Gerakan Koperasi Merah Putih, yang mengusung kebangkitan pangan nasional melalui komoditas strategis seperti beras, daging, dan lainnya, patut diapresiasi sebagai upaya meningkatkan ketahanan pangan. Namun, di balik optimisme tersebut, terdapat sejumlah tantangan kritis yang perlu diurai agar kebijakan ini tidak terjebak dalam romantisme semata, melainkan berbasis data, inklusivitas, dan keberlanjutan.
Kebijakan pangan Indonesia masih terjebak dalam paradigma rice-centric, di mana beras dianggap sebagai penopang utama ketahanan pangan. Padahal, menurut Bustanul Arifin dalam Ekonomi Pangan Indonesia (2020), kebijakan ini justru memperparah ketergantungan impor saat produksi dalam negeri gagal memenuhi target. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan, impor beras Indonesia pada 2022 mencapai 450 ribu ton, meski produksi domestik diklaim surplus. Fokus pada intensifikasi beras berisiko mengabaikan diversifikasi pangan lokal, seperti sagu, jagung, atau sorgum, yang justru lebih adaptif terhadap perubahan iklim. FAO dalam The State of Food Security and Nutrition in the World (2022) menegaskan, diversifikasi pangan adalah kunci ketahanan pangan di tengah krisis iklim.
Di sisi lain, peningkatan produksi daging sebagai bagian dari program Koperasi Merah Putih juga perlu dikritisi. Laporan World Resources Institute (2021) menyebutkan, 34% emisi gas rumah kaca sektor pertanian global berasal dari peternakan. Di Indonesia, perluasan peternakan sapi kerap berkaitan dengan deforestasi, seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan dan Sumatra Jurnal Forest Policy and Economics, (2020). Jika tidak diiringi dengan regulasi lingkungan yang ketat, kebijakan ini berpotensi mengorbankan ekosistem demi capaian produksi jangka pendek. Media Mongabay (2023) melaporkan, alih fungsi hutan untuk peternakan masih marak terjadi, meski pemerintah mengklaim komitmen pada Net Zero Emission 2060.
Tantangan lain adalah sejauh mana Koperasi Merah Putih mampu memberdayakan petani kecil. Penelitian Hidayat et al. dalam Journal of Rural Development (2022) mengungkap, 65% koperasi pertanian di Indonesia gagal meningkatkan kesejahteraan petani karena dominasi elit lokal dan minimnya akses pasar. Di Jawa Barat, misalnya, banyak petani beras skala kecil justru terjerat utang akibat biaya pupuk dan alat pertanian yang tinggi (Kompas, 2023). Jika Koperasi Merah Putih tidak disertai pendampingan teknis dan perlindungan harga, ia hanya akan menjadi proyek mercusuar yang menguntungkan segelintir pihak.
Program intensifikasi pertanian Koperasi Merah Putih juga berpotensi memicu ketergantungan pada pupuk kimia, yang dalam jangka panjang merusak kesuburan tanah. Studi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2021) menunjukkan, 72% lahan pertanian di Jawa mengalami penurunan produktivitas akibat penggunaan pupuk anorganik berlebihan. Padahal, gerakan pertanian organik berbasis kearifan lokal—seperti yang dijalankan komunitas Petani Mandiri di Yogyakarta—telah membuktikan peningkatan produktivitas tanpa merusak lingkungan (Tempo, 2022). Sayangnya, model ini jarang mendapat perhatian dalam kebijakan makro.
Daripada fokus pada komoditas konvensional, Koperasi Merah Putih seharusnya menjadi pionir dalam regenerasi petani muda, adopsi teknologi hijau, dan pemberdayaan pangan lokal. Data BPS (2023) mencatat, hanya 8% petani Indonesia berusia di bawah 35 tahun. Padahal, penelitian IPB (2022) membuktikan, petani muda lebih terbuka pada teknologi pertanian presisi. Sistem precision farming dan biopestisida bisa mengurangi limbah kimia, sebagaimana sukses diuji coba di Sukabumi Koran Sindo, (2023). Provinsi Papua bisa menjadi contoh dengan pengembangan sagu sebagai alternatif beras Media Indonesia, (2022).
Koperasi Merah Putih harus dikawal agar tidak sekadar menjadi alat politik pencitraan, tetapi benar-benar membumi. Kebijakan pangan nasional perlu belajar dari kegagalan masa lalu: beras bukan satu-satunya jawaban, petani kecil harus jadi subjek, dan keberlanjutan ekologi adalah harga mati. Seperti diingatkan oleh Vandana Shiva dalam Soil Not Oil (2008): “Ketahanan pangan bukan soal produksi massal, tetapi tentang keadilan ekologis dan sosial.”
Dadan K Ramdan, Penulis adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat.