Ketahanan Pangan, Kebijakan Pertanian, dan Tantangan Sistem Logistik didalam GWA

Beberapa pekan yang lalu saya menangkap sebuah diskusi menarik dalam percakapan group WhatsApp agribisnis dan agroindustri, Dalam percakapan tersebut, kita melihat sejumlah pendapat yang saling bertukar fikiran tentang kebijakan pertanian, ketahanan pangan, dan upaya pemerintah dalam mengelola industri pangan. Pembicara utama, yang dikenal dengan nama Cuncun, seorang petani dari Aceh dan juga Ketua Bidang PAJALE DPP HKTI, memberikan kritik tajam terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Menteri Pertanian dan upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas pertanian serta ketahanan pangan di Indonesia.

Cuncun menyatakan bahwa program pemerintah seperti pembukaan sawah food estate yang ditargetkan memiliki produktivitas 7 ton per hektar sangat berlebihan, mengingat kenyataan di lapangan.

Ia mengkritik bahwa angka tersebut tidak realistis dan akan menyebabkan pemborosan biaya dan kesulitan dalam pelaksanaannya. Dalam pandangannya, angka produktivitas yang lebih realistis untuk sawah yang baru dicetak adalah sekitar 3 ton per hektar, yang meski lebih rendah, masih dianggap sebagai pencapaian yang patut dihargai jika dapat bertahan selama lima tahun masa pemerintahan.

Di sisi lain, Cuncun juga menyoroti kesalahan dalam sistem pendapatan petani. Ia menganggap bahwa meskipun ada Brigade Tanam yang bekerja dengan upah yang kecil, mereka masih bertahan dengan pendapatan sekitar 2 hingga 3 juta per bulan.

Menurutnya, meski jumlah tersebut jauh dari yang diharapkan, setidaknya program ini membantu menjaga agar para petani tidak meninggalkan sektor pertanian dan terus berproduksi. Cuncun menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada pengelolaan sektor pertanian dengan lebih realistis, menghindari “bullshit” atau klaim yang tidak didukung oleh fakta nyata di lapangan.

Selain kritik terhadap kebijakan pertanian, Cuncun juga memberikan masukan terkait kebijakan pengelolaan ketahanan pangan yang melibatkan Lumbung Desa Modern (LDM).

Ia menyarankan agar setiap desa yang mayoritas masyarakatnya penghasil padi dapat memiliki Lumbung Desa sebagai cadangan pangan.

Menurutnya, untuk membuat LDM berhasil, selain harus ada dana yang cukup, setiap desa juga perlu memiliki fasilitas pengeringan yang tepat agar kualitas gabah tetap terjaga.

Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan LDM agar tidak merugikan pemerintah atau masyarakat. Dalam hal ini, Cuncun menyarankan agar sistem jual beli diterapkan daripada peminjaman, dengan harga yang jelas dan transparan.

Namun, dalam hal ini, beberapa peserta diskusi, termasuk Prof. Pantjar, menganggap bahwa LDM bisa dianggap redundant karena sudah ada instansi seperti Bulog yang menangani pengelolaan cadangan pangan.

Menurut Prof. Pantjar, stabilitas harga pangan lebih penting untuk memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan, dan intervensi pemerintah dalam hal ini lebih mengarah pada perbaikan sistem yang sudah ada, bukan menciptakan sistem baru yang bisa membebani sumber daya yang terbatas.

Cuncun juga memperlihatkan ketidaksepakatan terhadap pengelolaan sektor ketahanan pangan yang menurutnya terlalu banyak campur tangan dari pemerintah pusat tanpa adanya dukungan yang memadai di tingkat daerah. Ia menyoroti bahwa meski Bulog memiliki gudang di hampir seluruh kabupaten, logistik pangan di tingkat desa tetap menjadi tantangan besar yang belum banyak tersentuh.

Kekhawatiran lain yang muncul dalam percakapan ini adalah dampak negatif dari upaya intervensi pemerintah dalam perdagangan beras, yang dianggap justru menciptakan kerugian negara yang signifikan. Cuncun memberikan perhitungan kerugian yang mungkin terjadi akibat operasional rekorasi Bulog yang mengimpor beras dengan harga di bawah harga pasar. Ia memperkirakan kerugian negara bisa mencapai triliunan rupiah jika kebijakan ini terus berlanjut tanpa perhitungan yang matang.

Secara keseluruhan, percakapan ini mencerminkan kecemasan tentang pengelolaan sektor pertanian dan ketahanan pangan yang masih jauh dari harapan.

Cuncun menekankan pentingnya kebijakan yang lebih berbasis pada kenyataan di lapangan, yang melibatkan para petani dan pengusaha dengan transparansi serta akuntabilitas. Kritikan terhadap kebijakan yang terkesan hanya “mengada-ada” dan tidak realistis memberikan gambaran tentang betapa sulitnya mengelola sektor pertanian di Indonesia, yang masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan ekonomi.

 

Oleh Dadan K Ramdan adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat