“Temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Januari 2025 ini, sempat mengungkap setidaknya empat pelaku importir tepung tapioka di Lampung, yang diduga menyebabkan harga singkong di tertekan” (BBC News Indonesia 27 Januari 2025).
Dalam berita tersebut mengarah anggapan terjadinya tekanan terhadap harga jual singkong petani Indonesia, dan anggapan senada juga terjadi pada perdagangan komoditas lain nya seperti beras, daging sapi dan juga susu serta lain nya.
Alasan lain yang menjadi anggapan tekanan terhadap harga jual produk petani adalah tinggi nya biaya produksi tani, beberapa contoh harga rata-rata produksi tanaman pangan, misalkan padi sawah Rp4.200, padi gogo: Rp4.200, jagung Rp4.300, Ubi kayu Rp2.000, Ubi jalar: Rp2.800.
Disinyalir beberapa penyebab tinggi nya harga pangan di tingkat produsen banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti permintaan dan penawaran yang timpang, Kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran, biaya produksi, kemudian harga pangan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yaitu Sistem distribusi logistik, Kondisi geopolitik, Perubahan iklim dan Musim yang kerap berubah secara signifikan.
Fenomena di atas kerap menjadi narasi yang mewarnai media disepanjang perubahan waktu, dari waktu ke waktu selalu menghadirkan fenomena serupa dan menyeluruh diberbagai harga jual komoditas pangan, dan pada titik akhirnya adalah harga jual pangan tidak mampu bersaing dan menyebabkan para produsen dan industri pengolahan pangan mengambil keputusan untuk melakukan import.
Mau sampai kapan hal seperti ini terjadi…?
Ditengah-tengah perubahan global yang signifikan dan pengaruh inovasi diberbagai aspek serta perubahan teknologi terus berkembang pesat, hal ini menjadi penyebab terjadinya perubahan cara hidup dan salah satu nya pergeseran cara berbisnis.
Dunia bisnis yang terus mengalami re-engineering atau rekayasa ulang, hal ini akan terus mempertontonkan persaingan yang tidak seimbang antara pemain tradisional melawan penguasa teknologi.
Di antara negara-negara berkembang, adalah China merupakan negara yang memiliki habit cukup menarik, di usia merdeka yang tidak jauh dengan Indonesia, China dengan cepat mengarahkan negerinya sejajar dengan negara-negara maju di dunia.
Hal ini karena melakukan kombinasi penggunaan teknologi yang canggih tetapi tidak melepaskan etos kerja berjibaku dilapangan. Dalam sektor pangan, Thailand pun mulai mengikuti jejak China, sedangkan vietnam menjadi negara yang memiliki bangsa dengan mengandalkan etos kerja jibaku dan semangat yang luar biasa dalam bekerja.
Berbeda halnya dengan bangsa eropa yang mengandalkan teknologi dengan kedisiplinan dalam bekerja termasuk jepang, yang bahkan dalam banyak hal jepang melebihi bangsa-bangsa Eropa dalam hal kedisiplinan hidup termasuk dalam dunia manufaktur dan agrikultur.
Banyak cara hidup keseharian di jepang menjadi teori-teori terapan yang dapat dipakai dalam dunia industri pengolahan pangan terlebih dalam dunia industri manufaktur.
Teknologi dan inovasi serta re_engineering dalam dunia bisnis, lalu kedisiplinan dan etos kerja serta pribadi dengan semangat yang tinggi menjadi penopang utama bagi kemajuan sebuah bangsa.
Lantas bagaimana dengan Negara Bangsa Indonesia…?
Tanah yang subur dan hijau yang dihuni berbagai macam pertumbuhan flora dan fauna, telah membawa kemakmuran dalam bidang sandang, papan dan pangan melebihi kondisi negara-negara lain didunia ini, di sisi lain pengalaman terjajah sampai ratusan tahun yang kemudian memerdekakan diri dengan semangat kebhinekaan, telah melahirkan semangat yang luar biasa dibandingkan dengan bangsa lain nya.
Namun negara dan bangsa ini tidak mampu ajeg dan konsisten untuk berada diantara kemakmuran negeri dan semangat jiwa yang tinggi, bangsa ini terlena oleh dogma kamakmuran dan semangat yang luar biasa tetapi lupa bahwa waktu itu dinamis dan selalu terjadi membawa pada perubahan dan pergeseran habitatnya.
Maka lahirlah jiwa-jiwa paradoks disalah satu sisi memiliki semangat yang tidak diragukan karena telah disatukan oleh kebhinekaan untuk melepaskan diri dari keterjajahan tapi di sisi lain semangat ini tidak berarti apa-apa saat bersaing dengan bangsa-bangsa lain, padahal bangsa ini di dukung oleh kesuburan negeri yang makmur.
Ketidakmampuan kita bersaing dalam dunia pangan, industri pengolahan dan manufaktur, salah satu nya adalah lemahnya dalam penguasaan teknologi dan inovasi serta re_engineeering dalam berbagai aspek, khususnya dalam dunia pangan.
Model budidaya pangan yang terus berkembang didukung dengan perangkat bisnis yang terus mengalami rekayasa (enjiniring baca PII), serta dunia pemasaran yang makin optimal (baca : pada positioning number yang makin efektif dan efisien) telah menyebabkan harga pangan kita tidak mampu bersaing di ranah global.
Hal sederhana dalam bentuk produk murni seperti beras, singkong dan daging serta susu pun tidak mampu bersaing, dan setiap tema persaingan hanya meminta perlindungan untuk kesesuaian harga yang melulu didasarkan pada biaya produksi yang tinggi, sedangkan disektor produksi lemah melakukan inovasi, jika ini terus berlanjut tentu hanya melahirkan jiwa-jiwa manja yang kerdil tanpa berusaha dengan upaya kreatif untuk menjadi nilai tambah dan nilai tawar yang tinggi.
Pada sisi ini kebijakan pemerintah meskipun tetap mengayomi untuk memberikan perlindungan terhadap sektor produksi pangan, tetapi juga pemerintah harus menggenjot diri nya untuk melahirkan kebijakan yang lebih tinggi tekanan nya pada dunia inovasi dan industri kreatif, agar selain terjadi inovasi dan kreatifitas di tingkat produksi pangan tetapi juga terjadi inovasi dan kreatifitas ditingkat pasca panen dan pengolahan pangan.
Dengan demikian harga pangan menjadi kompetitif dan melahirkan nilai tambah serta nilai tawar yang siap berkompetisi, inilah yang dimaksud Soeharto : mau tidak mau dan bisa tidak bisa kita akan masuk dunia global.