Opini  

Solusi atau ilusi ? Dengan Adanya Gerakan Pangan Murah.

Pada tanggal 24 Februari 2025, berbagai media memberitakan dimulainya Gerakan Pangan Murah (GPM) yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan menjelang bulan Ramadan.

Diantaranya Tempo melaporkan bahwa operasi pasar pangan murah dimulai serentak di 514 kabupaten dan kota dengan tujuan untuk menstabilkan harga pangan hingga 29 Maret 2025. Sementara itu, Antara News menyampaikan bahwa operasi pasar ini berlangsung mulai 24 Februari hingga 29 Maret 2025, dengan lima komoditas utama yang dijual di Kantor Pos, yaitu minyak goreng (Minyakita), bawang putih, gula konsumsi, daging kerbau beku, dan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).

Kompas TV mengabarkan bahwa pemerintah menggelar operasi pasar dalam bentuk Gerakan Pangan Murah mulai 24 Februari hingga akhir Maret 2025, bertujuan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan sembako dengan harga terjangkau saat puasa dan lebaran. Dan Republikapun melaporkan bahwa operasi pasar pangan murah juga dimulai pada hari itu dan dilakukan serentak di seluruh Indonesia dengan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan ketersediaan pangan pokok dengan harga terjangkau menjelang bulan Ramadan.

Sementara itu Detik Finance menambahkan bahwa dalam operasi pasar tersebut, daging kerbau dijual dengan harga Rp75.000 per kilogram. Berita-berita ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan dan memastikan kebutuhan masyarakat tetap terjangkau menjelang bulan Ramadan melalui Gerakan Pangan Murah yang dimulai pada 24 Februari 2025.

Berita Masif Gerakan Pangan Murah yang ditayangkan diberbagai media mainstream nasional dan lokal (2025), itu patut diapresiasi sebagai upaya untuk menjaga stabilitas harga pangan, terutama menjelang momen-momen penting seperti Ramadan dan Lebaran.

Namun, di balik niat baik ini, terdapat beberapa aspek yang perlu dikritisi secara mendalam. Program ini tidak hanya perlu dilihat dari sisi pencapaian jangka pendek, tetapi juga dari keberlanjutannya serta dampak jangka panjang terhadap sistem pangan nasional.

Pertama, skala dan jangkauan program yang mencakup 514 kota dan kabupaten di 38 provinsi memang terkesan ambisius dan patut diacungi jempol. Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah infrastruktur dan logistik di seluruh wilayah tersebut sudah siap mendukung operasi pasar pangan murah ini ?. Jika tidak siap, jangan sampai hanya sebatas ilusi.

Pengalaman sebelumnya sering menunjukkan bahwa program serupa kerap terkendala distribusi yang tidak merata, terutama di daerah terpencil. Jika distribusi tidak lancar, dikhawatirkan program ini hanya akan efektif di kota-kota besar, sementara daerah pedesaan atau terpencil justru tidak mendapatkan manfaat yang sama.

Kedua, lokasi pasar pangan murah yang ditempatkan agak jauh dari pasar tradisional menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan aksesibilitas bagi masyarakat.

Meski mungkin dimaksudkan untuk menghindari persaingan langsung dengan pasar tradisional, hal ini justru berpotensi menyulitkan masyarakat, terutama mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi atau akses transportasi yang memadai.

Apakah pemerintah sudah memastikan bahwa lokasi-lokasi tersebut mudah dijangkau oleh masyarakat dari berbagai lapisan? Jika tidak, program ini berisiko hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki akses lebih baik, sehingga tujuan awalnya untuk membantu masyarakat luas menjadi tidak tercapai.

Ketiga, keterlibatan berbagai pihak seperti Pinsar, GIMNI, PTPN, Bulog, dan lainnya menunjukkan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan pelaku industri. Namun, kita perlu mempertanyakan sejauh mana transparansi dalam mekanisme pengadaan dan distribusi pangan ini. Apakah ada mekanisme pengawasan yang ketat untuk mencegah praktik korupsi atau penyelewengan?

Sejarah mencatat bahwa program bantuan pangan sering kali menjadi ajang manipulasi oleh oknum-oknum tertentu. Jika tidak ada sistem pengawasan yang kuat, program ini berpotensi menjadi ajang pemborosan anggaran negara.

Keempat, penetapan harga pangan murah seperti daging kerbau seharga Rp 75 ribu per kilogram, meski lebih rendah dari harga pasar, tetap perlu dilihat dari kualitas produk yang ditawarkan. Arief Prasetyo Adi menyebutkan adanya beberapa alternatif seperti daging segar, dingin, dan beku, dengan harga yang berbeda-beda.

Namun, apakah masyarakat benar-benar mendapatkan produk berkualitas baik, atau justru diberi produk dengan kualitas rendah sebagai kompensasi harga murah?

Jika yang terjadi adalah yang terakhir, program ini justru bisa merugikan masyarakat karena mereka dipaksa membeli produk dengan kualitas di bawah standar.

Kelima, jangka waktu operasi pasar pangan murah yang hanya 1,5 bulan (hingga selesai Ramadan) menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan program ini. Apakah pemerintah memiliki rencana jangka panjang untuk menjaga stabilitas harga pangan, atau program ini hanya bersifat temporer dan reaktif?

Jika hanya bersifat sementara, program ini tidak akan menyelesaikan masalah struktural dalam sistem pangan nasional, seperti ketergantungan impor, rantai distribusi yang panjang, dan fluktuasi harga yang sering terjadi.

Terakhir, pernyataan bahwa program ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat luas, bukan untuk trader, perlu dikritisi lebih lanjut.

Meski tujuannya mulia, dalam praktiknya, sulit untuk memastikan bahwa tidak ada oknum yang memanfaatkan program ini untuk kepentingan pribadi. Apakah ada mekanisme verifikasi yang ketat untuk memastikan bahwa hanya masyarakat yang benar-benar membutuhkan yang dapat mengakses program ini?

Jika tidak, program ini berisiko disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Menutup catatan ini, bahwa gerakan pangan murah ini adalah langkah yang baik, tetapi masih menyisakan banyak pertanyaan dan tantangan.

Pemerintah perlu memastikan bahwa program ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama yang paling membutuhkan.

Selain itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas program ini, serta upaya untuk mengatasi masalah-masalah struktural dalam sistem pangan nasional.

Jika tidak, program ini hanya akan menjadi sekadar tempelan temporer yang tidak menyelesaikan akar permasalahan.

 

Oleh Dadan K Ramdan, Penulis adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat.

Sumber : Tempo, Antara News, Kompas TV, Republika dan Detik Finance (2025).