Opini  

MASYUMI, PNI, dan SOSIALIS: Sejarah Kontemporer Lahirnya Laskar Hizbullah, Napindo dan Pesindo dalam Mempertahankan Indonesia Merdeka

Oleh : Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum).

Pendahuluan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menandai titik balik sejarah bangsa. Namun, kemerdekaan ini segera menghadapi ancaman konkret: kembalinya kekuatan kolonial Belanda yang menumpang pada Sekutu (Allied Forces) melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Dalam situasi genting ini, negara muda Indonesia dihadapkan pada dilema: bagaimana mempertahankan kemerdekaan dengan sumber daya militer yang nyaris nihil, tanpa struktur tentara reguler yang mapan?

Dalam kondisi ini, terjadi apa yang dalam kajian social movement theory disebut sebagai “mobilisasi sumber daya” (McCarthy & Zald, 1977), di mana kekuatan sosial, politik, dan ideologis rakyat diorganisasi menjadi kekuatan militer non-formal. Partai-partai politik yang baru saja dilegalkan pasca-kemerdekaan—seperti Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Sosialis—tidak hanya berfungsi sebagai wahana aspirasi politik, tetapi juga menjadi pusat mobilisasi kekuatan bersenjata melalui pembentukan laskar-laskar rakyat.

Laskar Hizbullah (dibentuk Masyumi), Napindo (kelompok nasionalis PNI), dan Pesindo (kelompok pergerakan sosialis) bukan hanya fenomena militer, tetapi juga ekspresi ideologi yang terartikulasikan dalam bentuk paramiliter. Mereka lahir dari rahim politik massa, menggabungkan semangat perlawanan rakyat, militansi ideologis, dan kebutuhan praktis mempertahankan republik. Fenomena ini selaras dengan analisis Charles Tilly (1978) bahwa gerakan kolektif dalam kondisi revolusioner cenderung menghasilkan struktur militer informal sebagai respon atas lemahnya kapasitas negara.

Data sejarah menunjukkan bahwa hingga akhir 1945, terdapat lebih dari 300 laskar rakyat dengan afiliasi ideologi, etnis, dan wilayah yang beragam (Nasution, 1977). Namun dari sekian banyak laskar, Hizbullah, Napindo, dan Pesindo menjadi tiga kekuatan yang paling menonjol karena keterkaitannya langsung dengan kekuatan politik nasional. Laskar-laskar ini memainkan peran penting dalam pertempuran awal mempertahankan kemerdekaan, dari Perang Medan Area, Bandung Lautan Api, pertempuran Ambarawa, hingga pertempuran Surabaya 10 November 1945, dan seterusnya.

Namun, keberadaan laskar berbasis partai ini juga memunculkan kompleksitas politik-militer. Integrasi mereka ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai embrio Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak hanya bersifat teknis-militer, tetapi juga politis-ideologis. Bagaimana negara yang baru berdiri mampu menyatukan kekuatan bersenjata yang plural, berideologi beragam, tanpa kehilangan otoritas sentral? Inilah pertanyaan mendasar yang membayangi proses transformasi laskar menjadi tentara nasional.

Oleh karena itu, artikel ini hendak mengulas bagaimana Masyumi, PNI, dan Sosialis (P. Murba, PSI & PKI), melalui pembentukan Laskar Hizbullah, Napindo, dan Pesindo, tidak hanya berkontribusi dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga dalam pembentukan institusi militer nasional. Analisis ini menempatkan peran laskar bukan sekadar pelengkap sejarah, melainkan sebagai elemen penting dalam dinamika politik, ideologi, dan militer Indonesia pada era revolusi fisik.

Masyumi dan Laskar Hizbullah

Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) didirikan sebagai wadah politik umat Islam Indonesia. Dalam situasi revolusi fisik, Masyumi membentuk Laskar Hizbullah sebagai sayap militer. Tokoh Laskar Hizbullah yakni KH. Zainul Arifin, ada tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam Laskar Hizbullah, seperti Muhammad Roem (wakil pemimpin), KH. Mas Mansyur (komandan pelatihan), dan Prawoto Mangkusasmito (wakil komandan pelatihan). Laskar ini terdiri dari para santri dan pemuda dan mahasiswa Islam yang sebelumnya telah mendapatkan pelatihan militer di bawah Jepang (heiho dan seinen kurenshu). Hizbullah tampil sebagai kekuatan milisi Islam yang berperan di garis depan pertempuran, terutama di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

  • Motivasi ideologis Hizbullah bertumpu pada “jihad fi sabilillah”, di mana mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilihat sebagai bagian dari kewajiban agama. Dalam beberapa pertempuran penting seperti di Medan Area, Tapanuli Selatan, Bukittinggi, Nanda Aceh, Garut, Tasikmalaya, dan Ambarawa, Hizbullah menjadi motor perlawanan rakyat terhadap agresi Belanda.

PNI dan Napindo

Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai representasi nasionalisme sekuler juga tak tinggal diam. PNI mendirikan Napindo (Nasionalis Pelopor Indonesia) sebagai bentuk mobilisasi kekuatan militer non-formal dari para kader nasionalis. Tokoh sentral Napindo adalah Soekarno dan Hatta (PNI). Napindo berperan aktif di Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengisi kekosongan ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) masih dalam proses pembentukan dan konsolidasi.

Napindo merepresentasikan semangat nasionalisme radikal: kemerdekaan adalah harga mati. Mereka terlibat dalam pertempuran lokal melawan pasukan sekutu dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration), juga dalam menegakkan kontrol republik di wilayah-wilayah rawan.
Perang di garis depan pertempuran, terutama di Medan, Deli Serdang, Tapanuli, Tanah Karo, Surabaya dan Semarang, dan seterusnya.

Sosialis dan Pesindo

Kelompok sosialis, yang dipimpin tokoh-tokoh seperti Amir Sjarifuddin, Sukarni Kartodiwirjo, Menteri.
Dahlan Djambek dan Wikana, memobilisasi Pesindo (Pergerakan Sosialis Indonesia) sebagai kekuatan bersenjata. Pesindo lahir dari tradisi gerakan kiri yang progresif, menggabungkan semangat anti-kolonialisme dengan ide sosialisme. Pesindo aktif dalam pertempuran perkotaan, sabotase, dan gerilya, terutama di wilayah Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pesindo tak hanya bergerak dalam aspek militer, tetapi juga politik, menjadi kekuatan penting dalam peta koalisi-ketegangan politik republik awal. Mereka mendukung kebijakan pemerintah dalam mempertahankan republik, namun kelak terlibat dalam dinamika internal hingga menjadi bagian penting dalam Peristiwa Madiun 1948.

Hizbullah, Napindo, dan Pesindo: Laskar Bermetamorfosa Menjadi TKR dan TNI

Pada perkembangan berikutnya, seiring konsolidasi kekuatan bersenjata nasional, ketiga laskar ini tidak bisa berdiri sendiri. Pemerintah melalui maklumat dan kebijakan militer mengintegrasikan berbagai laskar rakyat ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada akhir 1945. Laskar Hizbullah, Napindo, dan Pesindo mengalami transformasi struktural: dari organisasi paramiliter berbasis ideologi-partai menjadi bagian dari institusi tentara resmi republik.

Proses integrasi ini tidak selalu mudah. Ada resistensi internal, konflik kepentingan, bahkan benturan di lapangan antara laskar dengan komando militer resmi. Namun, pada akhirnya integrasi ini menjadi dasar pembentukan Tentara Republik Indonesia (TRI) yang kelak bermetamorfosis menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dengan meleburnya berbagai laskar, termasuk Hizbullah, Napindo, dan Pesindo, Indonesia memiliki satu kekuatan bersenjata nasional yang lebih terpusat dan profesional dalam menghadapi agresi militer Belanda.

Sinergi Dan Ketegangan Dalam Perspektif Mempertahankan Indonesia Merdeka.

Keberadaan Laskar Hizbullah, Napindo, dan Pesindo bukan hanya mencerminkan keberagaman ideologi dalam perjuangan bersenjata, tetapi juga memunculkan relasi sinergis sekaligus tegang di antara kekuatan-kekuatan politik yang mendasarinya. Sinergi muncul ketika ketiga laskar ini bersatu dalam menghadapi ancaman eksternal, yakni agresi militer Belanda yang didukung Sekutu. Di berbagai medan pertempuran seperti Surabaya, Ambarawa, dan Medan Area, aliansi taktis antara berbagai laskar menjadi kunci mempertahankan wilayah republik.

Namun, di balik sinergi itu, ketegangan ideologis dan kepentingan politik mulai muncul, terutama dalam perebutan pengaruh militer dan politik lokal. Menurut analisis conflict theory (Coser, 1956), konflik dalam situasi ini bersifat “realistis”—yakni perebutan sumber daya kekuasaan—dan “non-realistis” yang berakar dari perbedaan ideologi dan identitas kelompok.

Data historis mencatat beberapa insiden bentrokan antara laskar-laskar berideologi Islam, nasionalis, dan kiri di beberapa wilayah, terutama menjelang proses integrasi ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Misalnya, ketegangan antara Hizbullah dengan Pesindo di Jawa Timur terkait perebutan wilayah pengaruh dan kepemimpinan militer lokal. Di sisi lain, pemerintah pusat menghadapi dilema: mengakomodasi kepentingan masing-masing laskar atau menegakkan otoritas militer nasional yang terpusat.

Sinergi dan ketegangan ini menunjukkan paradoks revolusi kemerdekaan: di satu sisi, keberagaman kekuatan rakyat adalah sumber energi perjuangan, tetapi di sisi lain, fragmentasi ideologis menjadi ancaman bagi konsolidasi negara. Proses integrasi laskar menjadi TKR dan selanjutnya TNI merupakan jalan keluar kompromistis, namun tidak menghapus sepenuhnya gesekan politik di tubuh militer nasional yang baru lahir.

Perspektif ini mengajarkan bahwa mempertahankan kemerdekaan bukan hanya soal melawan musuh eksternal, tetapi juga mengelola konflik internal secara konstruktif. Seperti kata Soekarno, “Revolusi belum selesai,” perjuangan bukan hanya melawan kolonialisme fisik, tetapi juga kolonialisme mental dan fragmentasi internal yang mengancam persatuan nasional.

Penutup

Sejarah kontemporer Indonesia mencatat bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya diwarnai heroisme melawan kolonialisme Belanda dan Sekutu, tetapi juga ditandai oleh dialektika sinergi dan ketegangan internal antar kekuatan bersenjata rakyat. Laskar Hizbullah, Napindo, dan Pesindo, yang lahir dari rahim ideologi Islam, nasionalisme, dan sosialisme, merupakan representasi nyata dari heterogenitas ideologis yang membentuk medan revolusi Indonesia.

Ketiganya bermetamorfosis melalui proses yang penuh dinamika: dari laskar independen berbasis partai politik atau organisasi massa, menjadi bagian integral dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya terintegrasi dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Proses ini tidak berjalan mulus. Ia penuh dengan kompromi, konflik, bahkan pengkhianatan. Dalam perspektif teori konflik Coser (1956), fenomena ini memperlihatkan bagaimana perjuangan bersenjata bukan hanya soal melawan musuh eksternal, tetapi juga negosiasi keras dalam merebut, mempertahankan, dan mengatur kekuasaan internal.

Sinergi di antara laskar—yang terwujud dalam pertempuran bersama di medan laga Surabaya, Ambarawa, dan Medan Area—merupakan manifestasi dari semangat kolektif mempertahankan republik yang masih muda. Namun, sinergi itu rapuh. Ketegangan ideologis, perebutan pengaruh politik, dan perbedaan visi tentang masa depan Indonesia menjadi bom waktu yang kemudian terlihat dalam friksi di lapangan dan dalam proses integrasi militer nasional.

Kesimpulan penting dari narasi ini adalah: kemerdekaan Indonesia dipertahankan bukan hanya dengan peluru dan senapan, tetapi juga dengan kompromi politik dan konsolidasi kekuasaan. Proses integrasi laskar ke dalam TKR dan TNI bukan semata-mata tindakan administratif-militer, melainkan proses politis yang mencerminkan upaya negara mengatasi fragmentasi kekuatan rakyat yang berpotensi menjadi ancaman. Di satu sisi, negara membutuhkan kekuatan rakyat bersenjata; di sisi lain, negara harus memastikan monopoli kekerasan tetap berada di bawah kendali pusat.

Dalam kaca mata teori negara modern (Weber, 1919), situasi ini adalah upaya klasik negara untuk menguasai legitimasi kekerasan. Keberhasilan integrasi laskar ke dalam TNI menunjukkan keberhasilan awal republik dalam membangun pilar pertahanan nasional, tetapi juga menyimpan bibit konflik jangka panjang yang kelak muncul dalam bentuk pemberontakan, dualisme loyalitas, hingga ketegangan antara sipil-militer.

Akhirnya, sejarah Hizbullah, Napindo, dan Pesindo bukan hanya catatan heroik tentang pertempuran fisik, tetapi juga pelajaran penting tentang bagaimana ideologi, kepentingan politik, dan strategi negara berkelindan dalam satu narasi besar mempertahankan kemerdekaan. Mereka adalah saksi hidup bahwa revolusi Indonesia bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi sebuah proses panjang penuh kompromi, konflik, dan konsolidasi yang membentuk wajah republik hingga hari ini.

Sebagaimana pesan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kesimpulan ini mengingatkan bahwa mempertahankan Indonesia merdeka bukan hanya tugas generasi kemarin, tetapi amanah historis bagi generasi hari ini untuk terus menjaga persatuan di tengah keberagaman ideologi dan kepentingan.

Demikian.

Penulis Pendiri Partai Gerindra Sumut dan Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999.
__________
Refrensi

1. Kahin, George McTurnan. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press, 1952.

2. Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press, 2001.

3. Anderson, Benedict R. O’G. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Cornell University Press, 1972.

4. Nasution, Abdul Haris. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: DISJARAH-AD, 1977.

5. Harsya W. Bachtiar. Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Jakarta: Djambatan, 1988.

6. Soegijono, R. Integrasi Laskar ke Dalam Tentara Nasional Indonesia: Kajian Awal. Jakarta: Pusat Sejarah TNI, 1995.

7. Alwi Shahab. Saudagar Baghdad dari Betawi. Jakarta: Republika, 2004.

8. Sukanto, M. Gerakan Pemuda dalam Revolusi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1993.

9. Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Grafiti, 1997.

10.Coser, Lewis A. The Functions of Social Conflict. Free Press, 1956.
Menyediakan teori dasar tentang konflik sosial yang relevan dalam konteks ketegangan ideologis dan kepentingan dalam laskar-laskar revolusi.

11. Tarling, Nicholas (ed.). The Cambridge History of Southeast Asia Volume 2. Cambridge University Press, 1992.

12. Weber, Max. (1919). Politics as a Vocation. Munich: Duncker & Humblot.
Sumber klasik tentang teori monopoli kekerasan negara, relevan dengan analisis integrasi kekuatan bersenjata rakyat ke dalam TKR/TNI.

13. I Made Anom Wiranata (2022)
PEMETAAN TEORI-TEORI GERAKAN SOSIAL – Contoh Kasus di Berbagai Negara.