mereka berhenti menjadi bagian dari bangsanya. Mereka hanya mencari cara lain untuk bertahan, berkembang, dan mungkin suatu hari nanti kembali dengan lebih kuat.
Pemerintah seharusnya tidak tinggal diam melihat tren ini. Jika banyak anak muda yang ingin pergi, kenapa tidak didukung dengan cara yang lebih sistematis? Jepang, misalnya, punya diaspora Nikkei yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Menurut Asosiasi Nikkei dan Bangsa Jepang di Luar Negeri, ada sekitar 2,5 juta Nikkei yang kini tinggal di berbagai negara, dengan komunitas besar di Brasil dan Amerika Serikat. Bahkan, Peru pernah memiliki presiden keturunan Jepang, Alberto Fujimori. Jika nenek moyangnya tidak beremigrasi, mungkinkah ada keturunannya yang memimpin sebuah negara?
Bayangkan jika Indonesia bisa memanfaatkan tren ini untuk melahirkan generasi diaspora yang unggul. Pemerintah bisa mendukung dengan pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan global, membuka jalur tenaga kerja ke luar negeri dengan lebih aman dan terstruktur, serta memberikan akses permodalan bagi diaspora yang ingin berwirausaha di negara lain.
Dalam 20-30 tahun mendatang, bukan tidak mungkin kita memiliki satu generasi diaspora yang bisa berbicara di pentas dunia—bukan sekadar sebagai pekerja, tetapi sebagai pemimpin, inovator, dan pengusaha yang membawa nama Indonesia ke tingkat global.
Jadi, bagi mereka yang ingin pergi, jangan merasa bersalah. Kadang, untuk menciptakan perubahan besar, kita harus mengambil langkah yang tidak biasa. Mungkin saja, di luar sana, ada peluang yang lebih besar menanti. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, salah satu keturunan kita bisa menjadi pemimpin di negeri yang baru. Kalau di sini sulit jadi presiden tanpa dinasti politik, mungkin di tempat lain ceritanya bisa berbeda.
Maka, jika ada yang bilang, #kaburajadulu mungkin itu bukan sekadar lari dari kenyataan, tetapi mencari jalan lain untuk menang.(*)